Penggalian timah di Bangka dimulai dari abad ke-1. Ratusan tahun timah menjadi komoditas strategis, ratusan tahun itu pula lingkungan terabaikan.
Pada masa lalu, Pulau Bangka pernah memiliki bermacam nama. Mulai dari Vanka (Wangka), Monopin, Mayit-Dong, China Bato, dan Banka. Nama-nama itu tertulis pada buku sastra Hindu abad ke-1 Millndrapantha dan buku suci Hindu-Buddha bernama Nidessa.
Sejarawan George Cœdès juga menyebutkan bahwa sebelum abad pertama, banyak pelaut dari India yang berdatangan ke Wangka—dalam bahasa Sansekerta berarti timah. Sehingga dari ketiga catatan penting itu diduga kuat bahwa penggalian timah sudah ada di Bangka sejak awal abad pertama.
Setelah berabad lamanya, kerajaan-kerajaan kuno juga menyimpan catatan timah di Bangka. Seperti Kerajaan Sriwijaya dengan ditemukanya prasasti Kota Kapur yang bercerita soal penambangan timah di Pulau Bangka pada abad ke-7.
Penggunaan timah saat itu menurut Fakhrizal Abubakar, Kepala Museum Timah Indonesia (TMI) Muntok adalah untuk media barter dan menjadi bahan prasasti. Namun penggalian timahnya masih berskala kecil dengan alat yang sederhana—timah permukaan (timah kulit).
Baru pada masa Kesultanan Palembang di bawah pimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I pada 1730-an sampai 1740-an penambangan timah di Pulau Bangka dilakukan secara besar-besaran.
Baca juga: Memulihkan kembali tambang-tambang timah Bangka usai eksploitasi
Ceritanya, Sultan Mahmud Bahaduruddin I menikahi istri muda keturunan Tionghoa dari Johor-Siantan bernama Mas Ayu Ratu Zamnah alias Lim Ba Nio. Kemudian, Zamnah minta dicarikan tempat tinggal baru. Ditunjuklah Kota Muntok di Bangka Barat dan dibangun tujuh rumah untuk Zamnah dan keluarganya dari Johor.
“Muntok adalah hadiah Sultan Palembang untuk Zamnah. Otomatis Muntok menjadi pusat Pulau Bangka dan kemudian menjadi daerah yang spesial (khusus keluarga bangsawan),” Kata Suwito Wu, Ketua Heritage of Tionghoa Bangka.
Nama Muntok sendiri memiliki asal-usulnya. Saat Zamnah melakukan pelayaran, ia menunjuk sebuah daratan. Lalu disebutlah “entok” yang dalam Bahasa Johor artinya “itu”.
Lama kelamaan daerah tersebut bertoponimi Mentok. Lalu perubahan nama lainya mengikuti kemudian. “Muntok adalah ejaan dalam Bahasa Belanda. Mereka tidak bisa mengeja huruf e,” demikian Suwito menjelaskan mengapa Kota Mentok sekarang disebut Muntok.
Setelah Zamnah menempati Muntok, kota itu dibuat lebih teratur dengan pemerintahan dan pembangunan yang pesat. Tokoh yang ditunjuk oleh Kesultanan Palembang untuk mewujudkan harapan itu adalah Wan Akub, paman Zamnah. Ia ditunjuk sebagai kepala negeri dan kepala pertambangan timah di Bangka saat itu.
Produksi timah saat itu tidak besar karena penggalianya masih di permukaan. Wan Akub kemudian memberi usul pada Kesultanan Palembang untuk mendatangkan kuli tambang Tionghoa dari Siam dan Chocin.
Seketika produksi tambang timah meningkat drastis. Sehingga pundi uang Kesultanan Palembang meningkat.
Kesultanan memperkerjakan orang-orang Tionghoa bukan tanpa alasan. Selain lebih disiplin dan bertenaga kuat ketimbang pribumi, mereka mempunyai sistem kolong pada penambangan. Mereka membawa teknologi pacul yang belum dikenal oleh orang-orang pribumi pada 1733.
“Kalau dulu pribumi ambil timah menggunakan linggis ke bawah dengan diameter yang kecil seperti sumur. Tapi Tionghoa beda. Dia bawa alat bernama pacul. Makanya tambang mereka itu besar galianya dan lebar. Yang kita kenal kolong sampai sekarang. Dan dia sudah punya teknologi pompa sederhana dari kayu yang diputar dengan tenaga air seperti kincir,” kata Fakhrizal.
Karena kesuksesan itu, Kesultanan Palembang mendatangkan lebih banyak kuli kontrak dari Selatan Tiongkok yang didatangkan secara bergelombang. “Terutama orang Khek, yang didatangkan saat bujangan yang akhirnya kawin campur dengan pribumi,” kata Fakhrizal.
Orang yang ditunjuk untuk mendatangkan orang-orang Tiongkok bernama Bong Hu But. Kemudian tugasnya digantikan oleh Kapiten Boen A Siong setelah Bong Hu But purna tugas dan kembali ke Palembang.
Boen A Siong ditempatkan di Belo, sekitar sepuluh kilometer ke arah timur Muntok. Kawasan ini menjadi daerah eksploitasi besar-besaran tambang timah pertama milik Kesultanan Palembang.
“Sebagai buktinya kita bisa temukan puing peninggalan klenteng di Belo. Padahal mayoritas masyarakat Belo bukan orang Tionghoa,” kata Suwito. “Ini salah satu jejak orang Tionghoa yang bermigrasi ke pulau Bangka.”
Menurut Fakhrizal, Sultan Palembang pada masa itu menjadi orang terkaya di timur karena penjualan timah. Timah-timah itu kemudian dijual pada kongsi dagang VOC.
“Jadi Sultan Palembang adalah sultan terkaya di Timur. Waktu itu jual sama VOC. Harganya tidak melebihi emas tapi orang perlu sekali dengan timah. Sultan Palembang juga terlibat perjanjian bahwa timah tidak boleh dijual ke tempat lain. Harus VOC,” katanya.
Pada 1811 Inggris menduduki Bangka. Kesultanan Palembang di bawah Sultan Najamuddin menyerahkan Bangka dan Belitung kepada Inggris.
Inggris membentuk residen dan mengubah nama Mentok menjadi Minto. Hubungan dagang Kesultanan Palembang dengan VOC diputus dan digantikan dengan East India Company (EIC)—dengan Lord Minto sebagai Gubernur Jenderal India.
Namun pada 1814 muncul Traktat London I, mewajibkan Inggris untuk menyerahkan Bangka kepada Pemerintahan Kolonial Belanda. Sehingga pada 1816 Belanda menguasai Bangka secara penuh.
Tiga tahun kemudian 1819 Belanda membentuk Banka Tin Winning Bedrijf (BTW), sebuah perusahaan timah milik negara Belanda. Serta menjual timah dengan merek bernama BANKA.

Belanda tetap mengambil pekerja tambang timah dari Tionghoa. Menurut Mary Somers dalam bukunya bertajuk Timah Bangka dan Lada Mentok menyebutkan bahwa pada tahun 1816 terdapat 2.528 penambang Tionghoa dan 2.123 penduduk Tionghoa lainya yang menyebar di Pulau Bangka.
Belanda pun melakukan kemajuan pada mekanisasi penambangan. Yakni sistem pompa air dengan tenaga uap bernama lokomobil. Kemudian muncul tenaga semprot untuk menambang lahan timah.
Namun dalam sejarah pertambangan, kuli kontrak timah memiliki reputasi sebagai kelompok yang sulit diatur. Kerap kali para mandor menjadi sasaran kemarahan kuli-kuli itu menurut Mary Somers.
Pemberontakan kuli tambang yang begitu sohor tercatat berada di bawah pimpinan Liu Nge pada 1889. Pemberontakan ini menolak ketidakadilan yang terjadi di pertambangan. Para kuli kontrak resah dengan upah minim yang dibayar Belanda tidak sesuai dengan yang dijual ke Batavia dengan harga yang tinggi.
Liu Nge merupakan seorang buruh tambang yang memiliki banyak pengikut. Mereka merampas harta milik Belanda. Konon hartanya dibagikan kepada kuli tambang sebagai bentuk suara ketidakadilan. “Mereka menjadi model dari “bandit sosial” semacam Robin Hood,” catat Mary Somers.
Liu Nge kemudian dieksekusi pada 1900 di Mentok. “Dalam catatan Belanda ia digantung, tapi versi cerita mulut ke mulu ia ditembak,” Suwito menceritakan akhir kisah Liu Nge.

Waktu berlalu dan rezim berganti, Jepang masuk dan menguasai Bangka pada 1942. Pertambangan timah pun diambil alih oleh Mitsubishi Kabushiki Kaisha (MKK). Namun penambangan timah masa Jepang tak semanis sebelumnya. Produksinya mengalami penurunan yang drastis.
“Jepang hanya tahu perang. Mereka kurang dalam masalah ini. Makanya produksi turun,” kata Fakhrizal.
Jepang pun kalah dalam Perang Dunia II pada 1945. Tentara-tentara sekutu mendarat ke Bangka melalui Muntok pada 1946. Belanda yang dibonceng sekutu berusaha menguasai kembali penambangan timah. Banka Tin Winning Bedrijf mencancapkan kembali eksploitasi timah di Bangka.
Perang terjadi dimana-mana, tak terkecuali Muntok sampai Pangkal Pinang di masa fase kronik revolusi Indonesia. Belanda pun menyerah menguasai Indonesia. Penambangan timah juga diserahkan ke pemerintahan Indonesia pada 1953.
Perusahaan timah Belanda dilebur kala itu, Namanya berganti menjadi PN Tambang Timah Bangka dan kemudian menjadi PT. Timah Tbk pada 1976.
Masuk pada era Soeharto, Muntok menjadi pusat peleburan timah. Komoditas ini menjadi barang strategis dengan penjagaan yang ketat. “Siapa yang nyelundup ambil timah illegal pasti di penjara,” kata Fakhrizal.
Masa-masa itu, masyarakat tidak bisa menambang karena semua hal yang berkaitan dengan penambangan timah di Bangka dikuasai penuh oleh PT. Timah Tbk. Sampai zaman berganti ketika Soeharto tak lagi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pada 1998. Penambangan timah muncul di mana-mana. Siapapun dapat menambang dengan bebas dan muncul istilah tambang inkonvensional (TI) yang bukan dikelola negara. Hal ini terjadi karena timah sudah bukan barang strategis lagi.
Banyak orang kaya mendadak tiba-tiba karena timah. Kebun-kebun yang tadinya dijadikan lahan pertanian dan perkebunan diganti menjadi pertambangan timah pada era 2000-an. Menjadi kolong-kolong yang kita lihat pada hari ini. “Siapa yang punya uang maka ia menambang,” tutur Fakhirzal menceritakan menjamurnya penambang timah awal reformasi.

Menjamurnya penambang timah diiringi dengan aturat ketat yang dikeluarkan oleh PT. Timah Tbk terkait limbah pembuangan timah dan reklamasi.
Namun masih saja aturan itu tidak diperdulikan. Masyarakat yang secara membludak melakukan aktivitas penambangan timah, tidak membuat limbah pembuangan. Alhasil limbah timah dibuang ke sungai-sungai. Lahan-lahan bekas tambang yang sudah tidak berproduksi lagi pun dibiarkan begitu saja. Bahkan, eks-tambang PT. Timah yang sudah direklamasi pun dibuka kembali oleh para penambang illegal.
“Banyak yang liar juga. Seharusnya kan dapat izin usaha, daerah mana yang bisa ditambang. Tapi sekarang ini susah. Cari yang benar benar sesuai izin sesuai izin tambang. Harusnya reklamasi kolong itu tutup. Ini PT. Timah sudah reklamasi dibuka lagi karena alasan perut,” kata Fachrizal.
Saat ini, sungai-sungai di Muntok tercemar limbah bekas timah. Warnanya kecoklatan karena endapan pasir dan membuat volume air naik. Sehingga di musim hujan, Muntok menjadi langganan banjir. Sebaliknya pada musim kemarau, masyarakat kekurangan air bersih karena aktivitas penambangan yang masif.
Aktivitas penambangan dari awal reformasi hingga saat ini membuat nyaris tidak ada lahan-lahan timah baru. Kalaupun ada tambang baru pun belum tentu memproduksi banyak timah.
Banyak para penambang mengalami masa sulit saat ini. Karena lahan tambang yang dimilikinya sudah tidak berproduksi kembali. “Menambang timah ini cepat dapat cepat miskin, cepat kaya cepat miskin,” ucap Fakhrizal yang menjelaskan bahwa bekerja di sektor penambangan timah sudah tidak diminati seperti era jaya di awal reformasi.
Karena lahan di darat sudah sulit, bermunculan fenomena baru di Muntok yaitu penambang laut alias TI apung. Kebanyakan dari mereka adalah pendatang dari Palembang yang memiliki kemampuan menyelam untuk mencari lokasi-lokasi timah di lautan. Namun kegiatan ini ditentang oleh para nelayan karena mengganggu mata pencahariaan mereka.
Para penambang-penambang lama sadar akan masa sulit ini. Beberapa diantaranya mengalihkan bekas tambangnya menjadi pariwisata, perkebunan, pertanian, restoran, dan tambak ikan. Selain berupaya untuk melakukan usaha alternatif, beberapa penambang yakin bahwa cara itu adalah solusi untuk melestarikan lingkungan yang telah dirusak sebelumnya.
Solusi lain untuk mengatasi permasalahan penambangan timah di Muntok saat ini adalah mengambil mineral lanjutan yang dibuang pada limbah timah (tailing). Fakhrizal yang sebelumnya bekerja di PT. Timah Tbk di bagian metalurgi yakin bahwa harga mineral ikutan jauh lebih mahal dibanding timah.
Mineral lanjutan ini diantaranya seperti Quatz, Zircon, Rutile, Ilmenit, Siderite, Xenotime, Monazite, dan Tourmaline. Disebut mineral ikutan (associated minerals) karena mineral-mineral tersebut terbentuk bersamaan dengan proses geologi terbentuknya cassiterite (SnO2).
Di dalam proses pencucian (dressing) dilakukan pemisahan berdasarkan berat jenis. Maka, mineral ikutan tersebut ikut tertangkap dalam kelompok sesuai dengan berat jenisnya.
Mineral Monazite, misalnya, sebuah mineral coklat kemerahan yang terdiri dari fosfat yang mengandung logam tanah jarang sebagai sumber cerium dan thorium. Mineral ini, menurut Fakhrizal mengandung radioaktif yang dapat dimanfaatkan untuk baterai mobil listrik.
“Kalau Monazite itu mengandung bahan radioaktif. Itukan bisa diproses untuk baterai mobil listrik, pesawat ruang angkasa. Itu bisa laku kan. Tapi siapa yang bikin pabriknya pengolahanya belum ada. Karena dijual bahan mentahnya kan tidak boleh juga,” katanya.
Kehadiran investor dengan teknologi terbarukan dipercaya Fakhrizal untuk menampung mineral-mineral ikutan tersebut. Jika hal ini diberlakukan, Fachrizal yakin akan membawa dampak baik bagi lingkungan karena limbah timah tidak terbuang sia-sia. Dia berharap, kelak masyarakat pun akan memiliki pekerjaan baru sebagai pencari mineral ikutan tersebut.
“Harusnya ini sudah terpikir,” kata Fachrizal. “Menggantikan timah dengan industri lain.”
Liputan oleh Fikri Muhammad ini didukung oleh program Journalism Fellowship “Build Back Better” yang diselenggarakan oleh The Society of Indonesian Environtmental Journalists(SIEJ) dan World Resources Institute (WRI) Indonesia. Liputan ini pertama kali terbit di National Geographic Indonesia pada tanggal 3 Desember 2020 dengan judul “Cerita kolong Timah Bangka di masa lalu sampai masa sekarang”.
- Agam dari Rinjani ke Belém: Pemandu yang Jadi Pahlawan Brasil Kini Dilirik Netflix
Kisah Agam Rinjani di COP30 menunjukkan bagaimana aksi kemanusiaan dapat mengangkat warga biasa ke panggung global, menjadikannya simbol solidaritas sekaligus pembawa gagasan lingkungan yang ingin ia terapkan kembali untuk menjaga Rinjani. - Kriminalisasi pembela lingkungan di Jantung Jawa
Kriminalisasi pembela lingkungan bukanlah kasus biasa, melainkan korban sistem yang memprioritaskan investasi di atas kelestarian lingkungan dan hak asasi manusia. - Laut merah, napas sesak. Kisah warga Morowali dalam kepungan industri nikel
Pesisir yang tercemar hanyalah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi Kurisa dan desa-desa lain di sekitar industri nikel - COP 30 menghadapi pertarungan sengit soal uang, minyak, dan keadilan iklim
Saat negosiasi COP 30 di Belém memasuki minggu kedua yang genting, pertarungan triliunan dolar untuk pendanaan iklim publik dan paradoks bahan bakar fosil - Senyum petani perempuan Bengkulu di kebun kopi tangguh iklim
Kebun kopi tangguh iklim jadi ekosistem, lumbung pangan keluarga, sekaligus benteng pertahanan menghadapi krisis iklim - Produksi batubara Kaltim melonjak, XR Kaltim sebut transisi energi “Proyek Tipu-Tipu”
Di tengah gemerlap Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP 30) di Belém, Brasil, delegasi Indonesia hadir dengan kekuatan besar. Sebanyak 450 orang, dipimpin langsung oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusuma, membawa isu utama Transisi Energi dan perdagangan karbon. Komitmen untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan digaungkan oleh delegasi yang dipimpin adik… Baca Selengkapnya: Produksi batubara Kaltim melonjak, XR Kaltim sebut transisi energi “Proyek Tipu-Tipu”




![Jumat pagi di Belém, 14 November 2025. Udara di luar Hangar Convention Centre sudah terasa panas dan tegang, bukan hanya karena kelembaban Amazon. Di pintu masuk utama Blue Zone—area steril yang disediakan untuk para negosiator berjas—obrolan diplomatik yang biasa terdengar telah digantikan oleh nyanyian dan tuntutan. Sekitar 90 pengunjuk rasa dari masyarakat adat Munduruku memblokir akses, mengubah diri mereka dari sekadar penonton menjadi inti cerita. Ini bukan side event yang terjadwal; ini adalah intervensi. Masyarakat Munduruku, yang tanah leluhurnya di negara bagian Pará, Amazonas, dan Mato Grosso terancam, tidak datang untuk berfoto. Mereka menuntut satu hal yang mendasar: "diakhirinya proyek dan kegiatan ekstraktif yang mengancam wilayah adat," terutama di cekungan Sungai Tapajós dan Xingu. Adegan ini adalah ironi pertama dan paling tajam dari KTT iklim PBB ke-30 ini. Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, telah dengan lantang menjanjikan KTT ini sebagai "COP of Truth" ("COP Kebenaran"). Namun, ketika "kebenaran" dari garis depan krisis iklim tiba di gerbangnya, respons resmi bukanlah dialog, melainkan pemanggilan tentara untuk memperkuat keamanan. Di dalam, di balik barikade, dunianya terasa berbeda. Joni Aswira Putra Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalist), melaporkan untuk Ekuatorial dari Belém. Ia menggambarkan negosiasi minggu pertama, yang berakhir pada Sabtu, 15 November 2025 , sebagai "cukup dinamis". "Dinamis" adalah kata yang sopan untuk "penuh konflik". Di balik "banyak side event" dan "pertemuan-pertemuan presidensi" yang diamati Joni, dua pertarungan fundamental sedang berkecamuk. Pertarungan pertama adalah soal uang: pertarungan triliunan dolar mengenai siapa yang membayar untuk transisi iklim. Pertarungan kedua adalah soal kredibilitas: pertarungan eksistensial mengenai integritas tuan rumah yang menjanjikan penyelamatan Amazon sambil berencana mengebor minyak di muaranya. Direktur Eksekutif COP30, Ana Toni, berusaha meredakan ketegangan, menyebut protes Munduruku sebagai "sah" dan meyakinkan media bahwa pemerintah "mendengarkan". Namun, tindakan memanggil tentara menceritakan kisah yang berbeda. Ini mengungkap adanya dua COP yang berjalan paralel di Belém: COP di dalam Blue Zone, dengan negosiasi steril dan bahasa teknis; dan COP di luar di jalanan, tempat "kebenaran" yang dituntut Lula sedang diperjuangkan secara fisik. Fakta bahwa masyarakat Munduruku harus memblokir pintu masuk hanya untuk diarahkan bertemu dengan menteri Sônia Guajajara dan Marina Silva membuktikan satu hal: mereka, pada awalnya, tidak didengar sama sekali. Pahlawan Iklim dan rencana pengeboran minyak Presiden Lula adalah pusat gravitasi dari COP30. Di panggung global, dia adalah pahlawan iklim. Dia membuka KTT Pemimpin dengan seruan penuh semangat untuk "kekalahan telak bagi penyangkal iklim". Seperti yang dicatat oleh Joni Aswira Putra, tuan rumah Brasil dan "Presiden Lula sendiri yang mendorong koalisi besar" untuk mengakhiri ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil. Ada "kabar baik" yang nyata untuk mendukung retorikanya. Pemerintahannya telah mencapai kemajuan yang mengesankan dalam menekan laju perusakan hutan. Angka deforestasi di Amazon Brasil telah turun sebesar 50% selama tiga tahun masa jabatannya. Ini adalah pencapaian signifikan yang dipamerkan di KTT. Inisiatif utamanya adalah 'Tropical Forest Forever Facility' (TFFF), sebuah mekanisme pendanaan baru yang dirancang untuk membuat "hutan yang berdiri lebih berharga daripada lahan yang gundul". TFFF bertujuan mengumpulkan $125 miliar untuk perlindungan hutan, dan telah mendapatkan komitmen awal $5,5 miliar, termasuk dari Norwegia dan kontribusi dari Brasil sendiri. Namun, seperti yang diakui Lula sendiri dalam pidatonya, ada "kesulitan dan kontradiksi". Kontradiksi-kontradiksi ini begitu mencolok sehingga mengancam kredibilitas seluruh KTT. Kontradiksi Minyak. Hanya beberapa minggu sebelum COP30 dimulai, pemerintahannya menyetujui lisensi pengeboran minyak dan gas di Foz do Amazonas, sebuah wilayah sensitif di lepas pantai muara Sungai Amazon. Ini adalah langkah yang dikecam para kritikus sebagai kemunafikan yang mencengangkan. Kontradiksi Infrastruktur: Secara bersamaan, pemerintahannya mendorong "peningkatan" jalan raya BR-319, sebuah proyek yang akan membelah wilayah barat Amazon yang masih utuh. Para ilmuwan memperingatkan ini akan memberikan "tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya" dari agribisnis dan ekstraktivisme. Ada pula rencana untuk "de-statise" (privatisasi) sungai-sungai utama seperti Tapajós untuk menciptakan "hydrovia" (jalur air) bagi pengiriman kedelai. Kontradiksi Politik Lula harus melakukan "tindakan penyeimbangan" politik yang berbahaya. Untuk memerintah, ia bergantung pada dukungan lobi "Ruralista" (agribisnis) yang kuat, yang mendominasi Kongres dan mendorong agenda ekstraktif yang berlawanan langsung dengan konservasi. Kontradiksi Ambisi Brasil, yang memposisikan diri sebagai pemimpin iklim global, secara bersamaan adalah salah satu emiten teratas dunia dan secara aktif mempertimbangkan untuk bergabung dengan OPEC+, aliansi negara-negara produsen minyak. Ini bukan sekadar "tindakan penyeimbangan"; ini adalah strategi ganda yang terkompartementalisasi. Lula tidak sedang menyeimbangkan; dia sedang mencoba memiliki keduanya. Di satu sisi, dia memperlakukan Amazon sebagai aset karbon global yang bisa dijual (melalui TFFF) kepada donor internasional untuk pendanaan iklim. Di sisi lain, dia memperlakukannya sebagai aset sumber daya domestik (minyak, tanah, jalur sungai) yang bisa dijual kepada sekutu politik (Ruralista, industri minyak) untuk stabilitas politik dan pembangunan ekonomi "abad ke-20". Paradoks Lula bukanlah kegagalan pribadi; ini adalah model bisnis "Ekstraktivisme Hijau". "COP Kebenaran" adalah panggung global untuk memasarkan kedua strategi yang saling bertentangan ini secara bersamaan. Ini adalah preseden berbahaya yang menunjukkan bahwa perlindungan iklim dan ekstraktivisme dapat berjalan beriringan, padahal kenyataannya keduanya saling meniadakan. Keuangan transisi Di jantung "dinamika" minggu pertama yang dilaporkan Joni Aswira Putra untuk Ekuatorial adalah satu isu yang selalu menjadi kunci: "keuangan transisi". Ini adalah medan pertempuran utama yang memecah belah Global Utara dan Global Selatan, dan di Belém, pertarungan ini berpusat pada dua mekanisme yang saling terkait: "Pasal 9 dari Perjanjian Paris" dan "Peta Jalan Baku-Belem" yang baru. Pasal 9 adalah inti dari ketidakpercayaan. Secara hukum, pasal ini mewajibkan negara-negara maju untuk menyediakan sumber daya keuangan bagi negara-negara berkembang untuk mitigasi dan adaptasi. Kata kerja yang digunakan adalah "shall provide" (harus menyediakan), sebuah kewajiban, bukan saran. Konflik teknis yang sangat politis terjadi pada perbedaan antara Pasal 9.1 dan 9.3. Negara-negara berkembang, yang dipimpin oleh blok G77 dan Tiongkok, berargumen bahwa COP29 di Baku tahun lalu gagal total. Mengapa? Karena kesepakatan di Baku hanya berfokus pada Pasal 9.3: "mobilisasi" keuangan, sebuah istilah yang memungkinkan negara maju menghitung pinjaman swasta dan modal komersial sebagai bagian dari kontribusi mereka. Negara-negara berkembang berargumen bahwa kewajiban inti Pasal 9.1—"penyediaan" dana publik (yaitu, hibah, bukan pinjaman) dari kas negara maju—telah diabaikan dan "masih terutang". Negara-negara maju, khususnya Uni Eropa (UE), diidentifikasi sebagai "penghalang utama" kemajuan dalam perdebatan ini, menghalangi fokus khusus pada pendanaan publik Pasal 9.1. Ke dalam kekacauan inilah "Peta Jalan Baku-Belém" diluncurkan. Ini adalah proposal besar di atas meja: sebuah rencana untuk memobilisasi $1,3 triliun USD per tahun pada tahun 2035. Seperti yang dicatat Joni, tujuannya ambisius: "reformasi arsitektur keuangan dan penghapusan subsidi fosil". Peta jalan ini memang menyerukan "perombakan" sistem keuangan dan "penyaluran kembali" subsidi bahan bakar fosil, yang menurut IMF mencapai angka mengejutkan $7 TRILIUN pada tahun 2022. Namun, peta jalan ini segera dilihat melalui dua lensa yang sangat berbeda. Bagi lembaga-lembaga seperti World Resources Institute (WRI), ini adalah "strategi holistik yang cerdas". WRI memuji "kombinasi pragmatisme dengan fokus pada skala dan perubahan sistem" dan memujinya karena "secara tepat menggeser lensa" dari dana publik yang "sederhana" untuk "membuka aliran yang jauh lebih besar dari investor swasta". Bagi negara-negara Global Selatan, pernyataan WRI adalah perwujudan dari ketakutan terbesar mereka. "Pergeseran lensa" ini, bagi mereka, adalah pengkhianatan terhadap kewajiban hukum Pasal 9.1. Mereka melihatnya sebagai "melemahkan" kewajiban negara maju dan mengganti hibah publik yang mereka butuhkan dengan pinjaman swasta yang hanya akan memperburuk krisis utang. Ini adalah perangkap utang iklim. Negara-negara berkembang, yang sudah menghabiskan 20-30% dari PDB mereka hanya untuk membayar utang, kini dipaksa masuk ke dalam skema di mana mereka harus meminjam uang (modal swasta 9.3) dari negara-negara Utara yang menyebabkan krisis iklim, untuk memperbaiki masalah yang disebabkan oleh negara-negara Utara tersebut, alih-alih menerima dana kewajiban (hibah publik 9.1). Ini adalah bentuk baru kolonialisme iklim. Tanpa penyelesaian kewajiban Pasal 9.1, Peta Jalan $1,3 Triliun berisiko menjadi "laporan yang tidak mengikat dengan dampak terbatas". Ambisi di atas kertas Pertarungan soal uang secara langsung terkait dengan pertarungan soal aksi. Joni Aswira Putra menyoroti fokus utama pada "transition away from fossil fuel" (transisi meninggalkan bahan bakar fosil) dan "peningkatan ambisi NDC" (Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional). COP30 adalah tenggat waktu krusial bagi negara-negara untuk menyerahkan rencana iklim baru mereka (dikenal sebagai NDC 3.0) yang akan menentukan nasib target 1,5°C. Kebutuhan akan ambisi ini sangat mendesak. Laporan PBB sebelum KTT telah mengkonfirmasi adanya "jurang ambisi yang luas" antara janji-janji saat ini dan apa yang diperlukan. Menanggapi hal ini, sebuah "koalisi yang berkemauan" telah terbentuk. Joni menyebutkan adanya "Belém declaration on fossil fuel" yang didukung oleh 62 negara. Ini merujuk pada "koalisi yang berkembang pesat" dari 62 negara yang kini mendukung "peta jalan transisi bahan bakar fosil (TAFF) yang terstruktur". Ini adalah "koalisi besar" yang didorong oleh Lula, dan cakupannya luas: mencakup Brasil, negara-negara Eropa seperti Prancis dan Jerman, Kenya, dan blok-blok negosiasi penting seperti Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS). Namun, koalisi 62 negara ini menghadapi kekuatan penentang yang masif. Secara formal, mereka menghadapi perlawanan dari negara-negara seperti Arab Saudi 29 dan produsen batu bara besar seperti Tiongkok dan India, yang menentang bahasa spesifik tentang penghapusan bahan bakar fosil. Namun, perlawanan yang lebih kuat dan lebih meresap bersifat informal. Sebuah analisis baru dari koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO) menemukan bahwa lebih dari 1.600 pelobi bahan bakar fosil telah diberikan akses resmi ke COP30. Angka ini sangat mengejutkan: itu berarti satu dari setiap 25 peserta di Belém adalah seorang pelobi industri fosil. Jumlah mereka jauh melampaui delegasi negara mana pun selain tuan rumah Brasil. Selama lima tahun terakhir, 7.000 pelobi fosil telah menghadiri KTT iklim. Konteks ini menjelaskan mengapa peluncuran "Deklarasi Belém tentang Integritas Informasi tentang Perubahan Iklim" menjadi begitu penting. Deklarasi ini, yang didukung oleh 12 negara termasuk Brasil, Prancis, dan Jerman, adalah pengakuan resmi di tingkat COP bahwa negosiasi tidak hanya dirusak oleh lobi, tetapi juga oleh kampanye "disinformasi, pelecehan terhadap suara ahli, [dan] ruang gema yang terpolarisasi". Kampanye ini dirancang khusus untuk "mengulur dan menyabotase aksi" iklim. Pertarungan di Belém bukan lagi sekadar negosiasi kebijakan; ini adalah perang informasi. Para pelobi tidak hanya hadir untuk memengaruhi teks; mereka hadir untuk menciptakan kabut keraguan yang membenarkan kelambanan. Seperti yang dikatakan oleh Lien Vandamme dari Center for International Environmental Law (CIEL), ini bukanlah tata kelola iklim. "Ini adalah penangkapan korporat, bukan tata kelola iklim," tegasnya. Koalisi 62 negara mungkin memiliki otoritas moral, tetapi 1.600 pelobi memiliki anggaran untuk membeli narasi. Indonesia dan dilema 'solusi palsu' Di tengah pertarungan antara Global Utara dan Selatan ini, dalam laporanya kepada Ekuatorial, Joni secara spesifik menyebut Indonesia sebagai negara "Selatan-Selatan" yang, seperti Brasil, berada di posisi kunci untuk menerima pendanaan iklim yang diperdebatkan di bawah Pasal 9. Indonesia datang ke Belém dengan proposal andalannya: "Kebijakan Industri Hijau". Sebagai bagian dari kebijakan ini, pemerintah mempresentasikan 14 proyek pengurangan emisi, yang bertujuan untuk menarik investasi internasional di bawah mekanisme Perjanjian Paris. Namun, para pengamat yang mengikuti kampanye COP Indonesia sebelumnya mencatat adanya "pola yang berulang". Proyek-proyek yang dipresentasikan "seringkali kurang transparan, tidak memiliki jadwal yang jelas, atau strategi implementasi yang terperinci". Kritik paling tajam datang dari dalam negeri. Siaran pers dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada 11 November 2025, yang berjudul "Pemerintah Indonesia Gagal Membawa Kepentingan Rakyat Indonesia di COP 30", memberikan analisis yang memberatkan. WALHI mengecam paviliun Indonesia yang baru dibuka sebagai sesuatu yang menyerupai "pasar dagang untuk hutan Indonesia dan sumber daya alamnya". Kritik utamanya ditujukan pada dua pilar strategi Indonesia. Perdagangan karbon sebagai perampasan lahan, dan dekarbonisasi beracun. Analisis WALHI menyimpulkan bahwa komitmen iklim Indonesia (SNDC) "ditakdirkan untuk gagal sejak awal" karena seluruh strukturnya dibangun di atas "skema ekstraktif". Ironisnya, saat Indonesia mempromosikan "solusi" berbasis lahan yang kontroversial, sebuah janji besar lainnya di COP30 menuai kritik serupa. "Belém 4X Pledge on Sustainable Fuels"—sebuah janji yang didukung oleh tuan rumah Brasil, India, Italia, dan Jepang untuk melipatgandakan penggunaan "bahan bakar berkelanjutan" seperti biofuel dan biogas—ditolak mentah-mentah oleh jaringan masyarakat sipil. Climate Action Network (CAN) dan Greenpeace secara eksplisit "Menolak Ikrar Belém 4X". Mereka memperingatkan bahwa ini adalah "distraksi berbahaya" yang akan memicu gelombang baru "penghancuran hutan" global untuk memenuhi permintaan bioenergi. Di sini, Indonesia dan Brasil terlihat sebagai cerminan satu sama lain. Keduanya mempraktikkan model "Ekstraktivisme Hijau". Keduanya menggunakan bahasa "hijau"—baik itu 'Kebijakan Industri Hijau', perdagangan karbon, atau 'Bahan Bakar Berkelanjutan'—untuk menarik pendanaan iklim internasional. Namun, pendanaan tersebut kemudian digunakan untuk melanggengkan model ekonomi ekstraktif yang sama (gas, pertambangan, perkebunan) yang menjadi akar penyebab krisis, dan yang secara konsisten mengorbankan masyarakat adat dan lokal, baik itu Suku Anak Dalam di Jambi maupun masyarakat Munduruku di Belém. Minggu pertama COP30 ditutup dengan "tekanan yang meningkat". Seperti yang dilaporkan Joni Aswira Putra, negosiasinya "dinamis", tetapi para ahli di lapangan, seperti Dr. Rachel Cleetus dari Union of Concerned Scientists (UCS), memperingatkan bahwa "terobosan besar pada topik-topik kritis belum terwujud". Para menteri yang kini tiba di Belém untuk negosiasi tingkat tinggi di minggu kedua mewarisi beban untuk menyelesaikan serangkaian pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana cara menutup "jurang ambisi" emisi untuk menjaga target 1,5°C tetap hidup? Bagaimana cara menyepakati penghapusan bahan bakar fosil yang adil dan didanai—bukan sekadar retorika? Bagaimana cara mengatasi kebuntuan fundamental antara pendanaan publik (Pasal 9.1) dan mobilisasi swasta (Pasal 9.3)? Ada ketakutan yang nyata bahwa proses COP itu sendiri "rusak" dan "tidak lagi sesuai dengan tujuannya". Kekecewaan negara-negara berkembang terhadap hasil tahun lalu di Baku digambarkan sebagai "pengkhianatan yang mengejutkan". Di tengah krisis kredibilitas inilah, Kepala Iklim PBB Simon Stiell memberikan pidato pembukaan yang tajam. Dia memohon kepada para delegasi: "Pekerjaan Anda di sini bukan untuk bertarung satu sama lain – pekerjaan Anda di sini adalah untuk melawan krisis iklim ini, bersama-sama". Saat para menteri mengambil alih negosiasi, "COP Kebenaran" dihadapkan pada pilihan terakhirnya. Kebenaran siapa yang akan mereka wujudkan? Kebenaran yang nyaman dari para pelobi dan solusi palsu mereka? Kebenaran yang dikompromikan dari tuan rumah mereka yang paradoksal? Atau kebenaran yang tidak nyaman dari masyarakat adat Munduruku, yang tuntutannya—jika benar-benar didengarkan—akan memaksa perubahan sistemik yang sebenarnya? Jawabannya akan menentukan apakah Belém dikenang sebagai titik balik, atau hanya sebagai "pasar dagang" lain untuk masa depan planet ini.](https://www.ekuatorial.com/wp-content/uploads/2025/11/COP-30-Brasil-COP-Kebenaran-150x150.avif)

