Jurnalis adat Mentawai belajar tentang media visual untuk meliput kerusakan lingkungan. Selama tiga hari mereka diperkenalkan kepada dasar-dasar sinematografi, keterampilan mengedit, wawancara, dan mempertajam ide liputan.

Oleh Gerson Merari

Masyarakat adat Kepulauan Mentawai di Indonesia bagian barat menjalani kehidupan yang berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya. Mereka hidup menurut kearifan adat yang telah diturunkan dari generasi ke generasi, namun kebijakan pemerintah sering kali bertujuan dan berpihak pada pertumbuhan ekonomi daripada melindungi sumber daya alam tepat mereka bergantung, dan mereka juga jarang melihat manfaat dan keuntungan dari perusahaan yang mengambil lahan mereka.

Dalam dua puluh tahun terakhir, hutan dan sumber daya alam Mentawai semakin terancam karena banyak izin konsesi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit, mengeksploitasi kayu dan sumber daya hutan lainnya.

Akibat konsesi tersebut, aktivitas penebangan hutan menyebabkan kerusakan lingkungan yang memicu tanah longsor, dan banjir. Izin-izin konsesi tersebut juga telah mangambil lahan dari masyarkat adat yang mengandalkan perkebunan utuk menanam makanan mereka, sehingga meningkatkan kerawanan pangan.

Masyarakat adat Mentawai telah menentang pemberian izin kepada perusahaan-perusahaan konsesi demi mempertahankan tanah leluhur mereka. Seperti yang dilakukan oleh suku Sabulukkan dan Satoutou, yang menentang perizinan hutan industri untuk dijadikan perkebunan untuk menghasilkan energi biomasa seluas 20,000 hektar kepada PT. Biomas Andalan Energi.

Hingga 2019, pemerintah telah mengeluarkan 9 izin perusahaan konsesi kayu dan yang terbaru, izin hutan tanaman industri. Untuk saat ini ada tiga perusahaan konsesi yang sedang aktif beroperasi.

Namun tak banyak media yang meliput dan mengabarkan perjuangan mereka kepada masyarakat umum.

Mentawaikita, media lokal yang dikelola oleh Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCM Mentawai), lembaga swadaya masyarakat yang mengadvokasikan isu-isu dan hak masyarakat adat, merupakan satu-satunya media yang meliput dan mengabarkan suara masyarakt adat melalui medium radio, surat kabar dan online.

“Untuk menyuarakan masyarakat Mentawai dan meliput berita lingkungan dan iklim, YCM Mentawai telah membuat radio komunitas dan surat kabar yang baru-baru ini menjadi platform berita online MentawaiKita.com. yang memiliki sekitar 100.000 pageview per bulan atau rata-rata 36.000 pengunjung tiap bulan,” menurut direktur YCM Mentawai, Rifai.

Untuk saat ini, akses internet masih terbatas di pulau terpencil yang terletak sekitar 150 kilometer dari lepas pantai Sumatera Barat ini. Namun, seiring dengan peningkatan akses internet dan akses ke ponsel, Rifai mengatakan wartawan harus siap dengan alat untuk bercerita dan menginformasikan komunitas mereka. Dan satu elemen yang hilang dari laporan ini adalah video.

Video merupakan media yang ampuh untuk bercerita, terutama tentang kerusakan lingkungan, kata Rifai.

Pada tanggal 4 hingga 6 Maret lalu, dengan dukungan Earth Journalism Network (EJN), YCM Mentawai mengadakan pelatihan jurnalisme untuk 12 jurnalis adat di kota Padang, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam bercerita tentang ancaman yang dihadapi lingkungan mereka. Pelatihan ini merupakan yang pertama dari lima pelatihan yang direncanakan untuk meningkatkan kapasitas jurnalis dan komunikator adat dalam memproduksi berita menggunakan video.

Selama tiga hari, peserta tidak hanya belajar cara merekam video tetapi juga dasar-dasar sinematografi, keterampilan mengedit video, pemblokiran kamera untuk pembingkaian yang lebih baik, dan cara melakukan wawancara. Pelatih utama Wahyu Mulyono juga mengajak peserta untuk menggali ide-ide lebih dalam, menggunakan lensa dokumenter, untuk membantu jurnalis menceritakan kisahnya dengan lebih efektif.

Peserta pelatihan jurnalis adat berfoto bersama dengan pelatih dan staf Yayasan Citra Mandiri Mentawai pada hari terakhir pelatihan, yang diadakan pada tanggal 4-6 Maret 2021 di Kota Padang, Sumatera Barat. Foto: Gerson Merari / Yayasan Citra Mandiri Mentawai Credit: Yayasan Citra Mandiri Mentawai Credit: Yayasan Citra Mandiri Mentawai

Liputan video oleh komunitas

Sebagai bagian dari hibah media melalui proyek EJN Asia-Pasifik, program ini juga dirancang untuk memberdayakan dan mendukung perempuan adat dengan mengajari mereka cara melaporkan lingkungan mereka menggunakan ponsel.

Perempuan Mentawai berperan penting dalam urusan rumah tangga, terutama dalam penyediaan makanan untuk keluarga, jelas Rifai. Namun suara mereka kerap terabaikan dalam hal pengambilan keputusan adat.

“Memiliki program khusus untuk perempuan Mentawai memberikan ruang yang lebih nyaman bagi mereka untuk mengekspresikan diri dan membangun kepercayaan diri yang lebih baik, sehingga partisipasi mereka dalam pelatihan akan lebih tinggi.”

Rifai, DIrektur Yayasan Citra Mandiri (YCM) Nentawai

Wahyu Mulyono, seorang jurnalis dan pembuat film dokumenter yang mapan, mengatakan di era yang semakin digital, video merupakan cara penting bagi jurnalis untuk menjangkau khalayak yang lebih luas.

“Jika ceritanya dikemas dengan baik, maka pesan yang ingin kita sampaikan melalui media audio visual bisa tersampaikan dengan baik dan kita mendapatkan respon yang kita inginkan,” jelasnya.

Latihan

Wahyu mengatakan, kualitas video yang dihasilkan melalui pelatihan pertama ini bervariasi. Da beberapa yang bagus, tetapi yang lain membutuhkan lebih banyak latihan.

Membuat konten audio visual atau film membutuhkan proses pelatihan yang lama, kata dia, sehingga perlu bagi jurnalis untuk terus berlatih membuat konten.

Tantangan bagi peserta, imbuh Wahyu, adalah bagaimana mentransfer bahasa tulis ke dalam visual.

Wahyu Mulyono memberikan materi pelatihan kepada peserta. Foto: Yayasan Citra Mandiri Mentawai

“Dari hasil pelatihan singkat tersebut terlihat bahwa mereka sekarang lebih memahami tentang bagaimana bercerita secara visual.”

Wahyu Mulyono, pelatih

Bambang Sagurung, jurnalis dari Sikabaluan, Mentawai, yang berpartisipasi dalam pelatihan tersebut, mengatakan bahwa dia mempelajari beberapa keterampilan baru.

“Misalnya bagaimana mencari opening yang bagus untuk sebuah video atau film dokumenter, persiapan apa yang harus dilakukan, pengambilan gambarnya, kemudian format perekaman visualnya yang beragam, dari medium hingga close up, agar lebih menarik. Juga camera positioning saat wawancara dengan narasumber, ” jelas Bambang.

Ia menyarankan agar pelatihan ditindaklanjuti dengan sesi khusus tentang editing untuk mengoptimalkan konten.

“Sayang jika kita hanya bisa menginformasikan kepada masyarakat tentang kekayaan Mentawai; Misalnya tentang budayanya, alamnya, orangnya, dan pendidikannya, melalui liputan tertulis saja. Dalam penyajian berita, video jurnalistik ditengah perkembangan teknologi saat ini, sangatlah penting.”

Gerson Merari adalah jurnalis MentawaiKita dan anggota suku adat Saleleubaja yang berpartisipasi dalam pelatihan dan mendokumentasikan prosesnya. Cerita ini pertama kali diterbitkan oleh Internews pada 30 Maret 2021.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.