Kemitraan warga dan PT WKS dalam mengelola perhutanan sosial di Dusun Benteng Makmur diduga sebagai upaya perusahaan untuk memperluas area kerja.
Jalanan tanah merah melepaskan partikel-partikel debu ke udara, siang itu, di awal bulan Juli 2021. Kendaraan yang membawa kami melintasi dua portal pintu masuk menuju Dusun Benteng Makmur, Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Hilir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.
Dua portal pintu masuk itu adalah pos penjagaan PT Wira Karya Sakti (WKS). Ruas jalan yang seolah membelah bukit demi bukit menuju kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) itu, biasa disebut penduduk lokal “koridor we-ka-es”.
Ruas jalan ini memang dibangun oleh PT WKS, dengan tujuan untuk mengangkut akasia mangium yang dipanen sebagai bahan untuk membuat pulp dan paper. PT WKS adalah perusahaan yang bergerak di bidang Hutan Tanaman Industri (HTI), anak perusahaan Sinar Mas Group.
Ruas jalan ini adalah akses satu-satunya bagi 380-an Kepala Keluarga (KK) warga Dusun Benteng Makmur untuk menuju ke luar, ke jalan lintas Jambi – Tebo, sejak lebih dari 10 tahun terakhir.
Tidak hanya truk-truk dengan 12 unit ban milik PT WKS yang hilir mudik melintas di ruas jalan ini. Tapi juga truk-truk sejenis, yang tertutup rapat bak belakangnya, yang membawa batu bara dari tambang terbuka di kecamatan tetangga, Kecamatan Sumay.
Gambaran ini memperlihatkan bahwa Dusun Benteng Makmur dikelilingi oleh lahan PT WKS. Sehingga, pendududuk pun terdesak. Meskipun mereka memiliki areal Perhutanan Sosial (PS) sendiri, tapi itu hanya di atas kertas saja. Secara de facto, areal itu adalah bagian dari lahan PT WKS, meskipun dibungkus dengan istilah “kemitraan”.
Di dusun ini, terdapat dua kelompok masyarakat yang telah mendapatkan izin skema Perhutanan Sosial. Yakni Koperasi Teriti Jaya, dengan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) seluas 2.516 hektare, dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) Muara Kilis Bersatu, dengan Hutan Kemasyarakatan (HKM) seluas 1.126 hektare.
Namun dalam perjalanannya, skema Perhutanan Sosial (PS) telah digunakan oleh PT WKS sebagai perluasan areal kerja mereka.
Adalah Anti-Illegal Logging Institute (AILInst), sebuah non-governmental organization (NGO) yang pertama kali mengungkap kondisi PS di dusun ini, pada bulan Mei 2021. Berdasarkan temuan tim AILInst di lokasi, Koperasi Teriti Jaya telah bermitra dengan PT WKS sejak tahun 2018. Sedangkan Gapoktan Muara Kilis Bersatu bermitra dengan PT WKS sejak tahun 2020.
“Ini adalah modus baru perluasan lahan area kerja perusahaan dengan mengatasnamakan skema PS,” kata direktur AILInst, Dicky Kurniawan.
Melalui skema PS, perusahaan bermitra dengan koperasi dan Gapoktan. Lalu, areal keduanya ditanami dengan tanaman akasia untuk kepentingan bisnis perusahaan.
“Ini adalah ekspansi perusahaan ke areal masyarakat, dengan mengunakan celah yang ada pada skema PS,” lanjutnya.
Harus diakui, dusun itu berada di tengah hamparan lahan PT WKS. Sebagai korporasi yang telah hadir di Provinsi Jambi sejak era Orde Baru, PT WKS memiliki luasan lahan dengan total 290.378 hektare. Area itu terdapat di tiga kabupaten di Provinsi Jambi, yakni Kabupaten Tebo, Batanghari, dan Tanjungjabung Barat.
Pada sebuah wawancara, humas PT WKS, Taufikurahman mengatakan bahwa pihak perusahaan melakukan pola kemitraan dengan masyarakat karena alasan untuk memakmurkan masyarakat.
“Tidak ada yang bisa menjamin mereka dapat memperbaiki penghidupannya dengan skema PS, jika mereka mengusahakannya sendiri. Maka kami pun menawarkan kemitraan,” katanya.
Kondisi di lokasi, pihak perusahaan telah berkali-kali memanen tanaman akasia dari areal PS koperasi dan kelompok tani itu. Alat berat seperti ekskavator telah digunakan untuk memanen pohon-pohon akasia di kawasan perbukitan yang sulit untuk dijangkau.
Dengan artian, penanaman akasia di kedua areal itu telah dilakukan cukup lama. Sebab, menurut laman www.aprilasia.com, untuk daerah tropis seperti Indonesia, tanaman akasia dapat tumbuh subur dan dapat dipanen pada usia tanaman antara lima hingga tujuh tahun. Tentu sangat berbeda jika ditanam di belahan Eropa, yang butuh waktu panen hingga 25 tahun.
Tumbuhan ini sangat cocok untuk ditanam di daerah berbukit dan gunung. Sehingga, menjadi alasan yang tepat, secara bisnis, bagi pihak perusahaan untuk memilih kawasan penyangga TNBT ini.
Menurut riset pihak April Group pada tahun 2017, hasil panenan akasia per tahun untuk saat ini adalah 33 meter persegi per hektare. April Group adalah sebuah holding company yang bergerak di bisnis pabrik pulp dan paper.
Sementara mengacu pada laman pengadaan.web.id, harga untuk akasia mangium dengan panjang 1 meter hingga 4 meter dan diameter 10 hingga 39 centimeter berkisar antara Rp730.000 hingga Rp1.350.000 per meter kubik.
“Perputaran uang yang besar, dan tidak banyak warga dusun yang mengetahuinya,” kata Dicky Kurniawan.
Sehingga konflik terbuka antara perusahaan dengan masyarakat, atau masyarakat dengan masyarakat dapat terjadi kapan saja. Sebagai contoh, berdasarkan catatan Walhi Jambi, desa tetangga, warga Desa Lubuk Madrasah telah mengalami konflik dengan PT WKS pada tahun 2020.
Saat itu, pesawat tanpa awak (drone) milik perusahaan diduga telah menabur herbisida ke ladang dan kebun milik masyarakat yang bersebelahan dengan areal perusahaan. Tanaman mereka mati, dan tanpa ganti rugi.
“Konflik seperti itu juga dapat terjadi di dusun ini. Sebab tidak semua warga setuju dengan cara perusahaan untuk menguasai lahan mereka,” kata Dicky.
Kabid Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat dan Hutan Adat (PPMHA) Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Gushendra mengatakan, terdata sebanyak 334.000 hektare areal PS di Provinsi Jambi hingga tahun 2021 ini. Dan, ini mengacu kepada Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan.
Tujuannya, katanya, untuk meningkatkan keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.
“Diharapkan skema PS dapat memunculkan keadilan sosial dan menciptakan lahan pekerjaan,” ujar Gushendra.
Jikapun nantinya akan menghasilkan skema kemitraan dengan perusahaan yang lokasinya berdekatan dengan PS itu, seperti di Dusun Benteng Makmur, ia berharap agar persoalan perizinan jelas peruntukannya.
“Pelaku utama haruslah masyarakat, dan keuntungan yang bakal didapat masyarakat pun harus lah jelas juga,” katanya.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) Koperasi Teriti Jaya terbit pada bulan Mei 2018 oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Koperasi ini lalu bermitra dengan PT WKS pada tahun 2018.
“Kami banyak dibantu oleh PT WKS dalam pengurusan izin,” kata Wandi, bukan nama sebenarnya, seorang pengurus Koperasi Teriti Jaya.
Kemitraan itu mencakup pihak perusahaan yang melakukan penanaman tanaman jenis akasia pada lahan HTR Koperasi Teriti Jaya seluas 2.200 hektare. HTR itu dibagi menjadi 10 blok kelola dengan masing-masing 220 hektare per blok.
“Hingga hari ini, baru sebanyak dua blok tanaman yang telah digarap sesuai Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2020. Selebihnya untuk RKT 2021,” kata Dicky Kurniawan.
Menurut Dicky, ada banyak rencana kerja yang akan dilakukan oleh pihak Koperasi. Seperti penanaman tumbuhan obat dan tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan.
Namun sejauh ini, katanya, yang terjadi adalah hutan yang semula akan digunakan oleh Koperasi Teriti Jaya untuk PS telah di-land clearing untuk kemudian kayu-kayunya dimanfaatkan pihak perusahaan. Land clearing telah terjadi jauh sebelum skema PS ditetapkan oleh pemerintah.
“Setelah izin PS terbit, pihak perusahaan hanya tinggal menanam tumbuhan akasia jenis mangium di areal peruntukan koperasi itu,” kata Dicky.
Wandi mengatakan, pengerjaan sejak dari penebangan kayu alam hingga proses land clearing dilakukan oleh perusahaan. Jikapun ada warga yang terlibat, jelasnya, itu hanyalah perseorangan saja.
Namun, dari percakapan para warga diketahui bahwa pihak perusahaan akan membantu anggota koperasi untuk menanami lahan mereka dengan tanaman agroforestry.
“Jika ada keuntungan di awal, itu tentunya bersifat pribadi saja, bukan koperasi,” kata Urip, juga bukan nama sebenarnya, anggota koperasi yang lain.
Hal yang sama terjadi di area HKM milik Gapoktan Muara Kilis Bersatu, yang beranggotakan 107 orang. Area itu baru disetujui pada tahun 2019 seluas 1.126 hektare oleh Kementerian LHK. Gapoktan ini bermitra dengan PT WKS pada tahun 2020.
Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) Gapoktan Muara Kilis Bersatu terbagi dua, yakni 553,17 hektare untuk blok pemanfaatan dan 593,24 hektare untuk blok perlindungan.
Ketua Gapoktan Muara Kilis Bersatu, Poniman mengatakan, penanaman baru akan dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2021. Dan, keuntungan yang mereka dapat dari kemitraan itu, adalah program agroforestry pada tahap selanjutnya.
Pihak perusahaan akan membantu bibit untuk tanaman agroforestry yang akan ditanam oleh Gapoktan. Seperti varietas jengkol, sengon, kunyit, serai, cabai, jahe, dan kencur. Pihak perusahaan pun akan memberikan pelatihan dan pendampingan melalui penyuluh yang mereka tunjuk.
“Ini kemitraan yang saling menguntungkan. Kami tidak memiliki pengetahuan untuk bertanam varietas itu. Dan perusahaan lah yang membantu,” kata Poniman.
Tetapi, ada juga warga yang tidak menyetujui pola kemitraan yang dilakukan koperasi dan Gapoktan ini. Sebut saja Adi, bukan nama sebenarnya.
“Ini cara yang biasa digunakan oleh perusahaan. Mereka menggunakan masyarakat untuk mendapatkan areal yang baru,” kata Adi.
Meskipun, katanya, dibungkus dengan menggunakan skema PS. Namun, ia berusaha memahami persoalan ini. Sebab, lanjut Adi, warga sendiri tidak memiliki modal awal. Sehingga, pilihan terakhir adalah kemitraan dengan perusahaan.
Berdasarkan pantauan di lokasi, dan poto udara dari AILInst, sama seperti Koperasi Teriti Jaya, di areal Hutan Kemasyarakatan (HKm) milik Gapoktan ini juga tengah dilakukan panen tumbuhan akasia.
Dicky Kurniawan menyatakan bahwa urusan administratif, sejak dari penetapan SK lokasi bahkan hingga ke pembentukan Gapoktan, telah “diurus” oleh pihak perusahaan.
“Warga dusun tidak mengetahui secara jelas persoalan ini. Mereka berpikir bahwa kondisi itu menguntungkan mereka. Padahal, justru pihak perusahaan yang diuntungkan,” kata Dicky.
Berdasarkan penelitian AILInst di lokasi, pihak PT WKS telah melakukan land clearing dan melanjutkan ke penanaman akasia sepanjang tahun 2016 hingga 2017.
Alasaan ketelanjuran penanam muncul karena keruwetan persoalan peta yang tidak sinkron antara peta milik perusahaan dengan milik pemerintah. Dan sudah menjadi rahasia umum jika penentuan lokasi dan luasan konsesi di masa Orde Baru tidak melibatkan pemerintah daerah, melainkan “ditunjuk langsung dari pusat”.
Ini juga yang menyebabkan terjadinya banyak konflik antar masyarakat dengan perusahaan di Provinsi Jambi saat ini.
Yang selanjutnya terjadi, ketika SK Perhutanan Sosial dikeluarkan pada 2021, pihak perusahaan pun dapat tenang memanen akasia jenis mangium yang mereka tanam. Hal itu berlanjut hingga saat ini.
Areal Gapoktan telah dipanen seluas 20 hektare. Sedangkan untuk Koperasi Teritis Jaya hingga saat ini masih ditanam. Tetapi, besar kemungkinan akan segera dipanen dalam waktu dekat ini.
Sementara itu, Aziz Sigalingging, koordinator program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mengatakan areal Gapoktan Muara Kilis Bersatu adalah ruang hidup dan areal perlintasan satwa gajah sumatera.
“Satwa gajah termasuk ke dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature), dengan kategori critically endangered. Sehingga butuh keseriusan untuk penyelamatan satwa gajah secara tepat,” katanya.
Saat ini, terdapat sebanyak 150-an ekor gajah di lansekap Bukit Tigapuluh, termasuk Desa Muara Kilis. Dengan perlakuan mengubah peruntukan hutan menjadi area perkebunan, maka penghidupan bagi gajah pun akan terganggu.
MenurutAziz, dua ekor gajah telah mati karena berkonflik dengan manusia di Desa Muara Kilis dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Jika kondisi ini tetap dibiarkan terjadi, maka satwa gajah akan kembali menjadi korban konflik.