Pengelola Ekowisata Telok Berdiri memperkenalkan cara baru menarik wisatawan lewat penggunaan aplikasi untuk pengadopsian pohon mangrove. Masyarakat bisa mendukung sekaligus memantau upaya konservasi.

Desiran angin dari muara Sungai Kapuas menyapa lembut saat memasuki kawasan ekowisata mangrove Telok Berdiri di Desa Sungai Kupah, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Lintasan jalan yang khas berupa panggung kayu di atas rawa, menjadi teman menikmati suasana.

Hamparan Laut Cina Selatan yang kadang dilintasi pencari ikan turut memanjakan mata. Matahari tenggelam dengan latar menara suar turut melengkapi keindahan sore di sana.

Rudi Hartono, akrab disapa Bacok, ingin membagi kemewahan yang sama ke masyarakat luas dan ingin mereka berpartisipasi menjaga kelestarian mangrove tersebut. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Sungai Kupah ini bersama komunitasnya merintis wisata mangrove sejak tiga tahun silam.

Mereka memilih aplikasi teknologi pemetaan digital, Map Marker, dalam upaya konservasi.

Pengembangan aplikasi bersama mahasiswa Politeknik Negeri Pontianak itu bermula dari kuliah lapangan di sana. “Saya minta tolong membantu mengembangkan aplikasi,” kata Bacok.

Respons publik atas layanan adopsi memanfaatkan aplikasi itu cukup baik. Setidaknya, sudah ada tujuh ribuan mangrove yang diadopsi individu. Sementara dari kelompok dan komunitas lebih banyak, setidaknya 10 ribuan mangrove. Sebelum memakai aplikasi digital, adopsinya sekitar 500-700 pohon saja.

Pria berusia 25 tahun ini berharap, adopsi itu ikut membantu perbaikan vegetasi mangrove terbuka di muara sungai. Masyarakat memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar dan akarnya dibuat jadi rumpon, sejenis alat menangkap ikan. “Jumlahnya kian berkurang,” kata Bacok baru-baru ini.

Untuk setiap pohon yang diadopsi, Bacok menguraikan, mereka menarik donasi Rp10 ribu. Biaya saat pendaftaran itu hanya dikenakan satu kali saja dalam proses adopsi. Masyarakat yang berminat mengadopsi mangrove bisa mendaftar secara luring dan daring.

Yang berminat mengadopsi secara luring harus datang ke lokasi dan membayar biaya pendaftaran. Selanjutnya mereka tinggal memilih bibit mangrove serta lokasi penanamannya.

“Selesai proses penanaman, pohon mangrove tadi akan difoto bersama pengadopsi. Selain itu diambil titik koordinat pohon sebagai bahan penginputan data ke dalam aplikasi.” jelasnya.

Bagi pengadopsi daring, mereka bisa menghubungi pengelola terlebih dahulu melalui media sosial ekowisata Telok Berdiri seperti Instagram dan di laman Facebook. Nantinya, pengelola akan memilihkan pohon dan menanamnya bagi pengadopsi.

Pengadopsi bisa mengunduh Map Marker via layanan Google Play Store dan App Store. Lewat aplikasi, mereka bisa melihat informasi perkembangan pohon yang  ditanam. Informasi berupa visualisasi mangrove berdasarkan titik koordinatnya.

Setiap orang tua asuh dari mangrove akan mendapat tautan serta kode unik dari pengelola guna memantau perkembangan tanaman asuhnya. Mereka juga bisa melihat tanaman yang diadopsi orang lain di kawasan wisata itu.

“Selain menggunakan aplikasi tersebut, pihak pengelola juga memberikan informasi perkembangan tanaman milik pengadopsi melalui email,” jelas Bacok.

Konsep adopsi dan pengawasan mangrove secara digital ini mengantarkan Bacok menempati peringkat ke-2 Pemuda Pelopor bidang Sumber Daya Alam, Lingkungan dan Pariwisata tingkat nasional tahun 2020 dari Kementerian Pemuda dan Olahraga.

“Bersyukur bisa meraih prestasi yang mengharumkan daerah dan berharap semakin banyak yang mau ikut mengadopsi mangrove,” timpalnya sembari tersenyum tipis.

Ketua Indonesia Youth and Leader Empowerment wilayah Kalimantan Barat, Kristina, turut mengadopsi mangrove di Sungai Kupah. Adanya sentuhan aplikasi, ujar Kristina, bisa meningkatkan daya tarik bagi wisatawan dan anak muda pada isu konservasi, khususnya, mangrove.

“Proses penanaman mangrove di sini tidak sekedar menanam lalu berhenti di situ saja. Namun kita tetap bisa mengetahui perkembangan tanaman melalui aplikasi.”

Kristina, Ketua Indonesia Youth and Leader Empowerment Kalimantan Barat

Kurniawan, pemuda asal Kabupaten Bengkayang yang sedang menyelesaikan kuliah di Kota Pontianak, tertarik mengadopsi mangrove setelah mendapat ajakan dari rekannya. Saat ini pohon yang diadopsinya sudah menginjak usia delapan bulan. Dia mendapat informasi perkembangan tanamannya via gawai. Layanan ini membuatnya merasa terhubung dengan pohon asuhnya.

“Saya datang langsung ke lokasi untuk mengadopsi mangrove sambil berwisata. Adanya proses pemanfaatan teknologi dalam menanam mangrove bisa menarik banyak masyarakat untuk ikut  mengadopsi,” terang Kurniawan.

Pemikat Wisatawan

Ketua Unit Ekowisata, Badan Usaha Milik Desa Telok Berdiri, Ahmad Kamal berharap, konsep adopsi dan pemantauan digital mangrove ini berpengaruh pada kunjungan wisatawan ke Telok Berdiri. Pengelola mematok tiket masuk senilai Rp5 ribu per orang.

Sebelum pandemi, kunjungan ke Ekowisata Telok Berdiri mencapai 600-700 orang per pekan. Pengelola bisa mendapat pemasukan antara Rp2,5-3 juta per pekan. Tingkat kunjungan ini menurun hampir setengahnya saat pandemi COVID-19 seiring berbagai kebijakan pembatasan mobilisasi.

Menurutnya, orang yang sudah mengadopsi mangrove meski bisa memantau secara digital bakal merasa terhubung dan ingin kembali ke lokasi secara fisik. Hal ini adalah investasi untuk masa depan.

Pemerintah desa setempat memanfaatkan pemasukan dari kawasan ekowisata itu untuk masuk ke pendapatan desa. Saat ini, dananya masih difokuskan untuk pembangunan kawasan lokasi wisata.

“Adanya ekowisata diharapkan bisa memancing pembangunan infrastruktur seperti jalan di desa, setidaknya jalan menuju lokasi wisata,” kata Kepala Desa Sungai Kupah, Ismail.

Manfaat positif lainnya, ungkap dia, adalah berkembangnya kawasan mangrove sebagai penahan abrasi sekaligus tempat perkembangbiakan ikan. Ismail menambahkan, 15 persen dari tiga ribuan warga Desa Sungai Kupah bekerja sebagai nelayan.

“Kondisi saat ini, mangrove yang ditanam umurnya masih berkisar sekitar 1 hingga 3 tahun. sehingga dampaknya belum begitu dirasakan,” terang dia.

Menyoal manfaat bagi ekosistem, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Dwi Astiani mengungkapkankan, kawasan mangrove yang tidak terjaga dapat mengakibatkan abrasi yang ujung-ujungnya mengganggu habitat ikan. Upaya memperbaikinya bisa melalui penanaman kembali mangrove di kawasan yang vegetasinya terbuka.

“Memang butuh proses agar fungsi mangrove dirasakan dampaknya secara langsung, prosesnya bisa tiga tahunan. Itu pun harus didukung berbagai faktor salah satunya mangrove memiliki tingkat kerapatan vegetasi yang baik.”

Dwi Astani, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura

Penanaman itu harus mempertimbangkan beberapa aspek. Mulai dari zona tanam, salinitas air laut, hingga pemilihan jenis pohonnya. Harapannya, pertumbuhan mangrove menjadi baik sehingga berfungsi maksimal menahan laju abrasi, menjadi benteng angin, dan tempat ikan berkembang biak.

Pemerintah daerah juga menyambut inovasi dari Desa Sungai Kupah. Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Kubu Raya, Iping Hindrawati, memproyeksikan adanya pengembangan kriya serta makanan pada wilayah tersebut. Harapannya, produk-produk turunan itu bisa ikut dipasarkan secara daring.

Iping menilai, keberadaan produk yang dipasarkan secara digital jadi penawar rindu bagi wisatawan yang terbatas pergerakannya karena pembatasan aktivitas saat pandemi.

“Adanya kerajinan dan makanan khas yang dimiliki di sebuah tempat wisata menjadi faktor pendukung yang cukup penting. Di Desa Sungai Kupah sendiri warganya sudah diberikan pelatihan untuk membuat produk makanan khas seperti abon ikan dan kue stik udang yang siap untuk dipasarkan,” ungkapnya.

Keseriusan dari pemerintah itu nampak dari perencanaan alokasi dana pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan Tahun 2021.

“Saya meyakini jika jeli dan mau berupaya keras untuk menggali dan mengelola potensi wisata yang ada, maka akan ada kemajuan dalam mengembangkan potensi wisata di kabupaten Kubu Raya. Berkat kerja keras semua pihak, ekowisata Telok Berdiri masuk dalam nominasi Anugerah Pariwisata Indonesia 2021,” kata Iping tanpa merinci berapa alokasi dana dan proyeksi kegiatan guna pengembangan kawasan wisata tersebut.

*Artikel ini merupakan bagian dari “Story Grant Peliputan Lingkungan Hidup” yang diadakan Ekuatorial dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ),  pertama kali terbit di Pontianak Post edisi cetak dan daring pada tanggal 4 September 2021.

About the writer

Haryadi is a photojournalist for the print for the Pontianak Post (West Kalimantan). He started his photojournalist career in 2012, and has since been capturing various interesting events through his lens....

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.