Pemerintah menyiapkan konsep ekonomi sirkular yang akan diintegrasikan ke dalam pembangunan ekonomi hijau rendah karbon. Konsep ini dianggap paling tepat untuk mendorong transformasi ekonomi, terutama sektor industri pascapandemi.
Hal itu disampaikan Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Arifin Rudiyanto, dalam diskusi daring Forum Editor yang diselenggarakan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) bekerja sama dengan PwC Indonesia pada Sabtu (21/8/2021).
Arifin mengatakan, setelah pandemi rantai produksi industri akan mengalami transformasi dan meningkatkan adaptasi teknologi digital. Konsumsi swasta melemah tajam sehingga diperlukan penyesuaian pada rantai pasok yang juga akan mengalami transformasi dengan menitikberatkan pada analisis risiko dan proyeksi permintaan akhir produk yang lebih realistis.
“Konsep ekonomi sirkular akan menghasilkan sejumlah keuntungan. Mengutip hasil studi Bappenas dan UNDP, konsep 5R (Reduce, Reuse, Recycle, Refurbish, Renew) di Indonesia dapat meningkatkan PDB sebesar lima triliunan rupiah. Ekonomi sirkular dapat meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada kisaran Rp593-Rp638 triliun pada tahun 2030,” kata Arifin.
Ekonomi sirkular didefinisikan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai sistem regeneratif di mana input sumber daya dan limbah, emisi, serta kebocoran energi diminimalkan dengan memperlambat, menutup, dan mempersempit lingkaran energi dan material. Ini dapat dicapai melalui desain, pemeliharaan, perbaikan, penggunaan kembali, remanufaktur, perbaikan, dan daur ulang yang tahan lama.
Penerapannya akan mendorong praktik bisnis yang berkelanjutan, sekaligus membantu memperbesar peluang untuk menghindari terjadinya perubahan iklim yang drastis dan berbahaya.
Menurut hasil penelitian Kementerian PPN/Bappenas, seperti dipaparkan Arifin, integrasi ekonomi sirkular di Indonesia diproyeksikan akan menciptakan sebanyak 4,4 juta lapangan kerja hijau hingga tahun 2030, di mana 75 persen dari total pekerja merupakan tenaga kerja perempuan. Sementara, pada tahun yang sama, timbunan limbah diproyeksikan berkurang sebesar 18-52 persen dibandingkan business as usual, serta berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 126 juta ton CO2.
Oleh karena itulah integrasi ekonomi sirkular menjadi agenda prioritas nasional yang dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN tahun 2020-2024. Langkah ini menjadi milestone penting guna mendorong praktik bisnis berkelanjutan. Untuk memperkuat implementasi ekonomi sirkular, pemerintah membuat roadmap dengan harapan terintegrasi secara nasional pada pembangunan menengah nasional 2025-2029 untuk pemerintahan yang akan datang.
Bappenas telah melakukan kajian resources efficiency mengenai dampak ekonomi sirkular pada pemulihan ekonomi hijau di sejumlah sektor. Antara lain sektor makanan dan minuman, serta peningkatan kapasitas dan kesadaran publik. Selain itu, telah dibentuk sekretariat ekonomi sirkular di bawah sekretariat pembangunan rendah karbon.
Arifin melanjutkan, “Ekonomi sirkular akan sejalan dengan indeks ESG (Environmental, Social, and Governance) sebagai alat untuk mencapai ekonomi berkelanjutan. Yang krusial saat ini adalah mendorong aktivitas bisnis menjadi berkelanjutan di mana fokus tidak hanya profit semata tapi aspek lingkungan dan sosial.
“ESG dikenal sebagai peringkat indeks yang menilai aspek non-finansial sebagai parameter perusahaan yang digunakan sebagai alat bantu pengukuran kepedulian dan upaya sebuah perusahaan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di tingkat negara dan dunia,” sambungnya.
Mendorong ESG jadi mandatory
Meski saat ini ESG masih bersifat sukarela, ke depannya akan didorong menjadi mandatory bagi perusahaan domestik. Sehingga lambat laun akan dipaksa bertransformasi ke bisnis berkelanjutan.
Sejak Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi meluncurkan indeks baru ESG Leaders BEI bulan Desember 2020 , investasi berbasis ESG mulai mendapatkan momentumnya di Indonesia. Indeks ini diharapkan dapat memacu praktik terkait lingkungan, sosial, dan tata kelola emiten dalam menerapkan investasi berkelanjutan di Indonesia.
Colum Rice, ESG Leader PwC Asia Pasifik, mengatakan bahwa perusahaan tidak dapat terus mengabaikan konsekuensi perubahan iklim akibat mengejar keuntungan, atau mengabaikan dampak sosial dari praktik mereka.
“Kami percaya bahwa ESG lebih dari sekedar aspirasi perusahaan. Saatnya untuk mengambil tindakan untuk mengubah aspirasi menjadi rencana kerja nyata yang mencakup setiap bagian bisnis; mulai dari investasi, inovasi berkelanjutan, hingga pelaporan yang kuat tentang tantangan dan peluang. Tindakan dan pelaporan yang autentik dan transparan akan membantu membangun kepercayaan bagi bisnis, ekonomi, dan masyarakat,” tutur Rice.
“Saya berharap melalui forum ini akan ada multiplier effect, semakin banyak media mengambil sikap aktif dan terinformasi tentang ESG, semakin banyak orang akan teredukasi dan keduanya mendukung bisnis yang sudah menerapkan dan menuntut tindakan dari mereka yang belum menjalankan.”
CEO Yayasan Kehati, Riki Frindos, di forum yang sama mengatakan bahwa tantangan isu lingkungan saat ini adalah perubahan iklim dan ekonomi rendah karbon sebagai solusinya. Pembangunan hijau menjadi fokus pemimpin dunia, juga perubahan iklim, termasuk isu sumber daya, sampah, serta polusi.
Untuk mengatasinya, menurut Riki, ke depan paradigmanya diubah dari konsep ekonomi linear ke ekonomi sirkular. Pembangunan ekonomi hijau juga berkaitan dengan pembiayaan investasi.
“Karena itu dibutuhkan komitmen. Pemikiran kita harus didesain kembali sehingga nanti dari output jadi input. Tantangan sustainability banyak. Di level global, dalam SDGs ada komitmen soal climate change, juga ada agreement menjaga suhu Bumi tidak naik,” ujar Riki.
Terkait keberlanjutan ini, sudah banyak instrumen yang diadopsi di Indonesia. Salah satunya adalah ESG, mulai dari strategi dan investasinya memberikan dampak secara langsung ke lingkungan dan sosial.
“Tujuan ESG investment ada dua, jangan membahayakan ke sektor bisnis dan perusahaan saham dan obligasi investasi kita. Dan tidak memberi efek negatif ke lingkungan; investasi untuk bisnis tanpa dampak yang buruk ke lingkungan, tata kelola, dan sosial,” kata Riki.
Sementara itu, Ketua Umum SIEJ, Rochimawati, di acara Forum Editor mengatakan, walaupun ESG sudah mulai banyak diberitakan namun banyak media yang belum sepenuhnya memahami konsep ESG, bukan semata-mata membahas mengenai isu lingkungan, namun juga isu sosial dan tata kelola bisnis.
“Melalui Forum Editor ini, para editor media diajak untuk memahami dan berdiskusi mengenai bagaimana suatu media dapat mengidentifikasi dan mengulas topik ESG secara tepat dan membungkusnya menjadi artikel yang edukatif bagi para pembacanya,” kata Rochimawati.
“Media memiliki tanggung jawab untuk membentuk warga negara yang berpengetahuan luas tentang kebijakan. Laporan media diharapkan dapat menjadi referensi bagi publik, termasuk para pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan, terutama kebijakan yang menyangkut kehidupan dan kepentingan masyarakat luas.”