Kesadaran akan pentingnya melindungi lingkungan lahir ketika masyarakat merasakan dampak dari lingkungan yang rusak. Mulai dari pembentukan kelompok sadar wisata, dukungan dari organisasi lingkungan, dan komitmen pemerintah daerah, masyarakat Desa Wotgalih membangun pemberdayaan untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan ekonomi mereka.
Liputan ini pertama kali terbit di Terakota.id pada tanggal 13 Desember 2020
Oleh Moh. Badar Risqullah
Angin berembus, desiran ombak berkejaran menghiasi pesisir pantai selatan Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang. Wisatawan asal Turki, Niko menenteng papan selancar. Tubuh gempalnya telungkup di atas papan, kedua tangan mendayung. Gelombang tinggi berkejaran, Niko berdiri di atas papan.
Selama 30 menit awal, Niko tampak kesulitan mengikuti deru ombak. Tak lama bagi Niko untuk beradaptasi, menari, mengikuti ombak yang bergulung-gulung di pantai Mbah Drajid Wotgalih. Tubuhnya meliuk bak penari yang mengikuti irama ombak pantai selatan Jawa.
”Pantai Wotgalih bagus dan saya suka. Saya berselancar dan saya puas. Mungkin, saya akan kembali kesini lain waktu,” ujarnya Senin sore, 7 Desember 2020. Pria berkebangsaan Turki ini khusus mengunjungi Pantai Mbah Drajid dari Pulau Dewata, Bali. Ia penasaran, kabar ombak Mbah Drajid sangat menantang adrenalin peselancar.
Deburan ombak seakan menemani aktivitas sehari-hari masyarakat. Tenang, tanpa terganggu deru mesin pengeruk pasir dan lalu lalang truk mengangkut pasir. Pantai Mbah Drajid Wotgalih menjadi destinasi wisata sejak pertambangan pasir besi berhenti total delapan tahun silam. Pengunjung cukup membayar Rp 5 ribu sebagai retribusi pengembangan Pantai Mbah Drajid Wotgalih.
Sejumlah warung dengan bangunan berbahan bambu berderet, menyambut kedatangan pengunjung. Beragam menu makanan dan minuman ditawarkan kepada para pengunjung.
Salah seorang pedagang, Burhan mengaku sejak beberapa hari terakhir pengunjung berkurang. Ramai pengunjung, katanya, saat akhir pekan atau libur nasional. Saat sepi pengunjung, ia hanya berjualan siang hingga sore. ”Seringnya jualan Sabtu dan Minggu saja, ramai,” tutur Burhan.
Namun, ia tetap bersyukur berjualan makanan turut meningkatkan perekonomian keluarga. Setiap hari, ia bisa mengantongi laba antara Rp 1 juta sampai Rp 2 juta saat ramai pengunjung dan Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu ketika sepi.
Awalnya, pantai Mbah Drajid Wotgalih merupakan tempat wisata tahunan. Saat lebaran masyarakat berziarah ke makam Mbah Drajid. Lokasinya berjarak sekitar 24 kilometer dari Alun-alun Lumajang. Kini, setiap hari ramai pengunjung. Sejak pemerintah desa dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) menyediakan fasilitas berswafoto, kamar mandi hingga warung. ” Sekitar dua tahun lalu dibangun warung,” ujarnya.
Sejak pandemi COVID-19 awal 2020, wisata Mbah Drajid mati suri. Salah seorang pengelola pantai Wisata Mbah Drajid Wotgalih, Usman Wahyudi menjelaskan pantai ditata sejak 2015, saat itu Bupati Lumajang Sjahrazad Masdar meminta satu kecamatan minimal memiliki satu desa wisata.
Sejak itu, pantai ditata dan dikembangkan menjadi destinasi wisata. Lantas dibentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pansela Desa Wotgalih. Mereka menata kawasan pantai dan menjaga pantai tetap bersih. Berangsur-angsur pantai Mbah Drajid Wotgalih mulai dilirik wisatawan. Menjadi salah satu tujuan wisata pantai. Rata-sehari pengunjung 200 hingga 250, sedangkan saat libur mencapai 500 hingga 1000 orang.
”Alhamdulillah, pantai ramai pengunjung otomatis perekonomian masyarakat meningkat. Mereka membuka warung,” ujar Usman saat ditemui Selasa, 8 Desember 2020.
Berziarah ke makam Mbah Drajid
Setiap Hari Raya Idul Fitri, masyarakat setempat berziarah ke pesarean atau makam leluhur babat alas Desa Wotgalih, Mbah Drajid. Peziarah terdiri atas warga sekitar maupun warga luar kota. ”Dulu masyarakat berziarah ke makam Mbah Drajid setelah salat Idul Fitri,” ujar Usman.
Dulu, kata Usman, masyarakat menyebut Pantai Wotgalih saja. Sebagian masyarakat yang berlatar belakang dari etnis Madura menyebut kawasan pesisir selatan Jawa dengan nama tasek atau laut Mbah Drajid. Lantas pesisir pantai selatan lebih dikenal dengan sebutan Pantai Mbah Drajid Wotgalih sejak dikelola Pokdarwis Pansela.
Sebutan pantai Mbah Drajid Wotgalih untuk mengingat leluhur babat alas Desa Wotgalih, Pangeran Indrajid dan Pangeran Trunojoyo. Keduanya merupakan keturunan Kerajaan Mataram Islam. ”Pengunjung pantai sebagian usai berziarah ke pesarean beliau (Pangeran Indrajid dan Pangeran Trunojoyo). Sebutan Pantai Mbah Drajid Wotgalih untuk juga mengenang dan mengingatkan jasa beliau,” tutur Usman.
Usman mengisahkan lika-liku pengelolaan pantai Mbah Drajid Wotgalih. Awalnya kawasan dikuasai perusahaan tambang, pasir besi dikeruk hingga menyisakan lubang bekas tambah. Selama perusahaan tambang beroperasi, terjadi dua kali konflik dengan warga. Pada 1998 hingga 2004 dan 2009 hingga 2011.
Pemerintah Kabupaten Lumajang mengeluarkan izin tambang dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Lumajang Nomor 188.45/225/427.12/2010 untuk perusahaan tambang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Luas kawasan konsesi mencapai 462,2 hektare dengan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) untuk jenis pasir besi.
Pemerintah Kabupaten Lumajang juga mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan status operasi produksi. Diperpanjang melalui SK perubahan Bupati Lumajang pada 26 Mei 2011 dengan jangka pertambangan hingga 2021.
Izin serupa juga dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Lumajang di Desa Wotgalih kepada perusahaan tambang swasta dengan area konsesi seluas 2.744,21 hektare, tertanggal 8 Agustus 2012. Izin berlaku hingga 8 Agustus 2022. Kawasan tambang pasir tersebar di 13 desa yang ada di enam kecamatan.
Masyarakat setempat dirugikan, kawasan pesisir rusak akibat tambangan pasir besi. Lalu lalang truk pengangkut pasir juga mengakibatkan jalan rusak. Ribuan warga berunjukrasa memprotes dan menolak tambang.
Tolak tambang pasir, lestarikan lingkungan
Usman menceritakan gerakan warga menolak tambang tergabung dalam sebuah kelompok masyarakat bernama Forum Silaturahmi Masyarakat Wotgalih (Foswot). Forwot juga didampingi organisasi lingkungan antara lain Laskar Hijau, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jaringan Antitambang (Jatam), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, dan Pusat Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Airlangga.
”Selain aksi menolak tambang pasir besi. Tujuan utamanya demi kelestarian lingkungan di pesisir selatan Lumajang,” kenang Usman.
Gerakan penolakan tambang memicu kesadaran kolektif, jika tambang pasir besi merugikan lingkungan hidup. Gundukan pasir di pantai yang menjadi benteng alami terhadap terjangan gelombang tinggi atau tsunami menjadi rata dan menyisakan lubang bekas tambang. Sementara warga Desa Wotgalih mengenang tsunami Banyuwangi 1994 silam. Warga Desa Wotgalih selamat karena dibentengi gundukan pasir.
Sehingga, tak heran warga menolak tambang pasir besi. Kini, tak ada gundukan pasir sehingga angin kencang menerjang ke permukiman warga. Aksi demonstrasi saat itu berlangsung berhari-hari. Usaha warga berhasil, sejak 2012 izin tambang pasir besi tidak diperpanjang Pemerintah Kabupaten Lumajang.
”Semuanya terbayar. Kita berhasil menyelamatkan kawasan pantai dari pertambangan pasir besi,” kata Usman. Kini, mereka mulai menata ulang kawasan menjadi objek wisata berkonsep ekonomi kemasyarakatan dan pelestarian lingkungan. Pengelola pantai Mbah Drajid Wotgalih membangun fasilitas dengan bahan bambu dan kayu. Semua bangunan semi permanen, tak ada bangunan beton.
”Jika rusak, bisa dibangun kembali,” ujarnya. Usman dan Pokdarwis Pansela serius mengelola wisata tanpa merusak lingkungan. Mengelola lebih banyak melibatkan warga dibanding tambang pasir yang hanya menguntungkan segelintir orang. Warung di sepanjang kawasan pantai Mbah Drajid Wotgalih sebanyak 15, semua dikelola warga setempat. Pengerjaan bangunan juga mempekerjakan warga setempat. Pariwisata memiliki multiplier effect atau dampak berganda.
”Kami sudah tidak percaya lagi dengan iming-iming uang besar dari tambang pasir. Ujung-ujungnya tetap masyarakat dirugikan,” ujar Usman menegaskan.
Pantai Laskar Pelangi tolak investor
Semangat pariwisata dengan konsep kelestarian lingkungan juga tercermin di pantai Laskar Pelangi. Lokasinya berjarak 7,4 kilometer dari pantai Mbah Drajid Wotgalih. Kawasan pantai yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jember ini dibuka sejak Juni 2020. Dikelola belasan warga yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Pengawasan (Pokmaswas) Laskar Pelangi.
Pantai Laskar Pelangi menjadi alternatif objek wisata di Wotgalih. Muhammad Ali Ridho pengurus Pokmaswas Laskar Pelangi menjelaskan pengelolaan pantai diawali dengan bergotong royong membersihkan pantai. Lantas mereka bersepakat menata dan mengelola menjadi tempat wisata bernama pantai Laskar Pelangi.
”Tujuannya meningkatkan perekonomian masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan,” ujar Ridho kepada Terakota.id, Senin, 16 November 2020. Sekaligus menjadi simbol perlawanan, menolak tambang pasir besi. Kini, dibangun sejumlah fasilitas tempat duduk dan satu warung.
Keelokan pantai Laskar Pelangi tercium para investor yang berniat bekerjasama pengelolaan. Sekitar empat investor yang menghubungi dan menyiapkan dana segar untuk memoles pantai secara besar-besaran. Namun, Pokmaswas Laskar Pelangi tidak bergeming. Mereka tetap menolak investor dan menggunakan dana swadaya.
”Sejak awal berkomitmen konsep wisata ekonomi kemasyarakatan dan pelestarian lingkungan. Khawatir dengan investor terjadi perubahan besar-besaran yang bakal merusak lingkungan,” tutur Ridho. Di pantai Laskar Pelangi pengunjung bisa menikmati muara, pantai, danau serta hutan bakau dan cemara. Tahap awal, pengunjung tak dipungut biaya alias gratis.
Namun, sampah menjadi masalah. Pantai yang berlokasi di muara ini seolah menjadi tempat pembuangan akhir sampah dari kawasan hulu. Sampah menumpuk di kawasan pantai Laskar Pelangi. Sampah menjadi tantangan terbesar Pokmaswas Laskar Pelangi. Mengedukasi masyarakat di kawasan hulu agar tidak membuang sampah ke sungai.
Salah seorang pedagang bernama Mama Satruman, 55 tahun, merasakan dampak ekonomi dari pantai Laskar Pelangi. Ia mulai berjualan sejak beberapa bulan lalu. Buka setiap hari mulai pukul 07.00 hingga 18.00 WIB. Penghasilan rata-rata setiap hari sebesar Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu. ”Ada penghasilan tambahan, sebelumnya bertani,” ucap Mama.
Komitmen Bupati Lumajang
Bupati Lumajang Thoriqul Haq merespon komitmen bersama warga Desa Wotgalih menolak tambang. Thoriqul Haq mengaku fokus dan konsisten, dan setiap kebijakan berpedoman terhadap kelestarian lingkungan. “Pemerintah tidak segan bertindak tegas terhadap aktivitas apapun di wilayah Kabupaten Lumajang yang merusak lingkungan,” ujarnya pada peringatan Hari Pohon di Desa Selok Awar-awar, Minggu, 22 November 2020.
Pemerintah Kabupaten Lumajang, katanya, tidak akan memberikan atau memperbarui izin tambang apapun. ”Saya tidak peduli, dengan alasan apapun. Orang-orang yang mengganggu lingkungan akan langsung berhadapan dengan saya,” tutur Thoriq menegaskan.
Komitmen bersama melestarikan lingkungan, ujarnya, merupakan salah satu bentuk menyelamatkan jiwa dan kehidupan manusia. Salah satunya dengan menanam pohon di pesisir selatan Kabupaten Lumajang. ”Kita melakukan langkah nyata, bersama-sama demi kelestarian lingkungan di Lumajang. Khususnya kawasan pesisir selatan,” ujarnya.
Konflik tambang pasir tak hanya terjadi di Desa Wotgalih, juga terjadi di Desa Selok Awar Awar hingga merenggut nyawa Salim Kancil pada 2015. Salim Kancil dianiaya di Balai Desa hingga meninggal. Setelah kejadian itu, warga menyerukan menolak aktivitas tambang dan kini berhenti total.
Koordinator Laskar Hijau, A’ak Abdullah Al Kudus menyebut kawasan pesisir Kabupaten Lumajang tak memiliki benteng alami berupa gundukan pasir. Semua dikeruk habis. Seperti pesisir Desa Selok Awar Awar, gundukan pasir telah rata. Bahkan sebagian menyisakan lubang pasir. Padahal, gundukan pasir penting untuk mengurangi dampak risiko tsunami dan gelombang tinggi.
“Pesisir selatan Lumajang ada patahan bumi dan palung laut yang berpotensi gempa disertai tsunami,” ujar A’ak.
Jika terjadi gempa bumi berkekuatan lebih dari 6,5 skala richter (SR) berpotensi tsunami dengan kecepatan gelombang mencapai 800 kilometer per jam. Sehingga, dibutuhkan waktu selama 25 menit setelah gempa, bagi warga untuk menyelamatkan diri ke perbukitan sejauh 3 kilometer di ketinggian 11 meter. ”Tapi, apakah bisa?,” ujar A’ak bertanya.
Untuk itu, salah satu caranya dengan menanam pohon di kawasan pesisir selatan Lumajang untuk mengurangi risiko bencana gempa disertai tsunami. A’ak berharap Pemerintah Kabupaten Lumajang segera menyusun Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Kawasan Pesisir Selatan Lumajang. Mengacu Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mengatur kawasan pesisir 100 meter dari batas tertinggi air menjadi kawasan lindung.
Perda sangat penting, katanya, untuk memastikan perlindungan kawasan. Mengingat kawasan pesisir Lumajang menggiurkan bagi pengusaha tambang besar untuk mengeruk pasir besi. ”Tanpa ada Perda, komitmen Pemerintah Kabupaten Lumajang untuk melindungi pesisir selatan Lumajang hanya omong kosong,” ujar A’ak.
Upaya Lumajang memitigasi kerusakan lingkungan dari aktivitas pertambangan dengan menjadikan sebagai lokasi wisata menjadi contoh berani. Selaras dengan slogan Build Back Better yang didengungkan pemerintah pusat. Langkah Lumajang ini belajar dari pengalaman investasi merusak di masa lalu dan kini menuju pembangunan berkelanjutan yang membawa manfaat bagi masyarakat, baik dari sisi ekonomi maupun perlindungan dari bencana.
Liputan ini didukung oleh program Journalism Fellowship “Build Back Better” yang diselenggarakan oleh The Society of Indonesian Environtmental Journalists(SIEJ) dan World Resources Institute (WRI) Indonesia.