Liputan ini telah terbit di harian Media Indonesia pada tanggal 2 Juni 2021 dengan judul “Tradisi Lilifuk, Kearifan Suku Baineo”.

Oleh Palce Amalo

Lilifuk sudah populer. Bentang alam berbentuk cekung di pesisir selatan Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu dikenal luas karena memiliki potensi ikan me­limpah dan dilindungi hukum adat.

Luasnya hanya dua hektare, me­manjang dari Pantai Loles di bagian utara sampai Pantai Enobana di selatan. Secara administratif, lilifuk berada di wilayah Dusun Tuanesi, Desa Kuanheun, Kecamatan Kupang Barat, Kabupa­ten Kupang.

Dusun ini hanya ditinggali 41 orang yang seluruhnya anak cucu suku Baineo. Meskipun jumlah mereka kecil, mereka menguasai tanah ulayat yang lumayan se­luas 396,6 hektare. Sekitar 200 ta­hun lalu, Etu Baineo bersama keluarganya datang dari pedalam­an Timor dan tinggal di Oeli’i, wilayah di Kupang Barat yang juga dikenal dengan sebutan Kuaneten (kampung di gunung).

Karena tidak menemukan sumber air, keluarga ini mengembara ke lembah di selatan. Dua kilometer sebelum tiba di pantai, ada gua yang di dalamnya mengalir air yang jernih. Di situ mereka membangun rumah dan beranak cucu. Lokasi yang belakangan dinamai Tuanesi (tinggal tetap di sini).

Meskipun bermukim dekat laut, menangkap ikan bukan ma­ta pencaharian pokok suku ini, melainkan tetap mewarisi bu­daya leluhur, yakni berladang dan be­ternak. Puluhan tahun berlalu, saat anak-anak beranjak dewasa, barulah mereka melirik potensi di laut.

Pagar batu dibangun mengeli­lingi kawasan seluas dua hektare di pesisir pantai untuk membatasi pergerakan ikan. Nanti saat air laut surut, ribuan ikan terjebak dan ditangkap beramai-ramai meng­gunakan sorok lingkar, alat tangkap yang ramah lingkungan. “Ikan yang tertahan di lilifuk, tetap berada di sana di antara karang dan padang lamun,” kata Edo Bai­neo, tokoh adat yang juga keturun­an keempat suku Baineo.

Lilifuk terbagi dua, bagian yang dangkal didominasi padang lamun, mengelilingi bagian terdalam bernama kolam Timau dengan kondisi terumbu karang yang menurut cerita Edo Baineo, belum terjamah aktivitas penangkapan ikan tidak ramah lingkungan.

Menangkap ikan di Lilifuk tidak berlangsung setiap hari. Sesuai kesepakatan adat, kawasan itu buka dua kali setahun, yakni Juni dan Desember. Aturan ini dibuat untuk melindungi dan menjaga kelesta­rian ekosistem terumbu karang. Lebih dari 2.000 warga yang me­nangkap ikan pada Desember 2019, sebelum pandemi Covid-19, membawa pulang sekitar 10 ton ikan berbagai jenis.

Sesuai aturan adat, sebelum masa panen tiba, tidak boleh ada aktivitas apa pun di dalam lilifuk, apalagi mengambil terumbu karang, pasir laut, dan menangkap penyu. Itulah yang membuat potensi ikan di sana melimpah.

Berani melanggar aturan adat, siap-siap bayar denda satu ekor ter­nak, uang Rp2 juta, dan beras 60 kilogram.

Bagi Edo, warisan adat ini dipertahankan sebagai pegangan bagi generasi muda dalam mengambil hasil laut, menjaga, dan melestari­kan sumber daya laut dan pesisir, serta mengajak mereka menangkap ikan mengunakan alat tangkap tradisional. Jelang panen, warga desa setem­pat hingga desa tetangga ikut diundang.

Upacara menangkap ikan (saun ta’et) pun digelar, diikuti warga anggota suku dan warga lainnya. Dalam upacara itu, seekor sapi di­sembelih, dagingnya dimasak untuk makan bersama, juga diisi tari-tarian. Semua hal yang terkait adat dan Lilifuk dibicarakan.

Di pantai, ketua adat akan memimpin ritual Tasaeb Ika (mendirikan rambu-rambu) di antaranya menyetor upeti seikat ikan (tanaib ika) kepada tuan lilifuk. “Tangkap ikan 10 ekor, bagi buat pemilik lilifuk tiga ekor,” ujarnya.

Lilifuk merupakan satu dari 10 kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat desa pesisir di seluruh NTT, ditaati ma­syarakat untuk memberikan per­lindungan terhadap kelestari­an sumber daya laut. Aturan yang ketat, bukan berarti lilifuk tidak pernah menjadi sasaran penge­bom­an ikan. “Kami pernah menangkap nela­yan akan mengebom ikan, dia bilang tidak tahu tempat itu dilin­dungi, akhirnya dia minta maaf dan pergi,” katanya.

Sumber pendapatan desa

Bertahan ratusan tahun, upe­ti dari menangkap ikan di lilifuk yang tadinya ikan berganti menggunakan sistem karcis seharga Rp5.000 per orang sesuai peratur­an desa (perdes) yang dikeluarkan sejak 2013.

Dalam perdes dipertegas lagi, lili­fuk hanya buka dua kali setahun. Kepala Desa Kuanheun, Semir Polin, menyebutkan ada tiga target yang ingin dicapai lewat perdes, yakni meles­tarikan bu­daya, menjaga ekosis­tem laut, dan mengembangkan wisata pan­tai.

Desa ju­ga memperoleh pen­­da­patan dari ke­giatan di lilifuk ini. Hasil penjualan karcis saat buka dua tahun lalu, sebesar Rp10 juta bagi tiga, 60% untuk tuan lilifuk, 20% untuk penjaga lilifuk, dan 20% untuk kas desa.

Pemerintah desa dan tokoh adat berniat menaikkan harga karcis masuk menjadi Rp10 ribu dengan syarat lilifuk buka hanya sekali dalam satu tahun. Ada rencana membangun wisata pantai juga kandas karena keterbatasan anggaran.

Tutupan karang

Selama 20 tahun terakhir, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTT baru satu kali melakukan survei kondisi tutupan karang di perairan daerah itu, termasuk perairan di selatan tersebut. Itu pun survei hanya dilakukan di 13 dari 22 kabupaten dan kota lantaran keterbatasan anggaran. Survei pada 2009 itu menemukan rata-rata tutupan karang dalam di kabupaten tersebut dalam kategori rusak sedang atau 25%-45%.

Seperti di Kabupaten Kupang, terumbu karang baik hanya 31,83%, artinya 68,17% terumbu karang dalam kondisi rusak. Begitu juga di lokasi terdekat dengan lilifuk, tutupan karang dalam kondisi baik tercatat 36,30%. Kondisi ini tidak beda jauh dari perairan terdekat, yakni yang masuk wilayah Kota Kupang dengan rata-rata tutupan karang dalam kondisi baik 31,46%, seperti Tenau 90,7% dan Namosain 89,29%. Dua lokasi ini juga merupakan jalur pelayaran kapal.

Di Kabupaten Rote Ndao, tutup­an karang juga mengalami kerusakan. Dari sembilan titik yang disurvei, rata-rata tutup­an karang dalam kondisi baik hanya 29.2% atau 70,8% rusak, sedangkan kondisi ka­rang baik hanya terlihat di Flores Timur se­besar 56,135%.

Selanjut­nya, The Nature Conservancy (TNC) dua kali mengeluarkan hasil survei kondisi terumbu karang di NTT. Pertama pada 2011 dan kedua pada 2014. Dari survei di delapan kabupaten pada 2011, TNC menyebutkan kondisi terumbu karang di Kabupaten Kupang masuk kategori buruk sekali.

Mereka menemukan tutupan karang kategori baik antara 5-40%, di titik lainnya kondisi karang baik antara 30-100%. Kendati tidak merinci kondisi karang per lokasi survei, kondisi pada 2011 tidak beda jauh dari 2009.

Sementara itu, kondisi terumbu karang di Rote Ndao didominasi kondisi baik antara 51-75%, kondisi sedang 25-50%, dan buruk sekali kurang dari 25%.

Terakhir pada 2014, TNC hanya memaparkan data umum kondisi terumbu karang di Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu yang meliputi 10 kabupaten, terdiri atas terumbu karang baik sekali hanya 0,4%, baik 4,6%, sedang 39,2%, buruk 28,4%, dan buruk sekali 27,4%.

Pakar Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana, Felix Rebhung menyebutkan kerusak­an ekosistem terumbu karang tidak saja kesalahan menangkap ikan dengan bom dan racun, juga pemu­tihan karang, pencemar­an, dan jangkar kapal.

Kita ini kelimpahan ikan, tetapi (ekosistem rusak) karena illegal fishing dan penangkapan ikan berlebih

Felix Rebhung, pakar kelautan dan perikanan Universitas Nusa Cendana

Namun, Felix tidak mau menya­lahkan kerusakan terumbu karang sebagai alasan nelayan dengan perahu di bawah 10 GT mesti berlayar sampai lautan lepas untuk menangkap ikan.

“Tidak ada basis data, hanya berdasarkan asumsi dan proyeksi sehingga banyak kebijakan pembangunan daerah menjadi bias,” jelasnya.

Rumput laut

Sebenarnya, potensi rumput laut sangat menjanjikan pascaledakan ladang minyak PTT Exploration and Production (PTTEP) di Laut Timor pada 21 Agustus 1999.

Sesuai data Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Selama 2014-2018, produksi rumput laut konstan, berturut-turut 2014 sebesar 1,967 juta ton, 2015 sebanyak 2,056 juta ton, 2016 turun menjadi 1,836 juta ton. Selanjutnya, produksi naik lagi menjadi 1,941 juta ton, dan terakhir pada 2018 sebanyak 1,978 juta ton.

Dari data yang ada, produksi rumput di Kabupaten Kupang ternyata lebih tinggi dari 20 kabupaten yang warganya melakukan budi daya rumput laut.

Produksi rumput laut di daerah yang kondisi terumbu karangnya masuk kategori buruk sekali ini, malah memberikan harapan besar.

Pada 2014 produksi rumput laut tercatat sebanyak 1,4 juta ton, naik menjadi 1,5 juta ton pada 2015. Kemudian pada 2016 produksi rumput laut sempat turun menjadi 1,3 juta ton. Grafik produksi terus naik mencapai 1,5 juta ton pada 2017 dan 1,6 juta ton pada 2018.

Budi daya rumput laut memang berkembang dengan pesat setelah diperkenalkan mantan Bupati Kupang Ibrahim Medah pada 1999 lewat program Gerakan Masuk Laut (Gemala), rata-rata petani rumput juga sebagai nelayan, seperti 48 nelayan di Desa Kuanheun, Kupang Barat.

Kendati produksi rumput laut melimpah, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTT mencatat penangkapan ikan dengan dengan bom masih terus berlangsung. “Mereka mengebom ikan di pe­sisir pantai yang jarang dilakukan patroli, tidak mungkin di laut dalam,” ungkap Kepala DKP NTT Ganef Wurgiyanto.

Usut punya usut, pengemboman ikan disebabkan nelayan ingin mendapat hasil tangkapan besar dalam tempo singkat.

DKP sudah berupaya menghentikan aksi penangkapan ikan dengan jalan pintas ini. Pada 2017, setiap nelayan yang terdaftar dibagikan benih rumput laut sebanyak 50 kilogram dan tali. “Bantuan ini merangsang masyarakat untuk menanam rumput laut dan tidak melakukan pengeboman,” jelasnya.

Namun, bantuan itu tidak serta merta membuat nelayan menghentikan aksi pengeboman ikan, sampai datang pendemi Covid-19 pada 2020 menjadi pukulan berat bagi para pembudi daya.

Satu-satunya perusahan penampung rumput laut petani hengkang karena tak kuat melawan pendemi. Sayang, DKP ataupun Badan Pusat Statistik (BPS) tidak mencatat tren produksi rumput laut dua tahun terakhir.

Jauh di pesisir selatan, keturunan Suku Baineo yang seluruhnya berprofesi sebagai petani, tetap mengawasi lilifuk sebagai warisan leluhur. Menangkap ikan tetap mata pencaharian sam­bilan. Di masa paceklik atau saat produksi jagung tak maksimal, masih ada kacang-kacangan dan umbi-umbian karena mereka menganut sistem pertanian multikultur.

Perlahan Matahari merunduk ke peraduan TNP Laut Sawu, warnanya membias pada riak-riak kecil yang terus menari, meng­iringi ribuan warga yang berebutan menangkap ikan di lilifuk sore itu. Berbagai jenis ikan yang dibawa pulang, akan memberi makan tidak hanya warga Kuanheun, tetapi juga warga desa sekitarnya, bahkan warga di Kota Kupang.

*Liputan ini merupakan hasil dari serial kelas belajar “Journalist Fellowsea: Menjaga Laut dengan Jurnalisme Data”, yang didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Yayasan EcoNusa.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.