Liputan in pertama kali terbit di Jaring.id pada tanggal 4 Juni 2021.

Oleh Abdus Somad

Muhammad Iqbal Elbetan (22) membelah gelap Kali Berung, Serang, Banten dengan perahu berkapasitas mesin 6 paardenkracht (PK/daya kuda). Ia bergegas hendak keluar muara menuju lokasi tangkap sejauh 1 kilometer. Jam baru menunjukkan Pukul 04.00 WIB. Samar-samar terlihat dua alat pancing beserta umpan tergeletak di geladak.

Tapi di tengah jalan, lelaki yang berprofesi sebagai nelayan ini mengurungkan niat dan membalik haluan menjauhi area tangkap. Sebab kapal batu bara sudah beroperasi lebih dulu di jembatan timbang (jeti) milik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7. “Saya takut ditabrak,” kata Iqbal saat ditemui di Kramatwatu, Bojonegara, Serang, Jumat, 30 April 2021.

PLTU Jawa 7 dengan kapasitas 2 x 1.000 megawatt (MW) merupakan pembangkit terbesar di Asia Tenggara. Perusahaan yang membangun adalah PT Shenhua Guohua Pembangkit Jawa Bali (PT SGPJB)—perusahaan konsorsium antara China Shenhua Energy Company Limited (CSECL) dan PT Pembangkit Jawa Bali (PJBI), yang merupakan anak usaha PT PLN (Persero).

Kepemilikan saham CSECL di PLTU Jawa 7 mencapai 70 persen, sementara PJBI memiliki sisanya. Di Indonesia, sepak terjang CSECL dalam memproduksi energi kotor tak hanya di Banten. Perusahaan energi dan infrastruktur terbesar di China ini juga membangun PLTU Mulut Tambang di Kalimantan Timur, PLTU Sumatera Selatan I dan PLTU Simpang Belimbing Muara Enim.

Perusahaan mengklaim bahwa PLTU Jawa 7 merupakan industri ramah lingkungan lantaran menggunakan teknologi pemanas ultra super critical (USC) yang mampu meredam buangan karbon dan limbah ke laut.

Namun, Iqbal melihat sendiri bagaimana limbah bahang yang dialirkan pabrik setrum itu membuat permukaan air keruh, berbusa, dan berbau busuk. Sementara nelayan lain, Lukman (50) mengeluhkan aktivitas kapal batu bara. Hampir setiap hari ia melihat hilir mudik kapal di tengah laut. Jumlahnya 3-4 kapal dalam sehari.

Lelaki yang sudah menetap puluhan tahun di Pulau Panjang ini meyakini bahwa aktivitas PLTU Jawa 7, mulai dari pengoperasian kapal batu bara sampai pembuangan limbah, berpengaruh buruk terhadap ekosistem laut di sekitar tempat tinggalnya.

Gugusan terumbu karang bercampur lumpur, retak dan terdapat bintik-bintik berwarna putih. Nelayan banyak mengeluh. Biasanya tangkapan ada. Tahun ini malah tidak dapat. Jauh sekali perbedaanya.

Muhammad Iqbal Elbetan, Nelayan

Sebelum PLTU 7 beroperasi, Lukman mengaku bisa menangkap 5 kuintal ikan, terdiri dari kakap, bandeng dan kepiting sekali melaut. “Sekarang mau dapat 10 kilogram saja agak susah. Tidak sedikit nelayan yang mengalami kesulitan ekonomi. Sekarang banyak alih profesi,” ungkapnya.

Penurunan hasil nelayan tradisional ini diakui Ketua Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kramatwatu, Juardi (51). Pada 2017, seorang nelayan masih mampu membawa 20 kilogram ikan sekali melaut. Tapi setelah 2019, tangkapan nelayan tidak lebih dari lima kilogram.

Jangankan mensubstitusi kebutuhan pokok, menurut Juardi, hasil tangkapan nelayan saat ini tak lagi bisa menutup ongkos melaut. “Ada perahu yang ditenggelamkan. Ada perahu yang dijual juga,” kata Juardi saat ditemui Jaring.id di TPI, Jum’at 30 April 2021.

Jumlah perahu berukuran 5-10 GT yang beroperasi di sekitar Teluk Banten sejak 2019 terus merosot. Padahal pada 2017 jumlahnya tercatat 150 unit. “Sekarang mungkin hanya 15 kapal saja,” ungkapnya.

Meski begitu, para nelayan setempat tidak lagi beroperasi di Teluk Banten. Kebanyakan dari mereka berburu ikan sampai ke Kepulauan Seribu hingga Lampung. Sekali melaut, kata dia, butuh ongkos sekitar Rp 750.000-Rp 1 juta untuk membeli 80 liter solar per hari. “Ongkosnya makin besar. Itu pun belum tentu dapat,” kata Juardi.

Peneliti World Resources Institute (WRI) Indonesia, Armyanda Tussaidah menyatakan bintik putih yang muncul pada karang diakibatkan oleh perubahan suhu laut. Menurut dia, terumbu karang sangat sensitif.

Peningkatan suhu sekitar 2-3 ℃ saja dapat mengurangi laju pertumbuhan karang. “Sedangkan suhu di atas 33 ℃ dapat menyebabkan fenomena pemutihan karang,” kata Armyanda kepada Jaring.id, Senin, 17 Mei 2021.

Data yang termuat dalam Buku Statistik Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten periode 2014-2020 menunjukkan penurunan ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun dalam tiga tahun terakhir di Pulau Panjang, Pulau Lontar, Pulau Tunda, Pulau Satu, Pulau Dua dan Pulau Lima.

Pada 2014, mangrove di Kabupaten Serang tercatat masih seluas 628,5 hektare, tapi lima tahun berselang luasnya berkurang 50 persen menjadi 330 hektare. Sementara terumbu karang menurun hingga 133 hektare dalam kurun waktu lima tahun.

Dari total 250 hektare pada 2014, menyusut menjadi 117 hektare di 2019. Dalam rentang waktu itu pula padang lamun menyusut lebih masif ketimbang terumbu karang dan mangrove. Dari 424,5 hektare, luasnya merosot tiga kali lipat menjadi hanya 120 hektare.

Rusaknya ekosistem laut ini yang kemudian berimbas pada hasil tangkap nelayan. Pada 2018, perolehan hasil laut tercatat hanya 1.291 ton per tahun. Padahal sebelumnya, hasil laut yang dihasilkan daerah ini sebesar 8.123 ton.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Eni Sulistyani, tak menampik penurunan ekosistem laut di sekitar Teluk Banten. “Ini kemungkinan saja signifikan, tapi secara akademis belum dikaji lebih mendalam,” kepada Jaring.id, Jum’at 28 Mei 2021.

Sampai saat ini, tambahnya, pihaknya masih memperbaiki data terkait jumlah nelayan, armada, dan produksi tangkap per tahunnya. “Kami kesulitan dengan data. Masih berbenah dari data. Kami akan cek,” kata dia.

Dampak Buruk Industri

Hasil penelitian yang dilakukan Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, pada November-Desember 2019 menemukan adanya kandungan logam berat pada padang lamun di sekitar Pulau Panjang dan Pulau Lima.

Riset yang diterbitkan Indonesia Journal of Marine Science ini menyebutkan bahwa padang lamun di kedua pulau tercemar logam dengan nilai konsentrasi antara 0,03-11,12 ppm. Tingkat paparan logam ini berada di atas baku mutu logam timbal sebesar 0,0005 mg/l yang diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.

Peneliti Universitas Diponegoro, Faishal Fallah mengungkapkan pencemaran logam berat di kedua pulau itu tidak bisa dipisahkan dari aktivitas industri, seperti PLTU Jawa 7. “Aktivitas industri, lalu lintas kapal yang berdekatan dengan Pulau Panjang dan Pulau lima diduga menjadi sumber logam berat timbal,” ujar Faishal eFallah Rabu, 18 Mei 2021.

Pada Desember 2020, Jaring.id juga pernah menguji sampel air laut di sekitar PLTU 7 di Laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia.

Hasilnya diketahui bahwa total padatan tersuspensi (TSS) di lokasi tersebut mencapai 890 mg/L. Nilai tersebut delapan kali melebihi baku mutu limbah bahang. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2009, batas maksimum TTS hanya sebesar 100 mg/L.

Sementara hasil pengukuran suhu permukaan air dengan menggunakan termometer menunjukan perubahan suhu menjadi 37,9 ℃ atau meningkat sekitar 6 ℃ setelah limbah bahang dituangkan ke laut. Baku mutu suhu limbah bahang pada Peraturan Menteri LH Nomor 8/2009 sebetulnya membolehkan kenaikan suhu 40 ℃, namun baku mutu suhu air laut di Keputusan Menteri LH No 51/2004 tak boleh lebih dari 2 ℃.

Guru Besar Teknik Kimia Universitas Sultan Agung Tirtayasa, Banten, Yayat Ruhiyat menilai perubahan warna dan suhu muka air laut tidak bisa dianggap biasa. Hal itu bisa diakibatkan oleh instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang tidak baik. “IPAL yang bagus itu tidak berbau dan berlumpur,” kata Yayat kepada Jaring.id saat dihubungi melalui telepon, Senin 24 Mei 2021.

Sebelum kondisi memburuk, Yayat menyarankan agar pemerintah segera memeriksa instalasi pembuangan milik PLTU Jawa 7. Dia tidak ingin proses produksi listrik tersebut berakibat buruk pada kelangsungan hidup masyarakat di sekitar Teluk Banten. “Yang dibuang ke masyarakat jangan berbau dan berbusa. Ini perlu ada pengawasan pemerintah,” ujarnya.

Aktivis Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Fikerman Saragih sepakat dengan Yayat Ruhiyat. Pencemaran logam berat di perairan Serang menjadi bukti lemahnya pengawasan pemerintah. Ia menyarankan agar pemerintah segera melakukan audit terhadap industri yang beroperasi di pesisir laut Serang tersebut. “Pemerintah harus berani,” ungkap Fikerman Saragih kepada Jaring.id, Jum’at 21 Mei 2021.

Perusahaan yang terbukti melakukan perusakan pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dijerat pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun. Hal ini sesuai Undang-Undang Nomor Nomor 27 Tahun 2007 junto Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Fikerman Saragih, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Terlebih pada 2018 lalu, sebagian wilayah di perairan Banten telah ditetapkan sebagai wilayah konservasi sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 21/Kepmen-KP/2018 tentang Kawasan Konservasi Maritim HMAS PERTH.

Kawasan konservasi ini terletak di 106° 7’ 15” Bujur Timur (BT) dan 5°51’ 18” Lintang Selatan (LS). Di situs tersebut terdapat bangkai kapal perang Angkatan Laut Australia, HMAS Pert yang karam pada saat Perang Dunia II.

Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Serang, Yani Setyamaulida, saat dikonfirmasi mengaku sudah melakukan pengawasan terhadap PLTU Jawa 7. Sampai saat ini, menurut Yani, pengawasan masih berjalan.

Meski begitu, Yani tidak berkenan menjelaskan secara rinci hasil dari pengawasan tersebut. “Kami mengawasi itu. Ketika ada temuan harusnya ada tindak lanjut yang mendalam,” ungkapnya saat dikonfirmasi Jaring.id, Senin, 24 Mei 2021.

Hingga berita ini terbit, Jaring.id sudah berusaha menghubungi Sekretaris PT Pembangkit Jawa Bali, Muhammad Bardan, dan pengelola PLTU Jawa 7, yakni PT Shenhua Gouhua Pembangkit Jawa Bali, melalui juru bicara, Vicky Yang. Namun keduanya tidak menjawab panggilan telepon maupun pertanyaan yang dilayangkan melalui pesan WhatsApp.

Meski begitu, pihak perusahaan sempat mengakui bahwa proses pendinginan PLTU Jawa 7 telah mengakibatkan permukaan air berbusa. Dalam keterangan tertulis PT Shenhua Guohua Pembangkit Jawa Bali (PT SGPJB) yang diterima Jaring.id pada Agustus tahun lalu diterangkan bahwa pipa pembuangan air pendinginan dapat memuntahkan 70 meter kubik atau setara dengan 70 ribu liter air per detik.

Sementara surat pemberitahuan kegiatan SGPJB kepada Kepala Desa Terate bernomor 136/SGPJB/04/2021 memberitahukan bahwa kegiatan pengetesan Nett Dependable Capacity (NDC) 2 pada 22 April 2021 akan mengakibatkan permukaan air laut berbusa.

Manajemen PT SGPJB mengklaim telah menyiapkan sejumlah Langkah guna mengurai hamparan busa tersebut. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Hernawan, mengingatkan agar pemerintah maupun pengusaha tidak main-main dengan pencemaran ekosistem laut. Keberadaan padang lamun, menurutnya, sangat penting untuk menahan laju sendimentasi, menyerap karbon dan memitigasi bencana.

Di samping itu, padang lamun merupakan habitat dari biota laut yang dilindungi, seperti penyu dan dugong, sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 20 Tahun 2018 jo Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Nomor 92 Tahun 2018. “Bisa jadi semua organisme terpapar logam berat. Termasuk manusia yang makan ikan,” ungkapnya.

Infografis: Kholikul Alim, Harry Suhardy

*Liputan ini hasil serial kelas belajar “Journalist Fellowsea” yang didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Yayasan EcoNusa.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.