Pengerjaan proyek pembangkit mikro hidro di Sorong Selatan, Papua Barat, mangkrak setelah satu pipa pesat turbin runtuh sebagian ke badan sungai. Menurut BPK, proyek PLTMH tersebut merupakan satu dari 152 proyek pembangkit listrik, dari total 708 proyek yang tidak selesai.

Liputan ini pertama kali terbit di Mongabay Indonesia pada tanggal 19 November 2020 dengan judul “Pil pahit proyek energi di papua Barat”.

Oleh Lusia Arumingtyas

Satu turbin pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH) berkapasitas sekitar 100 Kilowatt itu diuji coba dan menyala pada 2014. Sayangnya, pengerjaan proyek terhenti saat satu pipa pesat turbin runtuh sebagian ke badan sungai. Hingga kini, PLTMH Kali Kohoin Teminabuan, Sorong Selatan, Papua Barat ini terbengkalai. Infrastrktur yang sudah terbangun seakan jadi monumen.

Proyek ini menggunakan anggaran APBN Kementerian Energi Sumber Daya Mineral tahun 2013 dengan total Rp14,6 miliar. Pembangkit berkapasitas 285 Kilowatt ini satu dari ratusan proyek pembangkit listrik energi terbarukan yang ‘mangkrak’ dari data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2017.

Berdasarkan data BPK, ada 708 proyek pembangkit listrik energi terbarukan pada 2011-2017 bernilai Rp3,155 triliun. Namun hanya 556 proyek senilai Rp1,98 triliun diserah terimakan kepada pemerintah. Sisanya, tak selesai, termasuk mikro hidro di Sorong Selatan ini.

Pada Agustus 2016, penyidik Kejaksaan Tinggi Papua menyatakan, pembangunan fisik PLTMH ini baru sekitar 40%. Kerugian negara saat itu diperkirakan Rp 11,1 miliar akibat pembangunan tak jalan sesuai rencana.

Penyidikan dilakukan karena ada kesalahan; pencairan seluruh dana padahal proyek belum selesai.

Maret 2017, Kejaksaan Tinggi Papua menahan tiga pegawai Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, EMT, AS dan ET. Mereka jadi tersangka kasus korupsi pembangunan PLTMH ini senilai Rp12 miliar. Ketiganya, jadi tahanan titipan di Lembaga Permasyarakatan Abepura, Kota Jayapura selama satu bulan, kemudian lepas.

Alexander Sinuraya, Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Papua mengatakan, kasus ini sudah selesai karena kerugian negara sudah dikembalikan ke kas negara sejak 2017.

“Setelah kami cek data, perkara itu memang pernah kita tangani, sudah dihentikan, seluruh kerugian negara sudah disetorkan pada tingkat penyidikan. Tidak ada lagi kerugian negara disitu jadi tidak dilanjutkan,. Dihentikan,” katanya kepada Mongabay melalui saluran telepon, Oktober lalu.

Pembangkit ini merupakan usulan dari Pemerintah Sorong Selatan tahun 2011-2012. Mereka bikin penyiapan lokasi, studi kelayakan pembangkit listrik dan sosialisasi.

Perencanaan dibuat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Usulan disetujui dan jalan pada tahun anggaran 2013 dengan kontraktor PT Altari Energi Surya.

Saat proses kontruksi, pembangkit ini sempat mengalami kerusakan, salah pipa pesat runtuh sebagian di badan sungai. Kondisi ini menyebabkan pembangunan terhenti. Sementara dana proyek sudah cair 100% oleh pemerintah, pekerjaan belum selesai.

Bupati Sorong Selatan pun mengirimkan surat kepada kontraktor untuk menghentikan pembangunan. Kemudian ada pihak melaporkan kasus ini ke Kejaksaan.

Berdasarkan informasi, surat penghentian pembangunan itu keluar dengan alasan proyek mangkrak dan diduga merusak lingkungan sungai karena pipa masuk ke badan sungai.

Adapun, perencanaan dan proses kontruksi jalan sesuai studi kelayakan oleh dinas terkait.

Ayi Hambali Soemantri, Direktur PT Altari Energi Surya mengatakan, pengerjaan proyek berhenti atau tak lanjut konstruksi karena pemerintah daerah minta setop. “Berhenti, kemudian ada laporan ke Kejaksaan. Tapi saya sudah selesaikan dengan Kejaksaan Jayapura dan sudah selesai.”

Hutan di Papua Barat ini sebagai penyerap dan penyimpan air, yang bisa jadi sumber energi bagi masyarakat. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Saat pengerjaan kontruksi, satu turbin sudah menyala, Penerangan dengan sumber air ini tak bisa lanjut karena terkendala izin.

Dia pernah mendengar ada wacana melanjutkan proyek ini. “Saya sih menunggu, saya mau turun bekerja kalau pemerintah pusat mendapat lampau hijau dari Sorong Selatan bahwa diperkenankan mengerjakan.” Surat penunjukan kerja perusahaan dia belum dicabut.

Saat konfirmasi kepada Bupati Sorong Selatan lewat Epi Antoh, Kabag Humas dan Protokoler Pemkab Sorong Selatan menolak memberikan jawaban. Hingga berita ini terbit tak ada respon dari mereka.

Menurut Ayi, sebenarnya PLTMH bisa berfungsi dan menyala baik dengan satu turbin kapasitas sekitar 100 KW.

Kalau mikro hidro ini beroperasi, bisa memenuhi kebutuhan listrik hingga Kabupaten Maybrat dan Bintuni. Sayang sekali, PLTMH Kali Kohoin hanya jadi bangunan tak manfaat.

Dance Nauw, Kepala Bappeda Sorong Selatan pernah jadi saksi yang memberikan klarifikasi pada 2016 di Kejaksaan. “Kami tidak tau (proyek) ini kenapa macet. Kami tidak ada sangkut paut, tidak terlibat,” katanya.

Dia bilang, bahwa pemerintah daerah memang membuat kesiapan lahan dan lokasi, pembangunan fisik didanai APBN. Soal proses penghentian proyek hingga terbengkalai, dia tak mau berkomentar.

“Tanya ke PPK (pejabat pembuat komitmen) di kementerian saja,” tulisnya melalui pesan singkat. Dia katakan, pembangkit pernah uji coba operasi, generator sudah terpasang tetapi dia tak tahu jelas mengenai kelanjutan pembangkit ini.

Proyekproyek pembangkit energi terbarukan mangkrak terdiri dari beberapa kategori, ada rusak karena tidak dipelihara, dan rusak karena kualitas pekerjaan kurang baik sejak awal. Ada juga rusak kerena masyarakat memanfaatkan secara sembrono, dan salah perencanaan.

Masyarakat jadi kunci

Tri Mumpuni, Direktur Eksekutif Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) mengatakan, banyak proyek pemerintah mangkrak karena tidak ada pemeliharaan oleh masyarakat.

Sejak awal, katanya, masyarakat, tidak dilibatkan secara aktif dalam proses mulai dari perencanaan hingga pembangunan fisik. Dengan begitu, kata Tri, tidak ada kesiapan dan partisipasi masyarakat, serta ada pemaksaan-pemaksaan teknologi yang selama ini belum dikuasai.

Tri juga sebut, salah perencanaan, sebagai satu kendala dalam pembangunan PLTMH, antara lain, salah desain pembangunan atau debit air tak stabil setiap tahun.

Dari sisi pemerintah, dalam jalankan proyek terpenting anggaran terserap dengan jadwal super ketat. Hal ini kontradiktif dalam upaya pembangunan masyarakat di wilayah terpencil yang jadi target dalam pendistribusian proyek energi terbarukan.

“Pembangunan energi terbarukan tidak berbasis pada kemampuan rakyat, padahal manusia itu dinamis. Tapi (pemerintah) mengutamakan anggaran yang terserap sesuai jadwal karena dibatasi waktu.”

Print

Untuk revitalisai proyek energi terbarukan milik pemerintah saat ini bukan sebuah solusi. Dia ingatkan, pendampingan dan penyiapan manusia dalam pembangunan, tidak boleh absen. Masyarakat, katanya, harus disiapkan dengan sungguh-sungguh dan bertanggungjawab, serta berkomitmen dalam mengelola dan merawat pembangkit listrik yang dibangun.

“Revitalisasi itu kan dilakukan di komunitas masyarakat yang sama, uang ditambah melulu tapi masyarakat tidak di-empower. Seharusnya uang itu bisa untuk rakyat lain.”

Tri Mumpuni adalah sosok perempuan yang sukses dalam menerangi lebih dari 65 wilayah terpencil dan terisolasi lewat tenaga mikrohidro. Dia pernah jadi tenaga ahli Menteri ESDM era kepemimpinan Sudirman Said.

Baginya, PLTMH ataupun pembangkit energi terbarukan lain sangat penting bagi masyarakat kalau pembangunan dengan benar.

“Energi itu seperti energizing village, memberikan energi nyata dan terang, menghidupkan kegiatan ekonomi. Hal penting memberikan energi kemanusiaan karena membuka cakrawala desa dengan dunia luar, yang selama ini tertutup.”

Banyak uang pembangunan pembangkit, hanya habis untuk urusan administrasi, biaya diperkirakan mencapai 20% dari proyek keseluruhan, kalau tanpa ada korupsi.

Pembangunan energi terbarukan ini, katanya, paling sulit meyakinkan masyarakat untuk membangun modal sosial sebelum mendapatkan fasilitas infrastruktur.

Proyek mangkrak macam di Sorong Selatan, atau pun puluhan yang lain seperti data BPK itu, katanya. perlu ditanggapi dengan upaya perbaikan kebijakan. Kalau tidak, anggaran pemerintah bisa terus habis dengan hal yang tidak bermanfaat nyata bagi masyarakat.

“Harus ada lembaga yang terpercaya membuat assessment terkait kebutuhan masyarakat. Mereka bisa membuat pembangunan itu bersama rakyat kemudian mendapatkan pendanaan dari trust fund hingga tidak berbelit terkait administrasi.”

***

Informasi yang diperoleh Mongabay, surat pemberhentian yang terbit pada 2015 sudah dicabut. Pemerintah daerah sudah mengizinkan pembangunan lagi pada 2018.

Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, KESDM menolak mengonfirmasi soal ini. “Saya tidak mau menjawab, karena saya tidak memiliki data lengkap. Saya juga belum melihat,” katanya.

Dia merespon soal alih aset pusat ke daerah. Haris bilang, perlu waktu lama untuk pengalihan aset dari pemerintah pusat ke daerah. Pada masa itu, seringkali pemerintah daerah belum siap menerima pemeliharaan proyek dan menyebabkan pembangkit jadi tidak terkawal, akhirnya rusak. Sedang pemerintah pusat tidak bisa menganggarkan pemeliharaan untuk pembangkit.

Ada juga, katanya, kendala teknis dan birokrasi lain, seperti kalau anggaran dari pembangunan Rp 10 miliar perlu persetujuan presiden untuk pemindahan aset.

“Kalau projek pemerintah (bisa) dilakukan revitalisasi kalau masih bisa revitalisasi atau bisa mekanisme lain.”

Bagaimana kelanjutannya? Bola ada di KESDM, mau menyelesaikan atau tidak.

Liputan ini didukung oleh program pelatihan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Internews’ Earth Journalism Network.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.