Liputan ini telah terbit di harian Media Indonesia pada tanggal 2 Juni 2021 dengan judul “Berburu Ikan Karang di Perbatasan”.

Oleh Palce Amalo

Di luar perhitungan, lima nelayan Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) tiba-tiba ditangkap saat menangkap ikan di dekat perbatasan laut Indonesia-Australia.

Perahu motor ‘Hidup Bahagia’ berbobot 5 gross tonage yang didalamnya terdapat hasil tangkapan ikan karang termasuk hiu pun disita. Tanpa ampun, perahu ditarik ke pelabuhan di Darwin, Northern Territory, Australia, diisi jerami kering, lalu disulut api.

Itu bukan kejadian pertama. Sudah banyak perahu nelayan NTT menjadi korban, dibakar hingga ditenggelamkan  otoritas Australia.

Peristiwa pada 8 Oktober 2017 itu masih membekas di ingatan Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) NTT, Wahid Wham Nurdin. “Sampai sekarang saya tidak terima,” tandasnya.

Apa boleh buat, aturan yang berlaku di negara itu melarang nelayan menangkap ikan karang, kecuali ikan permukaan. “Ikan di dasar laut milik mereka, walaupun masih di perairan Indonesia,” kata Nurdin kesal.

Terlepas dari tuduhan nelayan Indonesia menangkap ikan secara ilegal, gugusan karang di perairan itu memiliki keanekaragaman ikan karang yang melimpah, mendorong nelayan Indonesia berbondong-bondong menangkap ikan di sana.

Sebetulnya, karang Beatrix, Dalam, dan Tabui yang jaraknya sejam pelayaran dari ujung selatan Timor, memiliki potensi ikan yang melimpah. Di sana hidup ikan marlin, layaran, tenggiri, wahui, kuwe, barakuda, lemadang, dan tuna. “Kita bersyukur tiga karang ini masih bagus,” ungkap Nurdin.

Potensi yang kemudian mendorong tak kurang dari 50 nelayan luar daerah datang setiap tahunnya untuk menangkap ikan di perairan NTT, termasuk di Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu yang berbatasan dengan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Kupang.

Tetapi, persoalan nelayan tidak berhenti di situ saja. Nelayan di Kupang umumnya memiliki perahu dengan tonase 2-3 GT saja, mustahil berlayar sampai ratusan mil, apalagi sampai gugusan karang di perbatasan perairan Australia selama 48 jam. Mereka pun tak jarang memilih jalan pintas, menangkap ikan dengan alat tangkap yang merusak lingkungan.

Nurdin, yang saban hari menangkap ikan di laut, berkisah mengenai kondisi terumbu karang di perairan dalam yang disebutnya masih utuh. Lain halnya di kedalaman antara 3-10 meter, terumbu karang dalam kondisi rusak.

“Kondisi ini bisa disebabkan aktivitas penangkapan ikan dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan juga aktivitas industri seperti pelabuhan, faktor alam seperti perubahan iklim dan pemutihan karang,” jelas Kepala Balai Konservasi Kawasan Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Imam Fauzi.

Produksi ikan

TNP Laut Sawu ialah kawasan konservasi perairan nasional terluas di Indonesia yang menyimpan keanekaragaman hayati tinggi. Luas terumbu karangnya 63.339,32 hektare dengan 535 spesies karang, 11 spesies endemik dan subendemik, serta merupakan tempat hidup bagi sekitar 350 jenis ikan karang.

Lihat saja, produksi perikanan tangkap NTT selama tiga tahun terakhir di 22 kabupaten dan kota tumbuh positif. Pada 2017, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, produksi perikanan tangkap mencapai 72.234 ton, naik menjadi 157.690 ton pada 2018, dan menurun menjadi 137.283 ton pada 2019.

Penurunan terbanyak terlihat di Sumba Timur. Pada 2019 hasil tangkapan sebanyak 9.159 ton, menurun dibandingkan hasil tangkapan 2018 sebesar 16.986 ton, tetapi angka itu melonjak tajam jika disandingkan dengan hasil tangkapan pada 2017 hanya 138 ton.

Sebaliknya, produksi perikanan budi daya malah memperlihatkan penurunan dalam tiga tahun. Pada 2017 produksi tercatat 1.941.707,73 ton, turun menjadi 1.897.125 ton pada 2018, dan turun lagi menjadi 1.605.047 ton pada 2019.

Di sisi lain, patroli penegakan hukum terhadap nelayan yang menangkap ikan dengan alat tangkap tak ramah lingkungan, terus berlangsung. DKP menempatkan informan di beberapa tempat. Kalau ada pengeboman ikan, pelakunya langsung ditangkap.

Alat tangkap yang diperbolehkan terbatas pada jaring angkat, jaring insang, perangkap, dan pancing. Demi melindungi karang dari kerusakan, kegiatan perikanan budi daya juga diatur, mulai jenis ikan dan penggunaan pakan alami atau pakan buatan yang terdaftar.

Tetapi, masih ada peluang untuk menyelamatkan karang seperti yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama DKP dan nelayan. Mereka menempatkan 150 rumah ikan (fish apartment) di dua titik di TWAL Kupang, pada kedalaman antara 25-30 meter yang terumbu karangnya hancur.

Sebagai alternatif mendukung pengayaan sumber daya ikan, hasil pengamatan setelah tiga tahun menunjukkan usaha ini membuahkan harapan. Di sekitar fish apartment muncul banyak ikan. Rumah ikan juga berfungsi melindungi ikan kecil dari predator, terus dipantau agar aman dari aktivitas nelayan.

Pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya melindungi dan melestarikan ekosistem bersama biota yang ada di dalamnya, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan kawasan yang berkelanjutan.

*Liputan ini merupakan hasil dari serial kelas belajar “Journalist Fellowsea: Menjaga Laut dengan Jurnalisme Data”, yang didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Yayasan EcoNusa.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.