Liputan ini pertama kali terbit di Serat.id pada tanggal 2 Juni 2021 dengan judul “Hilangnya Pulau Pasir di Kampung Balong“.

Oleh Muhammad Olies

Dakib, warga Desa Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, masih ingat betul pesisir pantai sepanjang  desanya hingga desa tetangga wilayah Bayuran, sebelumnya pulau pasir besi. Pria berusia 42 tahun itu menyebut lahan itu seluas 12 hektare sebagai kawasan endapan material dari Pegunungan Muria yang terbawa arus air sungai.

“Namun kini pulau pasir besi sudah hilang dikeruk oleh penambang ilegal sejak beberapa tahun lalu,” kata Dakib kepada Serat.id.

Menurut Dakib, hilangnya pulau pasir itu juga berdampak pada abrasi air laut yang menerjang bibir pantai kawasan setempat. Warga pesisir pantai di kawasan Jepara bagian utara khususnya yang tinggal di wilayah Kecamatan Kembang, Keling, dan Donorojo punya pengalaman pahit dengan aktivitas penambangan pasir besi. Hilangnya lahan pertanian dan kerusakan rumah tinggal di bibir pantai.

Hasil pengamatan Dakib itu terkonfirmasi dengan analisa Dislutkan Provinsi Jateng yang merujuk data dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Data itu menunjukkan kemunduran garis pantai sekitar 15 meter dalam 10 tahun terakhir di perairan Balong. Sedang di titik lain ada yang mencapai 40 hingga  60 meter.  Semakin ke arah utara di pesisir Bumiharjo maupun Bandungharjo dan sekitarnya, tingkat abrasi dan kemunduran garis pantai semakin meluas.

Menurut Dakib, fakta tenggelamnya sawah milik warga yang ada di pesisir Balong juga kian menegaskan ganasnya abrasi. “Banyak sawah warga yang tenggelam. Semisal Bu Is yang dulu lahannya 1.900 meter persegi sekarang tinggal 400 meter persegi. Atau Pak Sabar yang kehilangan 1.400 meter persegi lahannya. Data itu valid karena lahannya sekarang sudah disertifikatkan,” kata Dakib yang juga anggota BPD Balong itu.

Tercatat abrasi akibat penambangan satu kesatuan ekosistem pantai di Kabupaten Jepara itu tak hanya menenggelamkan lahan pertanian. Pantauan Serat.id di Desa Bandungharjo, Kecamatan Donorojo, menunjukkan kantor Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) di kawasan TPI Mulyorejo mangkrak. Bangunan yang dulu digunakan para perempuan nelayan itu sudah rusak karena sering terendam ombak laut. 

Kondisi yang nyaris sama juga pada sejumlah rumah milik warga yang jaraknya sepelemparan batu dari bangunan PPNI itu.  Warga bahkan membuat tanggul darurat yang terbuat dari karung pupuk berisi pasir agar ombak tidak langsung merangsek ke permukiman.

Sedangkan di Dukuh Bantunan Desa Bandungharjo, banyak areal sawah yang tenggelam karena abrasi luasannya diperkirakan mencapai 25 meter sepanjang 2 kilometer.  Salah satunya lahan milik Surini, warga setempat. Perempuan itu kehilangan lahan pertanian seluas 2800 meter persegi yang lokasinya di pesisir dukuh Bantunan. “Sudah tak bisa ditanami karena tenggelam,” kata Surini.

Pesisir Pantai Balong memang menjadi incaran para penambang pasir besi, termasuk yang dilakukan secara ilegal. Teranyar, tahun 2018 muncul aktivitas tambang pasir besi ilegal yang diyakini warga dilakukan Suntoro. Mantan anggota DPRD Jepara itu menggunakan CV Giri Mineral Sejahtera sebagai perusahaan pelaksana operasional tambang pasir besi IUP OP PT Pasir Rantai Mas (PRM).

Abrasi memang menjadi salah satu momok yang menghantui kawasan pesisir Jepara. Berdasar RTRW Kabupaten Jepara tahun 2011–2031, ada delapan kecamatan wilayah selatan maupun utara yang ditetapkan sebagai daerah rawan abrasi. Rinciannya, Kecamatan Kedung, Tahunan, Jepara, Mlonggo, Karimunjawa, Kembang, Keling, dan Donorojo.  

Warga akhirnya melaporkan aktivitas tambang ilegal itu ke Polda Jateng. Hingga akhirnya pada 2019, aktivitas tambang ilegal itu berhenti. “Pesisir Balong akan terus kita jaga. Sikap kita dari dulu sampai sekarang tetap sama. Kami menolak tambang pasir, termasuk rencana penambangan pasir seluas 3.389 hektare untuk pengurukan TTLSD,”  kata Dakib yang dulu juga aktif menyuarakan penolakan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Balong.

Di kawasan Jepara bagian selatan, abrasi bahkan menenggelamkan Desa Bulak, Kecamatan Kedung. Warga Desa Bulak terpaksa harus bedol desa pada tahun 1971 dan 1984. Mereka kini menempati lokasi yang diberi nama Desa Bulak Baru. 

Namun meski sudah menjauh dari kawasan pesisir, Desa Bulak Baru seluas 97,87 hektare dan dihuni 840 orang ini juga kembali terancam tenggelam. Sejak tahun 2011 hingga sekarang, kawasan pantai Desa Bulak Baru yang terkikis karena abrasi mencapai 150 meter sepanjang 1,5 kilometer. Kini jarak pantai dengan pemukiman penduduk hanya sekitar 750 meter. 

Dulu panjang garis pantai di Jepara 72 kilometer. Hasil perhitungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jepara menunjukkan, perubahan garis pantai di Jepara rata-rata mencapai 101,95 meter per tahun.  Sedang data Dislutkan Provinsi Jateng mencatat saat ini panjang garis pantai di Jepara 214,73 kilometer. Perubahan garis pantai di pesisir Jepara itu disebabkan oleh proses abrasi dengan luasan wilayah yang terkena abrasi 438,44 hektare. 

Di kawasan pesisir Jepara bagian selatan, faktor penyebab abrasi, selain karena perubahan iklim juga lantaran maraknya kegiatan di kawasan pesisir yang tidak bertanggung jawab. Di antaranya  penggunaan alat tangkap cantrang yang merusak terumbu karang, reklamasi ilegal berupa pembangunan yang menjorok ke pantai, aktivitas tambak, hingga pembabatan mangrove.

Sedang di Jepara bagian utara, selain perubahan iklim, abrasi juga dipengaruhi aktivitas tambang pasir di kawasan pesisir. Pengaruh aktivitas tambang pasir besi terhadap abrasi di pesisir Jepara utara ini juga sudah diteliti akademisi berbagai perguruan tinggi.

Hasil penelitian berjudul “Pemetaan Kerawanan Bencana Abrasi di Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara” yang ditulis oleh Arief Wicaksono dan tim, menyebutkan aktivitas penambangan pasir besi memicu terjadinya abrasi di Kecamatan Donorojo. Selain itu, ada hasil penelitian berjudul “Ancaman Abrasi Terhadap Pengembangan Sektor Pariwisata Pantai Sebagai Sektor Unggulan di Kabupaten Jepara” yang ditulis Syarofina Az Zahra, menyebut aktivitas penambangan pasir di pesisir Jepara merupakan salah satu isu strategis Kabupaten Jepara.

Penelitian itu menyebut aktivitas tambang tak dilakukan secara bertanggung jawab hingga menimbulkan kerusakan area pantai, jalan di sekitar pesisir, dan vegetasi. Kerusakan itu menganggu kegiatan nelayan dan pertanian pesisir serta mempercepat terjadinya abrasi.  

Sedangkan penelitian yang dilakukan Suroto dan Prof Gunarto dan dimuat di Jurnal Daulat Hukum Vol 1 No 1 Maret 2018, memotret sejumlah hal. Mulai konflik horizontal yang muncul seiring rencana penambangan pasir besi di kawasan pesisir Bandungharjo dan sekitarnya oleh PT Alam Mineral Lestari (AML).

Warga pesisir Jepara utara menolak aktivitas tambang pasir besi. Hal ini bisa dilihat dari berbagai aksi demonstrasi menyasar kantor CV Guci Mas Nusantara (GMN) di pesisir Bandungharjo.

Tak hanya itu, penelitian ini juga mengungkap jika penyusunan Amdal tidak menyertakan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kawasan hutan yang diajukan perizinan pinjam pakai oleh PT AML untuk lokasi tambang pasir besi merupakan Hutan Produksi Tetap, namun di dalam kawasan itu terdapat kawasan Hutan Perlindungan Setempat (KPS) yang terletak di petak 130 a, 131 a, 132 a dan 132 b.

Lokasi tersebut ditentukan melalui Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) sesuai dengan PP No 72 tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara.

Tercatat ada dua perusahaan yang akan melakukan penambangan pasir laut di perairan Balong, yakni PT Bumi Tambang Indonesia (BTI) dan PT Energi Alam Lestari (EAL). Dua perusahaan itu sudah mengantongi izin lokasi penambangan di kawasan pesisir dari Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Provinsi Jateng.

Proses yang saat ini masih berjalan adalah penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Jika urusan AMDAL yang dikeluarkan Kementerian LHK kelar, maka dilanjutkan dengan izin eksploitasi, lalu IUP Operasi Produksi yang diterbitkan Kementerian ESDM.

Area yang akan ditambang PT BTI seluas 2.339 hektare, sedang jatah PT EAL seluas 1.050 hektare. Jika ditotal luasan area tambang pasir laut untuk pengurukan Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD) mencapai 3.389 hektare.  

Kepala Bidang KP3K Dislutkan Jateng Lilik Harnadi mengatakan sudah melihat langsung kondisi di perairan Balong yang akan ditambang untuk pengurukan TTLSD. Ia mengakui memang terjadi abrasi di kawasan itu.

“Tambang pasir di pesisir bisa berpengaruh pada abrasi maka dari itu kami berharap berbagai elemen mencermati proses penyusunan Amdal penambangan pasir di Balong,” ujar Lilik.

Aktivitas tambang pasir besi di pesisir laut memang berpotensi menyebabkan sejumlah dampak negatif. Seperti perubahan fisiografi dan geografi, perubahan bathimetri, perubahan arus, hingga perubahan gelombang. Termasuk merusak ekosistem dan lingkungan hidup di kawasan pesisir.

Ia mengaku kebijakan pemerintah jelas, salah satunya penambangan pasir boleh dilakukan minimal dua mil dari garis pantai. Hal ini sesuai dengan Perda No 13 tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jateng.

“Itu pun bisa dilakukan dengan syarat tingkat kedalaman minimal 10 meter dari permukaan laut,” kata Lilik. 

Lilik menyebut PT BTI menambang di area yang jaraknya 4,04 mil atau 7,47 kilometer dengan kedalaman area yang ditambang berkisar antara 17–30 meter dari permukaan air laut. Sedang PT EAL rencananya menambang pasir laut pada jarak 2,7 mil atau sekitar 5 kilometer dari garis pantai dengan tingkat kedalaman 15–18 meter.

Direncanakan material yang dikeruk 1/2 meter sehingga diharapkan bisa mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Dengan kata lain, area yang ditambang tidak dalam tapi luas.

“Perusahaan itu sudah melakukan survei sejak 2019. Dan berdasar hasil kajian, area tambang di Balong bukan alur pelayaran, juga bukan area berkumpulnya ikan dalam jumlah banyak. Selain itu daratan di tepi pantai Balong juga bukan permukiman warga, namun hutan karet milik PTPN IX dan lahan pertanian warga,” katanya. 

*Liputan ini hasil serial kelas belajar “Journalist Fellowsea” yang didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Yayasan EcoNusa.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.