Pemandangan pertama yang menjadi penanda telah memasuki kawasan Desa Pemandang, Kecamatan Rokan IV Koto, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau, adalah bangunan Kantor Desa Pemandang di sebelah kiri jalan. Sedikit menikung tajam ke arah kiri, terlihat permukiman dengan jumlah warga tak lebih dari 700-an kepala keluarga (KK).

Mereka mendiami kawasan lereng perbukitan di antara gugusan Bukit Barisan. Desa ini pernah berstatus sebagai desa terisolir pada masa lalu.

Maraknya aktivitas masyarakat melakukan pengalihan dan pelepasan lahan dengan embel-embel tanah ulayat (tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan dikelola berdasarkan hukum ulayat) dalam merambah kayu menjadi latar belakang pengajuan penyelamatan hutan melalui Program Perhutan Sosial dengan Skema Hutan Desa.

Di sepanjang perjalanan menuju Desa Pemandang, kerap dijumpai bagian hutan yang meranggas akibat dibabat dengan alat berat atau mesin potong sederhana yang dilakukan masyarakat. Sisa-sisa tebangan ada yang dibiarkan mengering usai dibabat untuk membuka lahan perkebunan.

Pada kiri kanan jalan menuju kawasan hutan desa, juga dijumpai beberapa lokasi yang diduga sebagai tempat memotong batang pohon yang ditumbangkan menjadi papan sebelum diangkut keluar dari kawasan tersebut.

Desa yang menjadi salah satu pembatas antara Riau dan Sumatera Barat itu berkontur miring dan berbukit. Desa tersebut mendapat SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dari Menteri LHK Siti Nurbaya pada tahun 2017.

Dilatarbelakangi keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mendapat hak kelola hutan desa, sekelompok masyarakat mengajukan permohonan ke KLHK di tahun 2017. Pembina Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Pemandang, Muzawir, yang juga tokoh masyarakat desa mengatakan, pengajuan hutan desa dilakukan supaya masyarakat bisa mengelola kawasan hutan alam di desa mereka.

“Kami mengajukan seluas 10 ribu hektare. Namun setelah dikaji dan ditelaah oleh Kementerian LHK, yang mendapatkan persetujuan hanya seluas 8.437 hektare,” sebut Muzawir.

Muzawir menceritakan adanya kekeliruan pemahaman dalam masyarakat bahwa kawasan hutan di desa dapat dialihkan dan dilepaskan kepada pihak lain dengan alasan bagian dari tanah ulayat. “Padahal tidak, ada aturan nasional yang mengikat dan membatasi hal tersebut,” jelasnya.

Bagi Muzawir, praktik membuka lahan dengan cara membabat sebagian kawasan hutan desa harus dihentikan. Salah satu solusi yang dapat dimaksimalkan dengan memberikan ruang pelibatan masyarakat dalam mengakses kawasan hutan desa.

Usai mengantongi SK Hutan Desa, perjuangan LPHD Pemandang tidak kemudian berhenti begitu saja. Upaya untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat guna menghentikan aktivitas merambah menjadi tantangan tersendiri.

Masyarakat di desa yang konon sudah terbentuk sejak zaman kolonial itu, selama ini sangat bergantung dengan hasil kayu yang ada di kawasan hutan Desa Pemandang. Bahkan hingga sekarang.

Kami sangat optimistis jika masyarakat Desa Pemandang dapat sama-sama terlibat dalam pengelolaan hutan desa ini sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan bersama-sama

Muzawir, Pembina Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Pemandang

Berdasarkan SK KemenLHK Nomor 3327/Menlhk-PSKL/PKPS/PSL.0/5/2017 disebutkan, ada sekitar 175 hektare kebun sawit di dalam kawasan hutan desa di Desa Pemandang yang sudah berusia 6-7 tahun dan harus menjadi pengawasan ketat pihak LPHD Pemandang.

Permasalahan yang dirasakan agak berat. Muzawir menjelaskan, ada sekitar 600-an hektare lahan di dalam kawasan Hutan Desa di Desa Pemandang yang saat ini masih dikuasai oleh sejumlah pihak di luar Desa Pemandang. Dari jumlah lahan tersebut, sebanyak 76 orang diketahui terlibat sebagai pemilik dengan berbagai latar belakang. Muzawir menyebut, mereka berasal dari kalangan pengusaha, militer hingga Pegawai Negeri Sipil yang sudah membeli lahan dan mengelolanya sebagai kebun, yang umumnya ditumbuhi tanaman kelapa sawit.

“Kita sudah beberapa kali melakukan pendekatan dengan para pemilik lahan tersebut. Beberapa di antaranya bersedia diajak berkomunikasi untuk membicarakan keberadaan lahannya di dalam kawasan hutan desa. Beberapa ada juga yang tidak mau,” bebernya.

Muzawir mengaku, bagi pemilik lahan yang tidak mau diajak bicara, pihaknya melalui LPHD Pemandang sudah melayangkan surat kepada Camat Rokan IV Koto untuk dapat mencabut dan membatalkan surat tanah yang lahannya masuk ke dalam kawasan hutan desa.

“Alhamdulillah. Ada juga pemilik lahan yang kemudian suratnya dibatalkan oleh Pemerintah Kecamatan Rokan IV Koto sebagai bentuk ketegasan kita,” ungkap Muzawir.

Sejak menerima mandat untuk mengelola daerah Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) pada 2017 lalu, LPHD Pemandang sudah berganti kepengurusan satu kali. Azuwir, lelaki paruh baya yang kini dipercaya memimpin LPHD Pemandang mengatakan, pihaknya berusaha untuk mengakomodasi setiap pemilik maupun pengelola lahan di dalam kawasan hutan desa yang sudah lebih dulu mengelola lahan sebelum dikeluarkannya SK Hutan Desa.

Salah satunya, adalah dengan berusaha menggagas pertemuan untuk melakukan pembicaraan bersama dengan para pemilik lahan tersebut. “Kita tidak berusaha melarang mereka yang sudah lebih dulu mengolah lahan di dalam kawasan hutan Desa Pemandang. Namun, ada beberapa aturan yang ingin kita sepakati bersama dengan para pemilik lahan. Karena hal ini juga berkaitan dengan kepentingan masyarakat desa dan aturan main yang ada dalam SK Perhutanan Sosial tersebut,” jelas Azuwir.

Di antara konsep pemanfaatan yang diusung oleh LPHD Pemandang adalah membaginya ke dalam unit usaha, yakni kebun pinang, kebun kemiri, kebun kopi dan unit pariwisata. Azuwir memaparkan, dalam pengelolaan unit usaha tersebut LPHD Pemandang bekerja sama dengan sejumlah pihak, baik dari perorangan maupun pemerintah, yang sesuai dengan bidang usaha yang dikembangkan.

“Misalnya untuk kebun pinang, kita bekerja sama dengan seorang pengusaha asal Rokan Hulu. Untuk mengelola kawasan dalam jumlah besar, membutuhkan modal yang tidak sedikit,” kata dia.

Dalam membuat kesepakatan pengelolaan kebun pinang di hutan desa, menurut Azuwir, pihaknya hanya meneruskan kebijakan dari pengurus LPHD Pemandang sebelumnya yang telah diberhentikan oleh Kepala Desa Pemandang.

“Sebenarnya kita hanya meneruskan kesepakatan yang sudah ada saja. Kesepakatan ini sudah dimulai sejak masa Pak Ajira (ketua LPHD Pemandang periode lalu) dan kita menghormati kesepakatan tersebut dan memutuskan untuk melanjutkan dengan skema bagi hasil yang sama-sama menguntungkan,” papar Azuwir.

Azuwir menambahkan, selepas mengantongi SK Perhutanan Sosial dari KLHK pada 2017, pengelolaan kawasan hutan desa di Desa Pemandang sempat tersendat lantaran beberapa hal. Di antaranya pola pikir masyarakat yang masih berangggapan bahwa pengelolaan hutan desa bersifat bebas dan dapat diwariskan serta dijualbelikan kepada orang lain. Hal ini memicu aktivitas perambahan di sejumlah kawasan hutan desa yang umumnya dilakukan oleh masyarakat sendiri.

“Kalau awalnya masyarakat melakukan perambahan kawasan hutan untuk membuka lahan kebun sendiri. Sekarang kecenderungan itu berubah, mereka merambah lahan untuk disiapkan sebelum dijual atau dilepaskan kepada orang lain,” jelasnya.

Saat ini, LPHD Pemandang terus berbenah dalam mengelola kawasan hutan desa secara kolektif bersama masyarakat. Mulai dari pelibatan dalam kerjasama bersama pihak ketiga dalam mengelola kebun pinang, hingga pengusulan destinasi pariwisata di dalam kawasan hutan desa ke Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu.

Azuwir menyebut, dalam satu dua bulan progres tersebut akan terlaksana dan penggarapan di lapangan akan segera dimulai bersama-sama dengan Pemerintah Desa Pemandang serta masyarakat desa lainnya. Dalam proses tersebut, pihak LPHD Pemandang bersama dengan pemerintah desa aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak melakukannya lagi.

Kepala Desa Pemandang Nico Afriza menyatakan bahwa pemerintah desa sangat mendukung pengelolaan kawasan hutan desa tersebut. Dia bahkan sangat yakin, jika konsepnya berjalan ideal, akan berhasil merubah pandangan ekonomi masyarakat, dari bergantung kepada hasil kayu hutan menjadi mengelola kawasan hutan desa secara kolektif.

“Kami sangat mendukung program kerja dari LPHD Pemandang ini. Apapun yang mereka usahakan, sepanjang untuk kepentingan bersama seluruh masyarakat desa, kami sangat mendukung sekali,” kata Kades Nico.

Dia juga menerangkan, pihak pemerintah Desa Pemandang selalu terlibat dalam pertemuan LPHD Pemandang dalam mengonsep program pemanfaatan kawasan hutan desa seluas 8.437 hektare tersebut. Kades Nico berharap, dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan hutan desa, dapat memutus kebiasaan masyarakat desa merambah hutan.

Melalui program hutan desa ini, diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat. Caranya bukan dengan menjual ataupun melepas sebagian kawasan hutan desa, tetapi dengan mengolah dan mengelolanya sehingga dapat menghasilkan keuntungan jangka panjang.

Nico Afriza, Kepala desa pemandang

Terkait pengelolaan hutan desa Pemandang, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Rokan Hulu, Apidian mengatakan, perannya sebagai perpanjangan tangan dari Dinas Kehutanan Provinsi dan KLHK dalam mengawasi pengelolaan Perhutanan Sosial di Rokan Hulu adalah sebagai fasilitator.

“Kami sebagai fasilitator dari pemerintah dalam melakukan pengawasan dan pembinaan Perhutanan Sosial di Desa Pemandang. Kami selalu berkoordinasi dan mengikuti setiap perkembangan serta proses yang dilakukan oleh LPHD Pemandang selaku pengelola,” kata Apidian. KPH Rokan Hulu melakukan pengawasan agar pemanfaatan kawasan hutan di Desa Pemandang dapat berjalan sesuai aturan yang berlaku.

Berkaitan dengan pemanfaatan kawasan hutan di Desa Pemandang yang diolah dengan melibatkan pengusaha, Apidian menilai tidak masalah sepanjang dapat memberi manfaat kepada masyarakat desa dan diolah sebagaimana diatur oleh SK Perhutanan Sosial serta aturan terkait lainnya, seperti Permen Nomor 9 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan dan lain-lain.

“Nah, untuk itu diperlukan pola komunikasi yang baik antara masyarakat desa melalui LPHD Desa Pemandang dengan pihak KPH dalam melaporkan potensi konflik maupun pelanggaran di lapangan,” sebutnya.

“Namun, jika mengacu pada pola kerjasama yang dibangun dalam bentuk pengelolaan kebun pinang, berdasarkan aturan yang berlaku dan mengacu pada pola pembagian dan pelibatan masyarakat di dalamnya, saya rasa hal itu tidak menjadi masalah,” tambahnya.

Apidian juga menegaskan, hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat dalam mengelola kawasan Hutan Desa di Desa Pemandang adalah membersihkan lahan dengan cara membakar dan mengambil semua kekayaan kayu pohon yang ada di dalamnya.

Untuk itu, dalam pola kerja sama dengan pihak ketiga yang sudah dibangun, KPH Rokan Hulu menyoroti perkembangan pengerjaannya di lapangan agar segala hasil hutan yang ada di dalamnya tidak sampai dibawa keluar dengan alih-alih mencari keuntungan dari kayu hutan saat pembukaan lahan.

“Jika kayu-kayu tersebut diolah masih di dalam kawasan hutan desa, itu diperbolehkan. Misalnya, untuk dijadikan pondok, yang penting tidak dibawa keluar dari kawasan hutan desa,” kata Apidian.

“Jika dibawa keluar dan diperjualbelikan, hal itu jelas menyalahi aturan. Karena perlu saya tegaskan, peruntukan Hak Pengelolaan Hutan Desa bukan untuk mengeluarkan sumber daya dan kekayaan yang terkandung di dalam kawasan hutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat dalam hak mengelola kawasan hutan yang ada di kawasan desa mereka,” tandasnya.

Sementara, Pengamat Lingkungan Dr. Elviriadi, SPi, MSi yang juga akademisi di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim mengatakan, ada tiga hal yang menjadi penting dalam pengelolaan kawasan Hutan Desa di Desa Pemandang. Pertama, perlu adanya pengawasan dari pihak ketiga dalam pengelolaan kawasan hutan desa agar dapat memberikan manfaat sebagaimana diatur di dalam Diktum (Perintah dalam SK Perhutanan Sosial, red) yang diberikan oleh Kementerian LHK.

Hal ini bisa dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Government Organization dan pihak-pihak terkait lainnya yang dapat memberikan keselarasan antara konsep dan penerapan ide dan program masyarakat atas hak pengelolaan hutan desa.

Kedua, perlu adanya pengawasan secara ketat terhadap masyarakat desa dalam mengelola hutan desa agar tidak menimbulkan risiko ekosistem akibat pengelolaan kawasan yang kebablasan.

Elviriadi mencontohkan, dalam membersihkan kawasan lahan yang tidak mengacu pada kebaikan ekosistem, maka akan berdampak pada risiko kerusakan ekosistem yang dapat berupa erosi dan kerusakan alam lainnya. Tentunya, risiko tersebut tidak akan langsung nampak begitu saja, tapi akan sangat terasa di masa depan ketika pola pengelolaan yang digunakan tidak mengedepankan dampak pada risiko ekosistem lingkungan tersebut.

Terakhir adalah memastikan masyarakat mendapatkan manfaat dalam pengelolaan kawasan hutan desa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam kerja-kerja pelibatan pengelolaan kawasan sesuai dengan amanat Perhutanan Sosial.

Liputan ini didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dalam program Fellowship Jurnalis Lingkungan “Build Back Better, Efektivitas Skema Perhutanan Sosial dalam Penyelamatan Hutan”, dan pertama kali terbit di TribunPekanbaru.com pada tanggal 18 Juli 2021.
About the writer

Syahrul Ramadhan

Currently working as reporter at Tribun Pekanbaru, Syahrul has been actively writing since his college time. He's been involved in several fellowship programmes, while also doing writing and research projects....

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.