Undang-Undang Cipta Kerja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat lebih dari tiga minggu lalu. UU yang disebut pemerintah dapat menggenjot ekonomi Indonesia tersebut dipandang berbagai pihak sebagai ancaman serius terhadap perlindungan lingkungan hidup di Indonesia.

Dua puluh tiga hari lalu, Rancangan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Regulasi ini mendapat penolakan dari mahasiswa, buruh, aktivis, dan pelajar. Mereka melakukan unjuk rasa di hampir seluruh daerah dengan membawa tuntunan pencabutan UU Cipta Kerja.

Undang-Undang yang juga dikenal sebagain Omnibus law ini, juga menjadi ancaman serius bagi lingkungan hidup. Mulai dari pengambilan alih penilaian analisis dampak lingkungan (amdal) dari daerah ke pusat, pengurangan partisipasi masyarakat, proses gugatan ijin dilingkungan yang dipersulit, hingga benturan aturan penyelamatan lingkungan dengan pasal-pasal di dalam UU Cipta Kerja.

Dampak dari hal tersebut akan memunculkan konflik agraria yang berkepanjangan, bencana hidrometerologi, hingga berkurangnya daya dukung dan daya tampung kawasan alam. Lebih parah, keberadaan Omnibus Law ditenggarai akan memperburuk sengkarut perijinan tambang, perkebunan, dan pemanfatan sumber daya alam lainnya.

Untuk mengetahui seberapa besar ancaman Omnibus Law terhadap lingkungan, Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) melakukan wawancara dengan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Nur Hidayati.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Nur Hidayati. Foto: Walhi/Nur Hidayati

Undang-Undang Cipta Kerja yang dikhawatirkan Walhi sudah disahkan, bagaimana tanggapan Anda?

Dari awal kami sudah menolak karena secara proses benar-benar tidak partisipasif. Kita tidak memperoleh informasi apapun terkait Omnibus Law. Isinya sudah jelas mengkhawatirkan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan. Pasalnya banyak yang tidak ramah terhadap lingkungan.

Bisa dijelaskan pasal-pasal apa yang dimaksud

Ada banyak, terutama terkait Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Kalau ditinjau dari aspek tata kelola lingkungan hidup yang baik itu ada hak partisipasi, informasi, dan keadilan. Namun hal tersebut mulai dikebiri. Pada akses informasi, kini setiap proyek pembangunan yang berdampak pada lingkungan hanya dibatasi pada informasi elektronik semata. Ini menyulitkan masyarakat untuk mengetahui detail rencana pembangunan terutama warga yang tidak punya akses teknologi.

Kedua, partisipasi masyarakat dalam proses amdal juga dibatasi. UU Cipta Kerja hanya membatasi keterlibatan di ranah masyarakat yang terdampak langsung, Padahal yang tidak langsung juga terrdampak. Selain itu kewenanganya untuk uji kelayakan juga diserahkan ke pusat.

Ketiga, akses keadilan. Omnibus Law sudah membuat ijin lingkungan dihapus. Selain itu, aturan yang memperbolehkan ijin lingkungan bisa digugat di pengadilan juga dihapus. Masyarakat sipil yang hendak melakukan gugatan menjadi sulit. Jadi UU ini dari sisi lingkungan hidup benar-benar kemunduran yang sangat signifikan terhadap kebijakan lingkungan hidup.

Presiden Jokowi meminta aturan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah di percepat. Bagaimana tanggapan Anda

Ini proses terburu-buru, padahal masih kacau. Kita tahu banyak versi beredar di publik. Dalam catatan kami ada enam versi (1028, 905,1035,1052,812, dan 1187 halaman). Setiap perubahan halaman ada pasal berubah, tidak hanya sekedar editing, pengaturan spasi, jenis kertas. Kalau periksa, sekilas ada pasal yang berubah. Misalnya semula peran pemerintah daerah nihil pada versi 905, lalu versi lain muncul pasal memasukkan peran pemerintah daerah. Prosesnya saja cacat, kalau dibuat Peraturan Pemerintah (PP) akan lebih cacat karena tidak memiliki legitimasi hukum yang jelas. Permintaan percepatan ini menjadi pertanyaan, apa kepentingan di balik Omnibus Law?

UU Cipta Kerja juga membikin regulasi daerah tentang penyelamatan lingkungan hidup berpotensi hilang. Bagaimana tanggapan Anda

Akan ada kekacauan hukum. Daerah punya otonomi melalui Undang-Undang Otonomi Daerah, lalu peraturan level menteri, daerah akan berbenturan satu sama lain. Ini kontradiktif, ketika pemerintah bilang Omnibus Law menyederhanakan aturan, kenyataanya tidak demikian karena UU Cipta kerja ini akan dibuat ratusan aturan turunan baru yang memperunyam regulasi daerah-pusat.

Kedua, ada mitos pemerintah mengatakan ada jaminan kepastian hukum bagi investor. Kenyataanya yang terjadi sebaliknya, pasal-pasal di dalamnya awalnya jelas, lalu menjadi runyam. Misalnya amdal, ketika dinyatakan layak secara lingkungan hidup maka keluar ijin lingkungan. Saat ini tata cara uji kelayakannya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Proses sebelumnya sudah pasti malah jadi tidak jelas karena ada aturan turunan.

Ketiga, disebutkan adanya UU Cipta kerja akan lebih mengatur korporasi. Kenyataan tidak, karena di UU Cipta kerja pasal tentang tanggungjawab mutlak dilemahkan. Ini aneh, padahal aturan ini digunakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menuntut perusahaan membakar hutan. Kenapa KLHK memblejeti sendiri kewenanganya. UU yang baru, prasa tentang dibutuhkan pembuktian dalam sidang dihapus. Padahal prasa ini memperkuat kewenangan pemerintah sekaligus mengikat tanggungjawab para pemegang ijin.

Bicara soal satwa endemik Komodo yang ramai diperbincangkan publik. Bagaimana Walhi melihat hal tersebut

 Menurut Walhi Nusa Tenggara Timur (NTT), tidak pernah ada amdal. Padahal jelas ketika beroperasi di kawasan lindung dan taman nasional wajib [ada] amdal. Sebenarnya pemerintah maupun pemrakarsa sudah melanggar aturan. Seharusnya dilakukan studi amdal untuk melihat potensi dampak apa yang dihasilkan dari pembangunan ini. Kalau mereka yang mendukung proyek menyatakan tidak akan merusak lingkungan, basis mereka apa? Kalau ada amdal itu jadi dasar dari klaim yang mereka katakan. Lagi-lagi menunjukan proses pembangunan yang ugal-ugalan.

Rencananya proyek tersebut bagian dari sepuluh destinasi wisata prioritas. Bagaimana kaitannya dengan Omnibus Law?

Secara langsung Omnibus Law akan mempercepat pembangunan 10 destinasi baru. Kita khawatir proyek wisata baru akan mempermudah investor untuk dapat lahan namun tidak bermanfaat untuk masyarakat lokal. Malah mereka terancam akan tergusur dari wilayahnya. Pulau komodo akan diperuntukan pertemuan G-20. Ini proyek ambisius, padahal tidak ada uangnya. Agak aneh ketika pemerintah tidak ada dana, tapi memaksakan pembangunan infrastruktur yang tidak terencana.

Dampak dari pembangunan 10 destinasi tersebut dalam catatan Walhi memunculkan krisis ekologi. Bisa dijelaskan mengapa demikian?

Pertama, pembangunan tanpa melakukan kajian seksama maka akan abai terhadap risiko bahaya yang muncul. Misalnya soal perubahan iklim, Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo, data Badan Nasional Penanggulangan Bancana (BNPB) mencatat bawah bencana hidrometerologi trend nya meningkat. Pada 2020 sudah ada 3000 bencana yang menyebabkan 3 juta lebih mengungsi dan menderita akibat bencana tersebut. Kalau pembangunan dibuat cepat tanpa menghitung daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta resiliensi masyarakat, maka potensi bencana akan semakin besar dikemudian hari.

Saat ini Indonesia dalam kondisi tidak baik-baik saja. Alamnya sudah rusak lalu kondisi sosial masyarakat dan ekologi sedang sakit. Belum lagi konflik yang akan muncul. Ini akan menjadi lingkaran setan yang terus memburuk.

Walhi mendorong agar dilakukan pemulihan ekologis, mengapa?

Karena kita menyadari kita sedang sakit. Maka perlu disehatkan. Paradigma ini yang luput dari pemikiran pemerintah. Seolah-olah melakukan pemulihan ekosistem dan ekonomi sosial msayarakat akan mengeluarkan biaya yang besar. Padahal kalau pemerintah melakukan investasi pada upaya pemulihan ekologi yang berbasis masyarakat tentu kondisi alam akan lebih baik.

Berulang kali koalisi masyarakat sipil termasuk Walhi menyoroti UU Cipta Kerja tidak terlepas dari kepentingan oligarki. Bagaimana Anda membuktikan semua itu?

Kita lihat aktornya saja. Berdasarkan hasil investigasi Auriga dan Tempo ditemukan sekitar 45 persen anggota DPR adalah pebisnis. Untuk melihat kepentingan oligarki sangat mudah, cukup temukan siapa yang diuntungkan dari kebijakan yang buat. UU Cipta Kerja rata-rata di baliknya adalah pemodal yang rakus lahan.  Mereka tidak malu-malu memiliki confilct of interest. Berbeda dengan para politisi di luar negeri. Ketika mereka meloloskan undang-undang yang berkaitan dengan bisnis mereka akan jadi skandal bahkan menyatakan mundur. Hal tersebut membuat mereka malu. Kalau di Indonesia malah bangga.

Selain itu?

 Iya, mereka terlibat menjadi tim sukses Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019. Diperkuat dengan banyaknya bisnis mereka di sektor sumber daya alam dan lahan. Ini jelas kaitanya antara oligarki dan UU Cipta Kerja.

 Terakhir, bagaimana Presiden Jokowi di mata Anda

Dia tidak terlepas dari oligarki. Semua kebijakan yang dibuat mencerminkan kepentingan oligarki. Saya pikir ini wajah asli Jokowi. Dia tidak mendengar suara warga, mungkin dia sudah lupa apakah dia punya warga atau tidak.

Baca juga:

Wawancara ini dilakukan oleh anggota The Society of Indonesian Environmental Journalists.

Foto banner: Cahaya pagi di Pulau Padar yang terletak di antara Pulau Komodo dan Rinca, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Pulau Padar merupakan pulau terbesar ketiga di Taman Nasional Komodo. Foto: Freepik.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.