Posted inArtikel / Keanekaragaman hayati

Hari Hiu Paus Internasional: Membenahi upaya konservasi ikan terbesar di dunia

Setiap 30 Agustus diperingati sebagai Hari Hiu Paus Internasional. Momen tersebut perlu digunakan untuk meningkatkan upaya konservasi dan juga mengembangkan ekowisata berkelanjutan berbasis hiu paus.

Setiap 30 Agustus, diperingati sebagai Hari Hiu Paus Internasional. Hiu paus dilindungi penuh berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/ Kepmen-KP/2013. Hal ini berarti segala bentuk pemanfaatan yang bersifat ekstraktif terhadap hiu paus, termasuk pemanfaatan bagian-bagian tubuhnya, dilarang secara hukum.

Seiring kebijakan tersebut, pengelolaan ekosistem kawasan berbasis hiu paus mulai dikembangkan. Beberapa tempat di Indonesia telah memanfaatkan kemunculan spesies ikan terbesar di dunia dengan nama ilmiah Rhincodon typus itu, sebagai aset untuk pengembangan ekowisata. Salah satu lokasi yang tengah dikembangkan adalah perairan Teluk Saleh, Desa Labuhan Jambu, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. 

Hiu paus dikenal sebagai hewan laut bertubuh raksasa alias ikan terbesar di dunia, namun sangat jinak dan mudah berinteraksi dengan manusia. Bagi nelayan di Desa Labuhan Jambu, satwa ini dianggap sebagai nenek moyangnya ikan. Namun ada juga sebagian nelayan yang menganggap hiu paus sebagai hama alias hewan laut yang menakutkan. Sehingga, nelayan tersebut mengusirnya dengan cara menombak atau menggunakan parang. 

“Semenjak ada edukasi bahwa hiu paus bukan satwa berbahaya dan perlu dilindungi, masyarakat mulai berperan penting melindungi ekosistem laut dan hiu paus. Tak ada lagi yang menggunakan kekerasan seperti tombak dan parang untuk mengusir mereka,” ungkap Iqbal Hidayat, warga yang menjadi local champion di Desa Labuhan Jambu. 

Iqbal menjelaskan pentingnya hiu paus bagi nelayan di Desa Labuhan Jambu dalam acara Whale Shark Virtual Tour, yang dihelat Sebumi, sebuah organisasi non-pemerintah yang fokus pada konservasi alam, bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Sumbawa, Sabtu, 28 Agustus 2021. Menurutnya, ketika masih kecil pada 1990-an, dia biasanya menjumpai hiu paus di wilayah pesisir tempat tinggalnya. Namun, sekarang tak pernah terlihat lagi, hal yang menandakan populasi hiu paus sedang tidak baik-baik saja.

Kini hiu paus telah menjadi sahabat nelayan di Desa Labuhan Jambu. “Ketika hiu paus masuk jaring, nelayan akan membantu mengeluarkannya. Ketika jaring robek, pemerintah desa menanggungnya. Hal ini karena Desa Labuhan Jambu telah ditetapkan sebagai desa wisata berbasis hiu paus dengan tujuan untuk melindungi hiu paus. Pendapatan dari ekowista ini untuk konservasi hiu paus,” kata Iqbal.

Abraham Sianipar, ahli hiu paus, dalam acara yang sama mengatakan, saat ini para peneliti masih mempelajari pola pergerakan hiu paus dan musimnya, karena belum begitu banyak informasinya. Menurutnya sejak 2017, hiu paus di perairan Teluk Saleh telah dipasangi satellite tag untuk mendapatkan informasi ke mana saja hewan laut ini pergi. 

“Informasi tersebut kemudian diberikan kepada mitra pemerintah seperti KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan pemda, untuk menyusun rencana aksi yang terintegrasi dan diimplementasikan di daerah-daerah,” ujar Abraham.

Apa yang Harus Dibenahi? 

Abraham berpendapat, peringatan Hari Hiu Paus Internasional, merupakan momen untuk membenahi upaya konservasi sekaligus mengembangkan wisata berkelanjutan berbasis hiu paus.

“Karena ternyata, ada spesies hiu yang bisa dijaga dan dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh masyarakat untuk memberikan manfaat berkelanjutan bagi generasi akan datang,” kata Abraham.  

Pada acara tersebut, dia mengatakan perlu dilakukan pendampingan di tingkat tapak atau di level masyarakat yang bekerja sama dengan pemerintah desa dan kelompok masyarakat. Sebab, mereka adalah garda terdepan untuk menjaga hiu paus.  

Getreda M. Hehanussa, Kepala BPSPL (Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut) Makassar, yang wilayah kerjanya mencakup kawasan ekowisata berbasis hiu paus di Desa Botubarani, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, mengungkapkan beberapa poin penting yang harus di dorong dalam menjaga hiu paus di Indonesia. Seperti, perlunya mengukur daya dukung wisata sehingga tidak mengganggu keberlangsungan hidup hiu paus yang ada di lokasi, serta mengembangkan metode monitoring dan pendataan berkesinambungan untuk mendukung pengelolaannya.

“Wisata berbasis konservasi di Botubarani serta di beberapa tempat di Indonesia harus didukung dengan sosialisasi kepada masyarakat terkait interaksi dengan hiu paus. Juga, bagaimana membangun jejaring pengelolaan hiu paus secara lestari dengan pemberdayaan kelompok penggiat konservasi dan stakeholder terkait,” ungkap Getreda kepada Mongabay Indonesia

Menurutnya, implementasi saat ini di Desa Botubarani sudah ada berupa papan informasi cara-cara berinteraksi dengan hiu paus. Namun, belum ada penghitungan lebih detil terkait daya dukung kawasan. Sementara, di wilayah kerja mereka kegiatan enumerasi masih berlangsung tapi hanya di Botubarani dan tidak menutup kemungkinan di area lain jika diperoleh informasi. 

“Selain itu, belum dilakukan pembuatan jejaring pengelolaan, namun kelompok pegiat konservasi di Botubarani telah dibantu supaya bisa lebih berdaya,” ucapnya.

Dalam buku berjudul Hiu Paus di Botubarani, Gorontalo (BPSPL Makassar, 2019), disebutkan kata “paus” pada hiu paus sebenarnya mengacu pada paus baleen, mamalia laut berukuran besar yang memiliki sikat atau ijuk (baleen) sebagai pengganti gigi. 

Baleen berfungsi menyaring dan menangkap mangsa berukuran kecil, yaitu udang-udangan, sehingga satwa ini dijuluki filter feeder, namun hiu paus menggunakan organ penyaring berpori-pori kecil (dalam ukuran milimeter) berupa insang yang berjumlah lima pasang pada bagian kanan dan kiri tubuhnya. 

Frensly D Hukom, dari Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, dalam Jurnal Oseana [2016], menyebutkan bahwa hiu paus adalah satu-satunya anggota dari Marga Rhincodon dan Suku Rhincodontidae (disebut Rhincodon dan Rhinodontidae sebelum 1984), termasuk dalam subkelas Elasmobranchii pada Kelas Chondrichthyes. Dinamakan hiu paus karena ukuran tubuhnya yang sangat besar dan bentuk kepalanya tumpul seperti paus. 

Disebut pula dengan nama hiu tutul, merujuk pada pola warna di punggungnya yang bertotol-totol, serupa bintang di langit. Hiu paus mengembara di samudera tropis dan lautan beriklim hangat dan dapat hidup hingga usia 70 tahun. Spesies ini dipercaya berasal dari sekitar 60 juta tahun silam.

Hiu paus merupakan satu dari tiga spesies hiu yang diketahui makan dengan cara menyaring air laut. Makanannya antara lain adalah plankton, krill, larva kepiting pantai, makro alga, serta hewan-hewan kecil nektonik seperti cumi-cumi atau vertebra kecil. Hiu paus juga diketahui memangsa ikan-ikan kecil serta hamburan jutaan telur dan sperma ikan yang melayang-layang di air laut selama musim memijah, juga memangsa ubur-ubur dan larva ikan kakap.

Hiu paus sejak 2002 telah masuk Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora [CITES], artinya perdagangan internasional untuk komoditas ini harus melalui aturan yang menjamin pemanfaatannya dan tidak akan mengancam kelestariannya di alam. 

Pada 2016, hiu paus masuk dalam daftar merah spesies terancam International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status Genting (Endangered). Status tersebut satu tingkat lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, tahun 2000, yaitu Rentan (Vulnerable).

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.