Liputan ini pertama kali terbit di Rakyatsulsel.co pada tanggal 4 Juni 2021 dengan judul “Hilangnya Wilayah Tangkap Nelayan Kodingareng“.

Oleh Ashar Abdullah

Seorang lelaki paruh baya sibuk memperbaiki kapal dan alat tangkap ikannya di pesisir Pulau Kodingareng, Kelurahana Kodingareng, Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Mulai dari merapikan jaring yang kusut, pancing, lampu, hingga mengisi bahan bakar. Di bawah terik matahari, tubuhnya tampak berkeringat. Ia terlihat semangat untuk kembali melaut setelah sempat vakum kurang lebih sepekan dalam rangka perayaan Hari Raya Idulfitri 1442 Hijriah.

Persiapan melaut kali ini harus betul-betul matang. Karena pencarian ikan semakin jauh dari biasanya. Hal ini terjadi setelah wilayah tangkap andalan mereka, Coppong, yang berjarak 8 mil dari Pulau Kodingareng, hancur karena penambangan pasir. Dengan kata lain, nelayan di sana harus menempuh kurang lebih 22 mil agar bisa mendapatkan ikan.

Tak sampai di situ, sebanyak 4.526 jiwa dari 1.081 Kepala Keluarga (KK) di Pulau Kodingareng kini merasakan dampak dari penambangan pasir yang dilakukan oleh kapal PT Royal Boskalis yakni Queen of the Netherlands di Kepulauan Spermonde pada Februari-Agustus 2020 lalu.

Masyarakat di sana kini harus merasakan pil pahit karena hasil tangkapan mereka kian merosot. Dampaknya pun beragam, mulai dari tunggakan pembayaran sekolah, biaya melaut, hingga investasi kian menipis.

Koordinator Nelayan Pulau Kodingareng, Iqbal Usman mengemukakan, sejak adanya penambangan pasir untuk proyek strategis Makassar New Port (MNP), laju perekonomian masyarakat mengalami penurunan.  

Pasalnya, kata dia, Queen of the Netherlands melakukan penambangan di Taka Copong. Ia menjelaskan, Copong adalah wilayah tangkap ikan yang menjadi primadona para nelayan. Disana, terdapat banyak jenis ikan.

“Saat penambangan beroperasi, bahkan hingga saat ini, populasi ikan di perairan Spermonde terutama di wilayah Copong telah menurun drastis. Ikan tak lagi dijumpai disana. Mereka harus ke wilayah tangkap lainnya, namun tetap saja hasil tangkapan nelayan tak sama dengan Copong. Padahal wilayah tersebut merupakan zona tangkap utama bagi ribuan nelayan, tidak hanya yang di Pulau Kodingareng, tetapi juga nelayan di pulau-pulau kecil lainnya”, katanya saat dikonfirmasi, Minggu (16/5/2021).

Kini, meski aktivitas penambangan pasir laut telah berhenti, namun nelayan masih kesulitan melaut. Selain itu, hasil tangkapan para nelayan juga belum kembali normal seperti sebelum adanya penambangan. Penyebabnya adalah peningkatan gelombang air laut yang semakin tinggi serta kekeruhan air laut yang masih terjadi dan terus menyebar ke wilayah lain dan mengendap di karang.

“Sekarang kondisi di Copong itu telah berubah sejak kapal pengeruk pasir beroperasi di perairan Supermonde. Daerah tangkapan ikan sekitar Copong selalu keruh seperti air cucian beras. Para nelayan sangat sulit mendapatkan hasil tangkapan seperti dulu,” paparnya.

Lebih jauh, Iqbal menjelaskan, dalam skema atau rencana konsesi pengerukan pasir yang bakal dilakukan PT Boskalis, terdapat enam taka yang terancam. Tiga di antaranya, yakni Copong Ca’di, Copong Lampo, dan Timpusu Bone Pa’ma telah dirusak. Data ini sesuai riset yang dilakukan oleh Koalisi Save Supermonde.

“Sehingga kami berharap, adanya pembangunan proyek MNP ini tidak menambah kesengsaraan nelayan. Sudah cukup ketiga wilayah tangkap kami itu hancur,” ujarnya.

Lebih jauh, Iqbal memaparkan, Copong Lompo adalah wilayah tangkap utama yang mereka yang terletak kurang lebih 9 mil dari Pulau Kodingareng. Pengetahuan tentang wilayah tangkap ini ternyata telah diwariskan secara turun-temurun sejak mereka masih kecil. 

Menurutnya, beberapa nelayan Pulau Kodingareng, pengetahuan mereka soal wilayah tangkap yang disebut sebagai Copong Lompo diwariskan ketika mereka diajak melaut oleh orang tua mereka. Di saat melaut itulah, terjadi transformasi pengetahuan dari si bapak ke anak tentang posisi wilayah tangkap utama masyarakat Kodingareng. Maka dari itu dapat dikatakan wilayah sekitaran Copong Lompo merupakan warisan leluhur masyarakat Kodingareng yang tidak dapat dipertukarkan oleh apapun.

Sebagai seorang pelaut atau nelayan tradisional, masyarakat  Kodingareng juga mengenal dua musim, yakni musim timur (berkisar antara bulan April sampai Oktober) dan musim barat (berkisar antara bulan November sampai Maret). Pengetahuan tentang dua musim ini menjadi pengetahuan lokal yang harus dipahami oleh nelayan Kodingareng, sebab dua musim tersebut sangat mempengaruhi aktivitas melaut mereka.

Saat musim timur, nelayan Kodingareng akan mencari ikan di sekitaran Copong Lompo. Sedangkan pada musim barat, mereka lebih mengutamakan mencari ikan sekitaran Bone Pama dan Bone Pute yang berjarak 2 sampai 3 mil dari Pulau Kodingareng. Hal ini dilakukan oleh Nelayan Kodingareng sebab arus musim barat menyulitkan para nelayan untuk melaut di daerah Copong Lompo.

“Akan tetapi, jika para Nelayan Kodingareng dapat menembus angin musim barat untuk menuju ke Copong Lompo, maka mereka tetap akan melaut dan mencari ikan di daerah tersebut, karena mereka meyakini bahwa daerah Copong Lompo merupakan terminal bagi ikan-ikan diperairan tersebut. Selain dua musim yang telah disebutkan, nelayan Kodingareng juga mengenal yang namanya musim teduh,” jelas Iqbal.

Salah satu nelayan Kodingareng, Sahabuddin menuturkan, dalam rangka memperingati Hari Raya Idulfitri 1442 Hijriah, dia menjual emas milik istrinya karena harus membelikan anaknya baju baru, ayam, kue, dan lain sebagainya. Hal ini tak lain karena pendapatan mereka berkurang sejak Copong dihancurkan.

“Selama ini saya berkeluarga, saya harus menjual aset berupa emas untuk memenuhi kebutuhan semarak hari Lebaran,” ujarnya.

Abu–sapaan akrab Sahabuddin–melanjutkan, sebelum adanya aktivitas tambang pasir laut, kehidupan nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng berlangsung normal dan sejahtera. Rata-rata pendapatan nelayan berkisar antara Rp200 ribu sampai Rp2 juta.

“Setelah adanya penambangan pasir, hasil tangkapan kami sangat menurun, yakni hanya berkisar Rp100 ribu atau Rp500 ribu kalau lagi beruntung. Jangankan mendapatkan ikan, untuk mendapatkan umpan pun sangat sulit, dan ini pun membutuhkan biaya bahan bakar,” paparnya.

“Akan tetapi, sejak adanya aktivitas tambang pasir laut, nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng mengalami penderitaan dan kerugian baik secara materil maupun non-materil. Selain itu, sirkulasi atau perputaran uang di Pulau Kodingareng juga macet total akibat tidak adanya pendapatan nelayan beberapa bulan terakhir,” rincinya.

Sedangkan, Direktur WALHI Sulsel, Muhammad Al Amin membeberkan, proyek tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan merupakan kegiatan pendukung pembangunan proyek strategis nasional yakni, Makassar New Port (MNP). Sumber material untuk reklamasi MNP berada di blok Spermonde, yang telah di atur dalam Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Sulsel.

MNP merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan dibangun di pesisir Kota Makassar, tepatnya di Kelurahan Tallo dan Buloa. Rencana pembangunan MNP telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan nomor 92 tahun 2013 tentang Rencana Induk Pelabuhan Makassar.

Pelabuhan ini rencananya akan memiliki luas 1.428 ha dan akan menjadi pelabuhan terbesar di Indonesia bagian timur. Pada tahun 2016, MNP masuk dalam PSN sebagaimana diatur melalui Peraturan Presiden nomor 3 tahun 2016 tentang percepatan pembangunan proyek strategis nasional yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden nomor 57 tahun 2017.

“Dengan demikian, setiap stakeholder, baik pemerintah daerah maupun pusat, harus memastikan proyek MNP berjalan dengan lancar,” kata Al Amin.

Ia menyatakan, MNP juga akan terintegrasi dengan kereta api Makassar-Parepare yang juga merupakan Proyek Strategis Nasional sehingga menjadi terang bahwa pembangunan ini ditujukan untuk sepenuhnya kepentingan ekonomi dan bisnis.

Namun, kata Al Amin, dampak dari proyek MNP ini telah menyengsarakan nelayan. Hasil tangkapan mereka berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu juga merusak ekosistem laut di perairan Makassar, khususnya di perairan Spermonde, yang menjadi wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng.

Sejak Queen of the Netherlands beroperasi menambang pasir di Kepulauan Spermonde pada Februari-Agustus 2020, perekonomian masyarakat nelayan Kodingareng mengalami kelumpuhan.

Hasil penelusuran Koalisi Save Spermonde mengidentifikasi kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang pasir PT Boskalis berdampak langsung pada hasil tangkapan nelayan Kodingareng yang menurun drastis.

Hal ini dipengaruhi oleh keruhnya air laut akibat sebaran sedimen hasil kerukan pasir yang berdampak pada terumbu karang sebagai habitat berbagai organisme laut. Rusaknya terumbu karang dapat melumpuhkan ekosistem perairan Spermonde.

“Sejak Agustus hingga Desember 2020, kami melakukan riset di Pulau Kodingareng, di mana hasilnya menunjukan bahwa kegiatan penambangan pasir laut telah merusak ekosistem laut yang berakibat pada menurunnya hasil tangkapan nelayan. Bahkan hingga saat ini nelayan dan keluarganya mengalami krisis keuangan tidak mampu membeli kebutuhan pokok,” jelas Muhammad Al Amin, Direktur WALHI Sulsel, Senin (10/5/2021).

Tambang pasir laut di perairan Spermonde telah menyebabkan perubahan yang signifikan di dasar laut sehingga pola arus dan gelombang menjadi lebih besar. Hal ini mendorong terjadinya abrasi di daerah pantai nelayan, selain itu peningkatan sedimen tersuspensi telah merusak ekosistem terumbu karang sehingga menurunkan populasi ikan di sekitar perairan Spermonde.

Penurunan pendapatan nelayan akibat turunnya hasil tangkapan nelayan setiap harinya terutama di masa pandemi Covid-19 telah memukul ekonomi masyarakat di Pulau Kodingareng, terutama bagi para perempuan. Akibatnya sejumlah anak-anak harus putus sekolah, utang meningkat 10 kali lipat, dan yang paling memprihatinkan adalah sulitnya keluarga nelayan membeli kebutuhan pokok.

Selama kurang lebih 257 hari sejak kapal Queen of the Netherlands di perairan Spermonde dan melakukan penambangan pasir laut, Koalisi Save Spermonde mencatat total kerugian 1.043 nelayan Kodingareng yang terdiri dari nelayan bagang, pancing, jaring, dan panah mencapai Rp80,4 miliar.

“Dari diskusi yang kami lakukan bersama dengan para nelayan di Pulau Kodingareng, kami mencatat bahwa selama penambangan pasir laut beroperasi di wilayah tangkap nelayan di perairan Spermonde, rata-rata kerugian nelayan pancing mencapai Rp200 ribu/hari, nelayan panah sebesar Rp350 ribu/hari, nelayan jaring Rp1,4 juta/hari dan nelayan bagan sebesar Rp2 juta/hari,” jelas Al Amin.

Al Amin melanjutkan, Koalisi Save Spermonde mendukung sepenuhnya perjuangan masyarakat nelayan Kodingareng yang mendesak pemerintah untuk menghentikan aktivitas penambangan pasir secara permanen di wilayah Kepulauan Spermonde.

Menurut dia, pemerintah harus melindungi hak asasi masyarakat pesisir dan ekosistem laut serta melakukan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan. Pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap segala kerugian sosial, lingkungan, dan ekonomi yang telah dialami oleh masyarakat setempat akibat kegiatan tambang pasir laut dan reklamasi proyek MNP.

Ia juga menjelaskan, PT Royal Boskalis dengan kapal pengeruknya, Queen of the Netherlands, sudah memulai penambangan sejak tanggal 13 Februari 2020. Penambangan ini dilakukan di zona tambang pasir laut blok Spermonde yang tepat berada di wilayah tangkap nelayan Kodingareng, yaitu Copong Lompo, Copong Ca’di, Bonema’lonjo, dan Pungangrong.

Akan tetapi, sudah ada dua perusahaan yang telah dipergunakan wilayah konsesinya untuk aktivitas tambang pasir laut yakni PT Alefu Karya Makmur dan PT Banteng Laut Indonesia.

“Selain itu, Setelah kami melakukan tracking kapal Queen of Netherlands melalui situs resmi PT. Royal Boskalis, panjang kapal ini mencapai 230,71 meter dengan lebar 32 meter. Dengan ukuran tersebut kapal ini mampu menampung pasir laut sebanyak 30.000 m3/one haul,” katanya.

Artinya, dalam sehari pasir yang dibawa ke pesisir Makassar untuk proyek reklamasi pembangunan Makassar New Port sebanyak 90.000 m3 atau 30.000 m3/8 jam.

Tim WALHI Sulsel, kata Al Amin, juga menganalisis keuntungan yang didapat oleh pemilik konsesi tambang pasir laut dan pemegang tender reklamasi MNP yang sangat mengiurkan.

“Berdasarkan hasil kajian, tim WALHI Sulawesi Selatan mengungkapakan bahwa keuntungan pemilik konsesi perusahaan tambang sebanyak Rp1.305 miliar/hari dengan rincian tiga kali pengangkutan (3×30 ribu meter kubik) dikalikan dengan Rp14.500 (1 meter kubik dihargai sebesar 1 dollar AS). Sementara keuntungan pemegang tender proyek reklamasi MNP yakni PT. Boskalis sebesar 75 juta euro atau setara dengan Rp1,2 triliun,” sebutnya.

Akademisi Fakultas Kelautan Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Rijal Idrus mengemukakan bahwa belum lama ini dirinya sempat menanyakan beberapa hal saat ikut kunjungan kerja Deputi Bidang II Kemenkomarves, Safri Burhanuddin, ke MNP.

“Pihak Pelindo menjelaskan kepada saya mereka pihak sudah melakukan cross check antara RZWP3K Sulsel dengan tempat pengambilan pasir supplier MNP dan berkesimpulan bahwa itu tidak masuk dalam wilayah penangkapan nelayan,” tutur Prof Rijal.

Selain itu, lanjut Rijal, pihak Pelindo mengaku jika pihaknya sudah mengecek kekeruhan yang ditimbulkan mesin penggalian pasir. Hasilnya menunjukkan bahwa kekeruhan terjadi maksimal pada kisaran 200 meter dari penggalian. “Tetapi Informasi ini sebaiknya juga dikonfirmasi kepada pihak manajemen MNP,” ujar Prof Rijal.

Tapi, menurut Prof Rijal, jalan keluar terbaik adalah duduk bersama, setidaknya antara nelayan Kodingareng, MNP, dan penambang pasir yang difasilitasi oleh Pemprov.

“MNP adalah sebuah proyek prioritas pemerintah. Pemprov perlu tetap committed untuk mendukung pembangunannya. Di sisi lain, Pemprov perlu mendengar jeritan masyarakat yang merasa dirugikan. Kedua pihak perlu didengarkan dengan bijak oleh Pemprov, agar dalam mengambil keputusan bisa didukung dengan info yang lengka,” tutup Prof Rijal

Sementara, saat berusaha dikonfirmasi terkait progres proyek MNP ini, pihak Pelindo IV enggan memberikan ruang konfirmasi kepada jurnalis Rakyat Sulsel sampai berita ini diterbitkan.

Diberitakan sebelumnya oleh Rakyat Sulsel, per 5 Januari 2021, PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero) menyelesaikan 63,75 persen progress pembangunan MNP tahap lanjutan 2019 – 2022. Direktur Utama PT Pelindo IV, Prasetyadi mengatakan, secara total pembangunan Pelabuhan Baru Makassar tersebut akan rampung pada sekitar akhir 2022 mendatang.

Menurutnya, meski tahun lalu pihaknya juga dikepung oleh pandemi Covid-19 yang masih berlanjut hingga saat ini, namun perseroan tetap mengebut pembangunan MNP agar pengerjaannya bisa kelar sesuai dengan target yang ditetapkan. “Untuk tahap 1 A sudah rampung dan beroperasi sejak awal November 2018. Kemudian dikebut lagi Tahap 1 B dan 1 C,” terangnya.

Sementara itu, Senior Manager Fasilitas Pelabuhan PT Pelindo IV, Arwin menyebutkan, kegiatan yang dilakukan di pembangunan MNP tahap lanjutan 2019–2022 hingga 5 Januari 2021 yaitu, bore pile dan secant pile, produksi beton precast dan instal beton precast.

“PT Pelindo IV membangun MNP Tahap 1 B dan 1 C dengan menggelontorkan investasi sebesar Rp2,8 triliun,” ujarnya.

Arwin melanjutkan, kehadiran mega proyek ini untuk mengintegrasikan pelabuhan hub khususnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI), di mana pada Tahap I B dan Tahap I C yang pembangunannya kini sedang berjalan masing-masing memiliki panjang dermaga 330 meter dan 350 meter.

“Sedangkan dermaga sisi selatan Tahap I C yang saat ini dibangun bersamaan memiliki panjang 600 meter, sehingga total kapasitas Tahap I diperkirakan mencapai 2,4 juta sampai dengan 2,6 juta TEUs per tahun,” paparnya.

Ia menambahkan, pada tahap I D juga nantinya akan dibangun dermaga dengan panjang 310 meter. Pelindo IV juga akan membangun sebuah kawasan industri di MNP untuk menciptakan ekosistem investasi yang sehat, khususnya di Sulawesi Selatan dan KTI pada umumnya.

Kawasan industri yang dibangun akan terintegrasi dengan pelabuhan, sehingga MNP akan menjadi salah satu pelabuhan untuk integrated port, di mana pelabuhan dengan kawasan industri akan menyatu

Arwin, Senior Manager Fasilitas Pelabuhan PT Pelindo IV

Dirut Pelindo IV, Prasetyadi menambahkan, pihaknya juga akan memindahkan semua aktivitas bongkar muat yang selama ini dilakukan di Terminal Petikemas Makassar (TPM) ke MNP.

Namun menurut dia, pemindahan itu akan dilakukan secara bertahap dan menunggu MNP rampung secara keseluruhan. “Jadi perpindahannya akan dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan kesiapan dari MNP,” jelasnya.

Dikutip dari media yang sama, Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman secara langsung melobi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meminta dukungan anggaran agar proyek strategis MNP bisa segera dirampungkan.

“Kami meminta bahwa saat ini ada perencanaan Mamminasata auto ring road di Makassar. Harapan kami, truk-truk nanti tidak lagi melalui jalur kota, tapi lewat jalur pesisir atau Mamminasata auto ring road dan MNP,” pinta Andi Sudirman Sulaiman saat memberikan sambutan di hadapan Presiden Jokowi di sela-sela prosesi peresmian Kolam Regulasi Nipa-Nipa di Kabupaten Maros, Kamis (18/3/2021).

Menanggapi pernyataan Andi Sudirman, Joko Widodo mengatakan, telah banyak permintaan khususnya di Provinsi Sulsel, seperti Bandara Buntu Kunik di Kabupaten Tanah Toraja dan Kolam Regulasi Nipa-Nipa baru saja diresmikan.

“Ternyata masih meminta. Banyak sekali hal-hal yang kurang di Sulsel, padahal tadi pagi baru saja kita resmikan Bandara Tanah Toraja yang menelan anggaran hampir Rp1 triliun, belum lagi beberapa waduk yang mungkin tahun ini kita resmikan,” tuturnya.

Menurut Jokowi, memang banyak yang mesti diselesaikan seperti yang disampaikan plt gubernur. Hanya saja, MNP lebih prioritas. Karena itu, ia akan mengupayakan percepatan pembangunan untuk MNP tersebut.

“Sangat penting sekali, itu akan saya dorong nanti Kementerian Perhubungan (Menhub) untuk bisa menyelesaikan dan menteri BUMN yang ada segera bisa beroperasi dan berfungsi,” jelas Jokowi.

*Liputan ini hasil serial kelas belajar “Journalist Fellowsea” yang didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Yayasan EcoNusa.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.