Berada di tepi aliran Sungai Batanghari–sungai terpanjang di Sumatera yang melewati Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, banyak tinggalan peradaban tua masih tersisa. Bangunan candi-candi di Muaro Jambi itu tersebar dari barat ke timur sepanjang 7,5 kilometer mengikuti aliran Batanghari.

Arsitektur purba berupa candi-candi terpendam berabad-abad silam. Sebagian reruntuhan bangunan telah dipugar dan dibuka untuk wisatawan. Sementara masih ada puluhan gundukan tanah yang di dalamnya menyimpan struktur bangunan kuno.

Keberadaan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi pertama kali diketahui dari laporan S.C. Crooke, seorang perwira kehormatan bangsa Inggris dalam sebuah lawatannya ke Hindia Timur pada 1820. Crooke mendapat laporan dari warga sekitar yang menemukan struktur bangunan candi dan benda-benda purbakala.

Dalam buku Muaro Jambi Dulu, Sekarang, dan Esok yang diterbitkan Balai Arkeologi Sumatera Selatan (2009:30) dijelaskan, satuan ruang geografis Kawasan Percandian Muarajambi merupakan tinggalan kebudayaan klasik masa Sriwijaya dan Melayu Kuno.

Kawasan tersebut juga menjadi pusat pendidikan agama Buddha abad VII-XIII, yang terluas di Indonesia dan Asia Tenggara. Dahulu pada tahun 671 Masehi, seorang pengelana asal Tiongkok I-Tsing, atau Yi Jing, mencatat, ribuan biksu dari Thailand, India, Srilanka, Tibet, Cina, datang ke Muarajambi untuk memperdalam ilmu sebelum ke Nalanda (saat ini kawasan Bihar di India).

Peradaban Muarajambi ratusan abad silam memang sudah kesohor. Dalam sejarahnya, sebagaimana ditulis Swarnadwipa Muarajambi (Sudimuja), Maha Guru Buddha Atisa Dipamkara Shrijnana pernah tinggal dan belajar di Candi Muarajambi, Sumatera, selama 12 tahun lamanya, atau sekitar tahun 1011-1023 Masehi.

Atisa adalah seorang yang berperan penting dalam membangun gelombang kedua Buddhisme dari Tibet. Ia pernah menjadi murid dari guru besar Buddhis, yakni Guru Swarnadwipa, Serlingpa Dharmakirti. 

Selama menghabiskan waktunya di Muarajambi, Atisa belajar kepada gurunya, Serlingpa Dharmakirti, tentang Boddhi Citta (batin pencerahan) yang berdasarkan cinta kasih dan welas asih. 

“Atisa Dipamkara Shrijnana membawa pengaruh yang sangat besar dalam sejarah keagamaan di Tibet dan dunia pada umumnya. Ini merupakan salah satu ajaran universal Budhadharma yang paling berpengaruh di dunia hingga saat ini,” tulis Sudimuja.

Di Kawasan Percandian Muarajambi itu tersebar 82 reruntuhan bangunan kuno atau yang disebut menapo. Saat ini beberapa bangunan telah dipugar, seperti Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Astana, Candi Kembar Batu, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Tinggi I, Candi Kedaton, dan Candi Teluk I.

Seiring berputarnya waktu, melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No: 259/M/2013, Kawasan Percandian Muarajambi telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional dengan satu ruang geografis mencapai 3.981 hektare.

Cagar Budaya Muarajambi mencakup tujuh wilayah desa di Kabupaten Muaro Jambi. Ketujuh desa tersebut adalah Desa Dusun Baru, Danau Lamo, Muara Jambi, Kemingking Luar, dan Kemingking Dalam, serta Desa Teluk Jambu dan Dusun Mudo.

Selain bangunan komplek percandian, di kawasan itu juga terdapat sisa peradaban berupa kolam kuno, danau. Kemudian ada jaringan kanal kuno, yang pada masa lalu digunakan sebagai jalur transportasi menghubung bangunan candi. Jaringan kanal kuno itu juga terhubung dengan sungai-sungai alam yang bermuara ke Sungai Batanghari.

Kini di tengah menyisakan kejayaan peradaban masa lampau, situs Percandian Muarajambi yang menyandang predikat Cagar Budaya Nasional itu sudah lama terancam oleh aktivitas industri.

“Tapi pemerintah kita tidak pernah mau melihat kondisi Kawasan Cagar Budaya Muarajambi ke lapangan,” kata Mukhtar Hadi, Aktivis Pelestari Cagar Budaya Muarajambi kepada Liputan6.com di Desa Muara Jambi, Jumat 27 Agustus 2021.

Bangunan candi yang menjadi saksi bisu peradaban masa lampau masih terkepung alat berat, pabrik, dan industri stockpile batu bara. Kawasan Cagar Budaya yang berada di sisi selatan Desa Muara Jambi itu seakan tak berdaya menghadapi stockpile batu bara sejak satu dekade terakhir. 

Stockpile adalah tempat penumpukan batu bara. Batu bara di stockpile itu didatangkan dari sejumlah daerah di Jambi, kemudian diangkut kapal tongkang lewat jalur perairan Sungai Batanghari. Tahun 2010, ekspansi stockpile batu bara semakin tak terbendung.

Begitu pula sejak 2011, Borju–begitu sapaan akrab Mukhtar Hadi–mulai menolak keras keberadaan stockpile batu bara yang berada di seberang desanya. Suara-suara penolakan terus digaungkan dengan lantang, baik itu lewat puisi ataupun kampanye dan aksi. 

Tapi suara-suara penolakan itu oleh pemangku kebijakan dianggap angin lalu. Bangunan candi dan struktur reruntuhan bata, atau disebut menapo, sampai kini masih terkepung alat berat, pabrik, dan stockpile batu bara.

Tumpukan ratusan ribu ton “emas hitam” yang menggunung dengan aktivitas alat beratnya di beberapa titik lokasi menjadi ancaman serius terhadap pelestarian cagar budaya. Karena lokasi stockpile batu bara yang begitu dekat, Borju khawatir debu batu bara bisa mempercepat pelapukan bangunan candi.

Alasan kekhawatiran Borju masuk akal. Sebab jarak timbunan batu bara dengan situs hanya terpaut puluhan meter. Borju melihat sendiri ancaman dari kerusakan situs bangunan candi itu.

“Kalau hujan, genangan air bercampur batu bara merembes ke situs, batu bata candi jadi hitam. Kalau ini dibiarkan terus, maka pengeroposan bata-bata candi semakin cepat,” kata Borju.

“Belum lagi aktivitas alat berat buldozer, tentu ini sangat membahayakan situs,” ujar Borju, seraya menambahkan bahwa aktivitas industri di area candi bisa menghambat pengungkapan sejarah masa lalu.

Supriyadi, seorang pelestari budaya di Desa Muara Jambi melakukan pemetaan spasial terhadap industri yang berada di dalam Kawasan Cagar Budaya Muarajambi, terutama di sisi selatan seberang Sungai Batanghari di desanya.

Hasil pemetaannya itu sejumlah perusahaan bercokol di kawasan yang seharusnya dilindungi. Sejumlah perusahaan itu antara lain: PT Nan Riang (stockpile batu bara), PT Tegas Guna Mandiri (stockpile batu bara).

Kemudian PT Jambi Nusantara Energi (penumpukan cangkang sawit), PT KBP Thriveni (cangkang/batu bara), Port KBP Kemingking (batu bara/cangkang), Port WPS (batu bara/cangkang), Jetty WPS/PMP (batu bara), dan PT Sinar Alam Permai (CPO).

Supriyadi menunjukan sebuah peta yang berisi titik merah dan garis biru meliuk-liuk. Titik merah menandakan situs candi dan garis biru tanda jaringan kanal-kanal kuno. Di kawasan sisi selatan yang bercokol industri itu terdapat 3 bangunan candi dan 5 situs menapo.

Candi yang sudah nampak di antaranya adalah Candi Teluk I, Candi Teluk II, dan Candi Cina. Kemudian Menapo Pelayangan I, Menapo Pelayangan II, Menapo Kemingking I, Menapo Kemingking II, dan Menapo Istano.

Analisis spasial menggunakan platform Google Earth, tampak jelas di kawasan tersebut terdapat bagian hitam pekat yang menandakan tumpukan batu bara. Sementara di sekitar peta yang menghitam bangunan candi berdiri.

“Di kawasan itu juga ada Sungai Kemingking dan Buluran Bumban, itu merupakan tali-tali air bersejarah,” ujar Supriyadi, yang juga pemandu wisata di Muarajambi.

Melihat Pemugaran Candi Teluk I yang Terkepung Industri

Lima prahoto (truk besar) tanpa muatan itu parkir berjejer di lokasi penumpukan batu bara di pinggir sungai Batanghari, Desa Kemingking Luar, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, pada 13 Agustus lalu. Berada tak jauh di belakangnya, belasan orang terlihat sedang sibuk dengan aktivitas pemugaran Candi Teluk I.

“Kalau mau wawancara sama Kepala BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya, red.) Jambi aja, Pak Agus,” kata Andreas Novianto, Arkeolog BPCB Jambi yang ketika itu sedang mengawasi pemugaran di Situs Candi Teluk I.

Di dalam bangunan situs candi itu dalam kondisi runtuh. Sementara dari hasil pemugaran pada bangunan perwara, pagar keliling, dan gapura berhasil menampakan susunan bata. Ratusan pecahan keramik, genteng, dan fragmen diduga Arca Dwarapala pun ditemukan di dalam situs candi.

Bangunan situs Candi Teluk I seluas 50×50 meter–menjadi bagian Kawasan Cagar Budaya Muarajambi itu, hanya dipagari kawat. Aktivitas perusahaan mulai dari: penumpukan batu split, cangkang sawit, sampai penumpukan batu bara, bercokol di sekeliling bangunan situs candi. 

Di sekitar lokasi candi, alat berat berkelir oranye terlihat sedang mengaduk-gaduk di atas tumpukan cangkang sawit. Di sisi barat bangunan candi, alat berat lainnya sedang terparkir.

Sementara itu hanya berjarak belasan meter di sisi utara bangunan candi, tumpukan batu bara terlihat mulai menipis karena sebagian telah diangkut ke tongkang. Di dermaga Jetty WPS/PMP di pinggir Sungai Batanghari, kapal tongkang bersandar dengan muatan batu bara.

Analisis spasial menggunakan platform Google Earth, keberadaan Candi Teluk I ini terhimpit. Tampak di sekelilingnya warnanya hitam pekat. Ditarik garis lurus antara situs dengan stockpile batu bara hanya berjarak puluhan meter. 

Berdasarkan informasi dari seorang sumber menyebutkan, bahwa kawasan stockpile di sekitar Candi Teluk I tersebut dikelola dan dimiliki oleh seorang bernama Tanoto Jacobes–taipan asal Jambi. Ia sangat terkenal memiliki tanah jembar di kawasan Kemingking. Tak hanya itu, ia juga cukup disegani oleh kalangan birokrat di Jambi.

Tanoto Jacobes, atau Ayong, tak menampik bahwa tanahnya yang berada di situs bangunan Candi Teluk I digunakan untuk stockpile batu bara. Namun, dia menepis kekhawatiran soal keberadaan batu bara membuat pelestarian situs cagar budaya tak maksimal. 

“Mana berani kita ganggu, kita kasih BPCB kerja pemugaran di sana,” kata Ayong ketika ditemui di Pengadilan Negeri Jambi pada 11 Agustus 2021.

Sementara itu, Kepala BPCB Jambi Agus Widyatmoko mengatakan, semua pihak harus komitmen untuk melestarikan Cagar Budaya Muarajambi. Ini menurut Agus, merupakan amanat Undang-undang No 11/2010 Tentang Cagar Budaya.

“Sekarang yang penting bagaimana kita mencari solusinya, kita tidak boleh egois juga. Ini adalah persoalan bersama, kita bareng-bareng memecahkan persoalan ini,” kata Agus ketika ditemui di Desa Muara Jambi.

Dalam pelestarian Cagar Budaya Muarajambi di kawasan itu, pihaknya menerapkan strategi diplomasi secara halus (soft diplomacy) kepada perusahaan di sana. Semua pihak, kata Agus, tidak boleh ada yang dirugikan karena industri-industri tersebut lebih dulu beroperasi, jauh sebelum area Percandian Muarajambi ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya.    

“Semua tidak boleh dirugikan, sehingga nanti pada finalnya semua akan tercapai, bisa terintegrasi. Apa yang kita jalankan dalam pelestarian semua akan merasakan dampak positifnya dari cagar budaya,” ujar Agus.

Sekarang, menurut Agus, pemerintah pusat telah menaruh perhatian khusus kepada Percandian Muarajambi. Percandian yang luasnya delapan kali dari Borobudur itu telah ditetapkan menjadi Kawasan Cagar Budaya Nasional. Berbagai kementerian akan terlibat dalam pengembangan kawasan ini, termasuk Kementerian ATR/BPN yang akan menindaklanjuti dari penetapan ini.

“Nanti ada dari Kementerian ATR/BPN yang menata ruangnya, bagaimana fungsi-fungsi kawasannya, jadi kita tidak bekerja sendirian,” kata Agus.

“Persoalan di Muarajambi adalah persoalan bersama,” sambungnya.

Junus Satrio Atmodjo, Arkeolog Senior yang juga Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN) mengatakan, pelestarian KCB Muarajambi perlu sangat hati-hati. Kepentingan industri tidak boleh mengendurkan semangat melestarikan situs yang akan diturunkan untuk generasi mendatang.

Junus, yang sudah lama meneliti situs Muarajambi, berpendapat bahwa industri-industri itu tidak cocok di area tersebut. Namun, persoalannya keberadaan industri tersebut juga menjadi masa lalu yang kelam bagi Muarajambi karena industri itu lebih dulu beroperasi sebelum area tersebut ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya.

“Sekarang untuk menyikapi itu yang dibutuhkan adalah komitmen untuk sama-sama melestarikan situs,” kata Junus.

Mengancam Cagar Budaya dan Kesehatan Warga, Tapi Pemerintah Tutup Mata

Pada 30 Desember 2013, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, ketika itu dipimpin M Nuh menetapkan Percandian Muarojambi sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB). Kawasan seluas 3.981 hektare itu terdaftar dalam registrasi nasional dengan No Regnas CB.11.

Penetapan ini mestinya digunakan untuk percepatan menyelamatkan Kawasan Percandian Muarajambi dari berbagai kepentingan industri yang merusak. 

Tapi penetapan ini nyatanya tidak ampuh melawan ekspansi industri ekstraktif sehingga cagar budaya itu masih tak berdaya menghadapi gempuran kepentingan industri. Lantas ada apa di balik keengganan pemerintah menyelamatkan situs bersejarah itu?

Jawaban Bupati Muaro Jambi, Masnah Busro, masih sama dengan apa yang dikatakan pada tahun 2019 lalu. Dikonfirmasi kembali pada 26 Agustus 2021, ia mengatakan bakal mengevaluasi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sisi selatan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi.

“Nanti dalam waktu dekat ini kami akan mengajak Kadis untuk turun ke lokasi untuk mengkoordinasikan,” kata Masnah ketika ditemui di Komplek Museum Percandian Muarajambi.

Selama ini Pemda Muaro Jambi, menurut Masnah, tidak mendapatkan kontribusi terkait pendapatan dari sektor industri batu bara di kawasan tersebut. Ia melempar kewenangan soal batu bara itu ada di pemerintah pusat.

“Yang jelas pendapatan negara, tapi kalau dari pendapatan asli daerah (PAD) enggak ada karena ini langsung dari pusat, begitu juga stockpile batu bara,” ujar Bupati.

Bupati Masnah Busro mengakui bahwa batu bara di kawasan itu tak hanya berdampak pada situs Percandian Muarajambi. Partikel debu batu bara dari yang berterbangan juga bisa mengancam kesehatan warga di Desa Muara Jambi. 

Pengakuan Masnah soal dampak kesehatan adalah kenyataan. Setiap musim kemarau, masyarakat di Desa Muara Jambi kelimpungan menghadapi partikel batu bara.

Penanggung Jawab Puskesmas Pembantu (Pustu) Desa Muara Jambi, Nita Sartika menilai, aktivitas perusahaan tak hanya membuat polusi udara makin buruk. Ia pernah mendapat keluhan bahwa debu hitam itu juga sampai masuk ke dapur rumah warga. 

“Kita tinggal di lingkungan yang sehat saja masih bisa sakit, apalagi kalau tinggal di lingkungan dan udara yang kotor. Kasian orang tua dan anak-anak,” kata Nita pada 2 September lalu.

Dia menyebutkan, data kasus infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) setiap tahun fluktuatif. Namun ia sudah bisa memastikan setiap musim kemarau selalu terjadi lonjakan penderita ISPA dan diare yang berobat ke Puskesmas. Nita bilang, dalam jangka panjang bahaya debu batubara bisa memicu dampak lebih serius pada paru-paru.

“Pekan ini saja ada 26 orang yang berobat ke sini karena ISPA,” kata Nita Sartika, seraya menambahkan bahwa kelompok usia lanjut dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap paparan debu batu bara. 

Dalam kesempatan sebelumnya Kepala Desa Muara Jambi Abu Zar AB mengatakan, terdapat tiga rukun tetangga (RT) yang paling berdampak debu batu bara. Ketiga RT itu, yakni RT01, 02, dan 03 yang paling dekat dengan lokasi lapangan penumpukan batu bara.

Adapun sekitar 250 kepala keluarga di Desa Muara Jambi yang paling berdampak debu batu bara. Menurut Abu Zar, di lokasi penumpukan batu bara itu tak hanya satu perusahaan yang perusahaan yang beroperasi. Khusus di desanya kata Abu, terdapat lima perusahaan stockpile batu bara yang beroperasi.   

Agustus tahun lalu, Pemerintah Desa memanggil salah satu perusahaan stcokpile yang beroperasi. Pihak Pemdes ingin meminta solusi konkrit tentang permasalahan yang dihadapi warga desa.

PT Tegas Guna Mandiri (TGM), salah satu perusahaan penumpukan batu bara, datang menemui pemerintah desa. Perusahaan datang diwakili pejabat perusahaan bagian legal dan hukum.

Dalam pertemuan itu, perusahaan mengklaim telah memperhatikan tata kelola lingkungan agar debu batu bara tidak sampai ke perkampungan warga. Perusahaan juga mengklaim saat musim kemarau mereka beraktivitas muat batu bara pada malam hari.

“Kita juga sudah mengadakan conveyor yang otomatis supaya debunya tidak kemana-mana, ditambah lagi penyiraman. Jadi dampak-dampak debu bisa dikurangi,” ujar JA Ginting, pejabat bagian legal dan hukum PT TGM.    

UNESCO dan Nasib Kawasan Cagar Budaya Muarajambi

Di sisi selatan seberang Sungai Batanghari, Desa Muara Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, sebuah kapal tongkang sedang memuat batu bara dari tempat penumpukan. Muatannya hampir penuh hingga membentuk lima gunungan batu bara di atas tongkang.

Beberapa saat kemudian, kapal tongkang yang lain dengan muatan batu bara melaju pelan ke hilir sungai Batanghari menuju laut lepas pesisir timur Jambi. Sementara perahu-perahu milik nelayan desa melaju pelan membelah sungai Batanghari yang keruh itu.

Nampak jelas di tubir Sungai Batanghari di seberang desa tua itu, saban hari kapal tongkang bersandar di permukaan air Sungai Batanghari. Sungai purba terpanjang di Sumatera itu arusnya tenang, sama tenangnya dengan sikap pemerintah mengatasi persoalan yang terjadi di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi.

Keberadaan industri di kawasan tersebut jelas tak sesuai dengan semangat pelestarian cagar budaya yang telah diamanatkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Dalam Bab I ketentuan umum pasal 1 secara gamblang disebutkan bahwa Kawasan Cagar Budaya perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.    

Selain itu, keberadaan industri stockpile batu bara di tubir Sungai Batanghari juga melanggar Peraturan Daerah Provinsi Jambi No 11 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Dalam Perda tersebut, pasal 78 huruf c menyebutkan, setiap orang dilarang beroperasi di daerah lindung lingkungan terkait dengan sumber daya air pada radius atau sempadan, untuk mata air dan sungai.

Coba sesekali kalau ada kunjungan pejabat pusat dibawa menikmati Sungai Batanghari yang keruh dan debu batu bara yang tertiup angin

Mukhtar Hadi, Aktivis Pelestari Cagar Budaya Muarajambi

Keberadaan industri-industri di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi juga telah menabrak fungsi tata ruang dan wilayah sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No 14 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2014-2034. 

Dalam beleid tersebut pasal 30 ayat (4) huruf (d) menyebutkan bahwa peninggalan sejarah Candi Muarajambi di Kecamatan Maro Sebo dan Taman Rajo telah ditetapkan sebagai kawasan lindung. 

“Coba sesekali kalau ada kunjungan pejabat pusat dibawa menikmati Sungai Batanghari yang keruh dan debu batu bara yang tertiup angin,” kata Borju.

Di sisi lain Kawasan Cagar Muarajambi telah masuk daftar tunggu untuk ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia atau world heritage. Sejak 2009 diusulkan dan bernomor registrasi 5.695, Cagar Budaya Muarajambi tak kunjung ditetapkan menjadi warisan budaya dunia.

Upaya mendapatkan pengakuan UNESCO bisa gagal kalau pemerintah daerah tidak mampu memindahkan stockpile batu bara di dalam komplek percandian.

Menurut Borju, selama ini Percandian Muarajambi digaungkan sebagai promosi wisata untuk menuju warisan dunia. Namun, pemerintah lupa masih ada persoalan yang terus menggerayangi calon warisan budaya dunia itu.

“Secara logika kira-kira UNESCO itu mau enggak menetapkan Muarajambi kalau di kelilingnya masih ada konflik,” kata Borju.

Keberadaan industri penumpukan batu bara memang belum berdampak secara langsung terhadap kunjungan wisata di Kawasan Cagar Muarajambi. Namun, Ketua DPC Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Muaro Jambi Supryadi khawatir jika kondisi ini terus dibiarkan akan merusak citra dan promosi wisata, terlebih saat ini Desa Muara Jambi telah ditetapkan desa wisata.

Dalam konsep wisata menurut Yadi, pemandu harus menampilkan daya tarik yang menawan untuk wisatawan sehingga turis pun akan kembali lagi. Pernah ia membawa peneliti yang ingin melihat bangunan candi yang berada di sisi selatan, namun peneliti itu kecewa karena terhalang akses oleh kehadiran industri.

“Wisata itu kan ditampilkan yang bagus supaya turis mau datang lagi. Tapi bagaimana kalau di kawasan ini masih ada batu bara, jadi ini bisa merusak citra wisata yang digaungkan selama ini,” kata Supryadi.     

Tinggalan purbakala di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi seyogyanya bersih dari ekspansi industri yang hanya untuk kepentingan segelintir orang. Peninggalan peradaban masa lampau pun seharusnya dilestarikan untuk memajukan kebudayaan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 

Dalam benak pikiran Borju dan kawan-kawannya yang selama ini peduli terhadap pelestarian cagar budaya, mereka selalu bertanya-tanya “Sampai kapan nasib Cagar Budaya Muarajambi akan seperti ini?”

*Artikel ini merupakan bagian dari “Story Grant Peliputan Lingkungan Hidup” yang diadakan Ekuatorial dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), serta terbit pertama kali di Liputan6.com pada 12 September 2021 .

About the writer

Gresi Plasmanto

Gresi Plasmanto is a journalist who lives in Jambi. He has been a journalist since 2014 and previously was a correspondent for the Antara News' Jambi Bureau. Since July 2019 until now, Gresi has joined...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.