Sebuah gerakan yang lahir dari empati kaum muda perkotaan yang ingin mendekatkan isu hutan pada masyarakat, untuk melahirkan rasa keingintahuan, meningkatkan kepedulian, dan mendorong aksi nyata untuk melindungi hutan.

Hari Hutan Internasional, yang jatuh setiap tanggal 21 Maret, diperingati agar penduduk bumi semakin sadar dan peduli tentang betapa pentingnya hutan bagi kehidupan. Kerusakan hutan akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan hidup semua makhluk di dunia, tak terkecuali manusia.

Walau demikian, penggundulan hutan (deforestasi) masih terus berjalan, bahkan telah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Tak terkecuali di Indonesia, negara dengan area hutan tropis terluas ketiga di dunia. Pemerintah memang mengklaim berhasil menurunkan laju deforestasi periode 2019-2020 sebesar 75% dibanding periode setahun sebelumnya, tapi gundulnya 115.459 hektare hutan itu masih terbilang luas.

Menurut Hutan Itu Indonesia, kewajiban utama menahan laju deforestasi memang ada di tangan pemerintah. Akan tetapi, semua pihak harus berperan aktif, termasuk generasi muda yang kelak akan meneruskan pengelolaan sumber daya alam di Tanah Air. Peran aktif tersebut bisa diawali dengan menumbuhkan rasa cinta terhadap hutan dan alam.

Hutan Itu Indonesia adalah sebuah gerakan yang diinisiasi oleh 14 anak muda dan berjalan sejak April 2016.

Mereka bergerak untuk melakukan kampanye pelestarian hutan dengan melakukan kegiatan yang menyenangkan dan positif.

Untuk mengetahui lebih jauh soal kegiatan yang menyenangkan dan positif tersebut, serta menyelami pandangan mereka tentang kondisi hutan Nusantara, the Society of Indonesia Environmental Journalists (SIEJ) berbincang dengan Ketua Umum Hutan Itu Indonesia, Rinawati Eko pada hari Jumat, 19 Maret 2021.

Rinawati Eko berpose dengan bingkai Instagram di salah satu program kampanye Hutan Itu Indonesia. Foto: Dokumentasi pribadi

Hari Hutan Internasional jatuh pada tanggal 21 Maret setiap tahun. Bagaimana anda melihat kondisi hutan di wilayah Nusantara saat ini?

Kalau kita di Hutan Itu Indonesia melihatnya dari dua sisi. Tidak dapat dimungkiri ada yang negatif, tapi juga masih banyak hutan kita yang masih terjaga, masih lestari. Hal negatif misalnya ada hutan yang gundul, ada kebakaran hutan. Tetapi juga banyak bagian-bagian hutan yang masih terjaga dan banyak komunitas serta inisiatif-inisiatif yang secara mandiri menjaganya. Kita di Hutan Itu Indonesia mendukung inisiatif-inisiatif tersebut dengan berbagi informasi terkait kondisi sumber daya alam itu.

Kami tidak memiliki data sendiri tentang berapa luas tutupan hutan, deforestasi atau reforestasi. Fokus utama kami pada konten informasi. Tetapi kalau butuh data untuk memproduksi konten informasi, kami akan merujuk pada sumber-sumber resmi misalnya KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), atau lembaga lain yang memang fokusnya pada pengumpulan data seperti WRI Indonesia karena mereka secara reguler meng-update data.

KLHK mengumumkan laju deforestasi 2019-2020 turun 75% dibandingkan 2018-2019. Apa tanggapan anda terkait klaim itu?

Kami inginnya deforestasi itu lebih menurun lagi dan inginnya justru tidak ada lagi deforestasi. Untuk sampai ke sana dibutuhkan tidak hanya upaya dari pemerintah, kita-kita juga harus terus mengingatkan dan kemudian mengawal inisiatif dari pemerintah itu.

Deforestasi terlihat bergerak ke Indonesia Timur. Pemerintah menyatakan hal itu terjadi karena banyaknya pembangunan di wilayah itu. Apakah alam memang harus jadi korban pembangunan?

Well, deforestasi nol sih memang seperti mimpi dengan adanya kebutuhan ekonomi. Tapi mungkin upaya kita ke sana bisa didorong untuk lebih mendekati, sehingga laju deforestasi bisa turun terus. Kebutuhan ekonomi kita terus bertambah, tapi di sisi lain hutan kita atau sumber daya alam yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kita jumlahnya segitu-gitu aja. Jadi pasti ada konfliknya di sana. Menurut saya, setiap kebijakan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk hutan, itu perlu mendengarkan suara-suara yang berkepentingan. Kita perlu memerhatikan daya dukung lingkungannya. Sesuai gak sih dengan kebutuhan kita? Atau itu sebenarnya kebutuhan yang kita klaim saja, karena sebenarnya belum tentu kita butuhkan.

Kebijakan pemerintah seperti apa yang anda harapkan agar hutan Indonesia terjaga?

Pastinya kebijakan yang bisa membawa hutan kita menjadi lebih baik. Menurutku sebenarnya kebijakannya sudah banyak, seperti penetapan moratorium hutan (hutan alam primer dan lahan gambut, red.) menjadi kebijakan permanen.

Kebijakan itu bagus sekali dan kami menyuarakan agar 7 Agustus, tanggal penetapan moratorium hutan menjadi permanen itu, dijadikan sebagai Hari Hutan Indonesia. Kan ada Hari Hutan Internasional nih. Kenapa Indonesia yang tutupan hutannya merupakan salah satu yang terluas di dunia tidak memiliki Hari Hutan Indonesia. Kita jadikan satu hari itu sebagai momen untuk sejenak mengingat hutan dan sebagai refleksi terhadap apa yang sudah kita perbuat terhadap hutan.

Apa tujuan utama pendirian Hutan Itu Indonesia?

Hutan Itu Indonesia lahir karena kan kebanyakan dari kami tinggalnya di kota, kaum urban, sehingga hutan itu seperti sesuatu yang jauh, tidak jadi satu bagian dari kami. Tetapi kami kemudian merasa terganggu kalau ada hutan atau spesies yang terganggu. Ada empatinya di situ.

Kami merasa tidak semua orang merasa ada keterhubungan dengan hutan. Oleh karena itu kami ingin bercerita tentang hutan, dengan cerita-cerita yang menyenangkan. Harapannya, orang mau mendengarkan dan akhirnya tertarik untuk melihat lebih jauh tentang hutan. Semakin banyak orang yang tahu lebih jauh, semakin banyak yang akan peduli.

Menurut anda, bagaimana tanggapan masyarakat terhadap gerakan ini?

Pada tahun 2016, saat kami mulai mencetuskan untuk berkampanye tentang hutan dengan cara yang menyenangkan. Misalnya, kami menyelenggarakan konser musik, baru kemudian di tengah konser kami sampaikan, misalnya, “Hi guys, lagu-lagu ini tercipta karena terinspirasi oleh hutan lho, video klip ini ambil gambarnya di hutan ini lho.” Seperti itulah.

Kita mulai waktu itu dengan acara olahraga “Kulari untuk Hutan”. Jadi kita lari 5 km dan setiap kilometer akan dikonversi jadi satu adopsi pohon. Itu test case pertama dan kami tidak menyangka ada lebih dari 300 orang mendaftar. Padahal target awal kami hanya 100 peserta.

Kami juga berupaya membuat acara-acara yang bisa menarik perhatian orang banyak. Misalnya konser musik, makan-makan cantik yang instagramable. Pokoknya bisa menarik orang dulu untuk datang, baru kemudian kami sisipkan penjelasan soal keadaan hutan di Indonesia.

Hal menarik, orang yang datang ke acara kami adalah mereka yang sama sekali belum terpapar informasi tentang hutan, bukan mereka yang sudah ikut gerakan-gerakan lingkungan. Mereka lantas mulai banyak bertanya tentang hutan dan kami sangat senang. Mungkin itu bisa disebut sebagai sambutan yang bagus, yang baik.

Siapa sasaran utama kampanye HII?

Target audience utama kami adalah kaum urban berusia 18-35 tahun. Kenapa? Karena demografinya termasuk yang terbanyak di Indonesia dan cukup punya suara untuk bisa memengaruhi kelompok lainnya.

Apa yang anda harapkan dari kaum urban berusia muda tersebut?

Kami inginnya lebih banyak kaum muda yang peduli terhadap kelestarian hutan di Indonesia. Cinta kepada hutan. Untuk itu, pertama dekatkan diri dulu dengan hutan sehingga ada di pikiran kita, jadi top of mind. Kalau sudah menjadi top of mind, ketika bertindak atau memilih sesuatu kita akan mempertimbangkan apa yang ada di top of mind kita.

Kalau hutan ada di pikiran anak muda Indonesia, kalau mereka akan melakukan sesuatu akan otomatis mempertimbangkan kondisi hutan. Misalnya sesimpel ini, ketika kita memakai tisu dan tahu tisu berasal dari pohon yang ada di hutan, maka kita akan mengurangi pemakaiannya. Dimulai dari yang kecil dulu.

Apakah HII juga melakukan advokasi kepada masyarakat adat atau warga yang tinggal di dekat hutan yang keberadaannya terancam industrialisasi?

Kami tidak secara langsung melakukan advokasi, karena sejak awal inisiatif yang kami ambil adalah kampanye untuk mendekatkan kaum urban ke hutan. Akan tetapi, saat kami berkunjung ke hutan-hutan, kami berupaya mendengarkan cerita-cerita dari masyarakat setempat untuk kemudian kami ceritakan ulang dalam website dan media sosial kami.

Selain kampanye, kami juga mempromosikan aksi-aksi nyata yang bisa teman-teman urban lakukan untuk berkontribusi langsung, seperti adopsi pohon, mempromosikan hasil hutan bukan kayu yang diproduksi komunitas masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Hasil hutan bukan kayu itu seperti madu, mentega dari tengkawang, pewarna tenun.

Itu semua kami kemas dalam program Pesona Hutan. Bisa dilihat di website kami. Kami tidak memberi bimbingan atau pendampingan tetapi kami menyediakan platform bagi mereka untuk menceritakan produk mereka pada Pesona Hutan.

Program lain adalah Adopsi Pohon bekerja sama dengan KKI Warsi di Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan, serta bersama Yayasan Asri di Kalimantan.

Ada acara khusus untuk memperingati Hari Hutan Internasional?

Kami berkolaborasi dengan teman-teman lain untuk menyelenggarakan webinar dan diskusi-diskusi. Kami juga sedang menyelenggarakan kelas Suka Hutan. Kelas untuk mempersiapkan sukarelawan berkampanye tentang hutan melalui pesan yang positif dan cara yang menyenangkan. Ada sekitar 40 sukarelawan yang ikut.

Tapi sebenarnya fokus utama kami adalah merayakan Hari Hutan Indonesia pada 7 Agustus nanti.

Apa pesan yang ingin anda sampaikan untuk warga Indonesia?

Kita semua bisa menjaga hutan meskipun dari rumah masing-masing. Bagaimana caranya? Silakan contek di website Hutan Itu Indonesia. Bisa dengan share your stories, adopsi pohon, mengkonsumsi hasil hutan bukan kayu, dan yang lainnya.

Kami juga mengajak masyarakat untuk merayakan Hari Hutan Indonesia pada 7 Agustus nanti. Merayakan keragamannya, merayakan keberadaannya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.