Deretan perahu ketinting mengapung di muara sungai di Desa Toseho, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Kamis, 29 Juli 2021. Perahu nelayan ini dalam kondisi tertambat. Sekitar 700 meter ke arah Selatan, berdiri delapan unit rumah warga dalam kondisi tidak terawat. Sebagian masih berdiri kokoh dan sisanya sudah rata dengan tanah.

Menurut Kepala Desa Toseho, Taufik Khalil, ke delapan rumah warga Desa Toseho ini ditinggal kosong karena sering dihantam banjir rob setiap tahunnya. Warga desa pesisir yang dikenal sebagai kampung tua Toseho tersebut terpaksa pindah sejauh 2 kilometer dari pantai.

“Migrasinya penduduk ini dimulai sejak tahun 1997. Kemudian pada 2001, banjir rob terparah terjadi lagi dan membuat kurang lebih 400 jiwa lebih memilih mengungsi. Hingga sekarang, kurang lebih 900 jiwa sudah keluar dan pindah ke kampung baru Toseho,” kata lelaki 29 tahun itu.

Letak kampung tua Toseho berhadapan langsung dengan laut dan membelakangi hamparan Hutan Mangrove yang berada di pesisir kecamatan setempat.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, luas tutupan Hutan Mangrove Indonesia pada 2020 mencapai 3.490.000 hektare atau 21 persen dari total luas tutupan hutan mangrove di dunia. Dari luas ini, sebanyak 2.673.548 ha dalam kondisi baik dan 637.624 ha lainnya dalam kondisi kritis.

Badan Perencanaan dan Penelitian Pengembangan Pembangunan Daerah atau Bapelitbangda Kota Tidore Kepulauan mencatat, luas Hutan Mangrove di Tidore Kepulauan sebesar 1.729 ha atau 0,0495 persen dari luas mangrove nasional. Luasan tersebut tersebar di tujuh pulau, yaitu Pulau Tidore seluas 14,18 ha, Pulau Maitara 4,51 ha, Pulau Mare 11,88 ha, Pulau Woda 47,56 ha, Pulau Raja 15,92 ha, dan Pulau Guratu 37,43 ha. Sisanya di wilayah Halmahera bagian Tengah sebesar 1.597,52 ha.

Taufik bilang, hutan mangrove di desanya memiliki peranan yang sangat penting. Karena menjadi tempat hidup dan berkembangnya siput popaco yang dapat dijadikan lauk untuk konsumsi harian dan sumber pendapatan masyarakat.

“Karena ada orang dari desa lain selalu datang mencari bia (siput) popaco di sini (Desa Toseho),” katanya.

Disamping itu, lanjut Taufik, tanaman mangrove juga dimanfaatkan sebagai keperluan makanan ternak kambing dan bahan pengobatan tradisional.

Ramli Abdullah, biang (tetua) Desa Toseho mengaku, selalu mengambil tanaman mangrove di sekitar Kampung Tua Toseho untuk keperluan pembuatan obat. Karena disitu terdapat berbagai jenis tanaman mangrove yang telah dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional secara turun-temurun, ujar perempuan 60 tahun yang memperoleh pengetahuan pengobatan itu dari orang tuanya.

“Dari kecil saya sudah lihat papa (ayah) menggunakan mangrove untuk pengobatan, selain itu nenek saya juga seorang biang desa yang selalu melakukannya,” tutur perempuan yang akrab disapa Mama Li ini, ketika disambangi di rumahnya, Kamis, 29 Juli 2021.

Ia menceritakan, selama ini mangrove digunakan sebagai bahan obat untuk beberapa penyakit, di antaranya sakit perut, keseleo, mengembalikan fungsi indera pengecap, dan membersihkan darah nifas selesai bersalin.

Karena kemanjurannya, pemanfaatan mangrove sebagai bahan pengobatan tradisional masih tetap dipertahankan sampai sekarang.

“Apabila ada perempuan selesai melahirkan, saya selalu menyarankan untuk mengambil akar posi-posi (nama lokal dari Sonneratia alba) dan dicelupkan ke dalam air untuk diminum. Ini dilakukan untuk membantu membersihkan darah nifas,” katanya.

Penelusuran kieraha.com menemukan, pemanfaatan mangrove sebagai bahan pengobatan tradisional tidak hanya ditemukan di Desa Toseho. Kebiasaan serupa juga dapat dijumpai di desa-desa pesisir lainnya di sekitar Hutan Mangrove, seperti Desa Lola, di Kecamatan Oba Tengah, Kota Tidore Kepulauan.

Dari penelusuran diketahui bahwa masyarakat biasanya mengambil bagian tertentu, seperti kulit batang, akar, buah, maupun daun untuk bahan dasar obat-obatan. Cara penggunaannya yang berbeda, ada yang direbus dengan air hingga mendidih, bisa juga hanya dicelupkan, atau bahkan langsung dikonsumsi.

Mashud Hamid, warga Desa Lola menyatakan, mangrove digunakannya untuk mengobati sakit asma. Menurut penuturannya, penyakit asma yang dideritanya hilang setelah rutin mengkonsumsi air rebusan dari tanaman mangrove.

“Bahan obat (dari tanaman mangrove) ini sudah dipakai sejak saya masih duduk di bangku Kelas II SMP,” kata pria berusia 27 tahun ini.

Waktu itu, lanjut Mashud, penyakit tersebut membuat ia kesulitan dalam menjalani aktivitas normal bersama teman sebayanya. Penduduk desa setempat kemudian menyarankannya untuk mencoba pengobatan dengan air rebusan Sonneratia alba, jenis mangrove yang yang juga dikenal sebagai perepat atau pidada.

“Alhamdulillah sekarang saya tidak lagi merasakan sakit,” katanya.

Selain dirinya, kata Mashud, sebagian besar masyarakat di desanya juga masih memanfaatkan tanaman mangrove sebagai obat. Kebiasaan tersebut dipengaruhi karena rutinitas masyarakat masih bergantung pada alam di sekitar, seperti berkebun dan melaut. Selain itu, karena pemanfaatannya tidak membutuhkan biaya.

“Karena tanaman mangrove tidak tumbuh di semua tempat, maka mangrove ini menjadi berkah tersendiri,” tambahnya.

Antioksidan alami

Terkait pemanfaatan mangrove sebagai bahan pengobatan, beberapa hasil penelitian ilmiah menunjukkan potensi tersebut. Salah satunya, penelitian oleh Ali Ridlo, Rini Pramesti, Koesoemadji, Endang Supyantini dan Nirwani Soenardjo dari Departemen Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang tahun 2017.

Mereka menemukan sejumlah senyawa antioksidan alami seperti senyawa flavonoid, polifenol, tanin, senyawa fenolat, klorofil, karotenoid, terpenoid, dan alkaloid pada ekstrak daun Rhizophora mucronata atau yang lebih dikenal sebagai bakau kurap. Senyawa antioksidan itu berfungsi untuk menangkal radikal bebas penyebab kanker.

Secara spesifik, dalam penelitian tersebut, daun bakau kurap ini diekstrak menggunakan larutan etil asetat, metanol, dan heksana. Pada ketiga ekstraktor tersebut, metanol memiliki nilai IC50 (konsentrasi yang dapat meredam 50 persen radikal bebas) paling kecil. Artinya ia memiliki aktivitas antioksidan paling kuat bila dibandingkan yang lainnya. Sehingga senyawa tersebut mampu meredam aktivitas radikal bebas dan mengubahnya menjadi radikal bebas baru yang kurang reaktif dan kurang berbahaya.

Sebelumnya, penelitian Hery Purnobasuki dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Airlangga Surabaya pada 2004 berjudul, “Potensi Mangrove Sebagai Bahan Tanaman Obat”, mengidentifikasi jenis-jenis tanaman mangrove di Indonesia yang memiliki potensi untuk pengobatan. Hery menyebutkan, sebagian besar bagian dari tumbuhan ini bermanfaat sebagai obat.

“Ekstrak dan bahan mentah dari mangrove telah dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir untuk keperluan obat-obat alami,” tulis Hery dalam penelitiannya.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Tidore, Rusni Abdullah menjelaskan, radikal bebas merupakan salah satu faktor predisposisi yang membuat sel menjadi abnormal. Dalam tubuh manusia, sel ini selalu bertarung dengan sel normal. Jika pertarungan antara keduanya dimenangkan oleh sel abnormal, maka dapat menjadi pemicu kanker pada tubuh manusia.

“Antioksidan berfungsi untuk mencegah hal itu terjadi,” begitu kata Rusni ketika dikonfirmasi kieraha.com di Tidore, Jumat, 13 Agustus 2021.

Rusni menambahkan, sejumlah hasil penelitian ilmiah terhadap senyawa antioksidan alami dalam tanaman mangrove menunjukkan bahwa tanaman ini memang memiliki peran yang baik bagi tubuh. Namun, apabila penggunaannya tidak ditakar sesuai kadar yang tepat justru akan berdampak negatif.

“Kadarnya berapa, ia ketika diminum memberi efek ke organ yang lain atau tidak, itu yang menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi kita semua untuk meneliti lebih lanjut,” tutur Rusni.

Peran unik mangrove

Pakar mangrove dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Lingkungan IAIN Ternate Muhamad Matdoan, mengatakan, di beberapa lokasi yang pernah ditelitinya, seperti di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan dan Desa Gamaf, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, masyarakat yang hidup berdampingan dengan tanaman mangrove, sering memanfaatkan tumbuhan tersebut untuk kepentingan pengobatan.

Umumnya, jenis mangrove yang dimanfaatkan seperti nyiri (Xylocarpus granatum), putut (Bruguiera gymnorrhiza), bakau kurap, dan perepat.

“Memang untuk pemanfaatan ini (pengobatan) diambil dalam jumlah yang kecil, tapi apabila secara terus-menerus juga akan mengancam ekosistemnya,” kata Matdoan di Ternate, Rabu 4 Agustus 2021.

Pria yang aktif meneliti mangrove sejak 2004 ini menjelaskan, keberadaan tanaman ini di pesisir memiliki peranan yang sangat penting. Ia dapat menjaga keberlangsungan jalinan interaksi dan asosiasi berbagai macam organisme yang hidup di sekitarnya. Apalagi, tidak ada tanaman lain yang dapat menggantikan perannya sama sekali dan dapat bertahan hidup di wilayah dengan kadar salinitas tinggi.

Masyarakat, lanjut Matdoan, harus mengetahui peranan penting tersebut. Karena, selain memberikan kontribusi pangan dan pengobatan, mangrove juga mempunyai andil besar sebagai benteng pertahanan alami dari ancaman abrasi dan erosi pantai, angin kencang, ombak, bahkan tsunami. Dengan terbangunnya kesadaran itu, keberlangsungan hidup ekosistem mangrove bisa terselamatkan.

“Pemerintah juga berkewajiban untuk mengantisipasi potensi kerusakan mangrove, kalau tidak luas hutan mangrove akan terus menyusut,” tambahnya.

Laporan Global Mangrove Alliance (GMA) pada tahun 2021, menyebutkan, hutan mangrove terbentuk dari berbagai pohon dan semak yang memiliki ragam cara adaptasi untuk bisa hidup di lingkungan yang menantang—sebagian laut, sebagian darat—dari zona intertidal. Hutan mangrove adalah rumah bagi beraneka ragam fauna, termasuk 341 spesies yang terancam secara internasional, mulai dari harimau hingga kuda laut. Struktur dan produktivitas hutan mangrove memungkinkannya untuk mendukung perikanan yang berlimpah.

“Penelitian terbaru memperkirakan bahwa, di banyak negara, lebih dari 80% nelayan skala kecil bergantung pada hutan mangrove, dan terdapat lebih dari 4,1 juta nelayan hutan mangrove secara global — masing-masing mendukung sebuah jaringan atau komunitas ketergantungan,” tulis GMA dalam laporan berjudul The State’s Of The World Mangroves 2021.

Selain itu, menurut laporan GMA, karena terletak di area pertemuan laut dan darat, hutan mangrove dapat mengurangi banjir dan berfungsi sebagai pelindung alami dari hantaman ombak dan angin. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai bendungan permeabel, yang meredam gelombang badai dan mengurangi kerusakan. Diperkirakan hutan mangrove mencegah kerugian senilai 65 miliar dollar AS lebih di bidang properti dan mengurangi risiko banjir bagi sekitar 15 juta orang setiap tahun.

Rahmawati, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tidore Kepulauan, mengatakan bahwa dengan mengacu pada data tersebut, DLH melakukan rehabilitasi Hutan Mangrove seluas 26,29 ha dengan cara menanam kembali 144.625 anakan mangrove di Desa Togeme, Desa Lola, Desa Tauno, dan Desa Loleo, Kecamatan Oba Tengah pada 2019.

“Jadi mereka (masyarakat) yang tanam, mereka juga yang menjaganya,” ujar Rahmawati, begitu disambangi, di Kantor DLH Tidore, Kamis, 12 Agustus 2021.

Sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau yang dikelola DLH, lanjut dia, rehabilitasi kawasan hutan mangrove harus didukung dengan upaya perawatannya.

Hasil evaluasi DLH terhadap program penanaman sebelumnya, menemukan sekitar 20 persen anakan mangrove yang ditanam tidak dapat tumbuh akibat hantaman ombak. Sehingga dilakukan penanaman kembali pada tahun 2020.

“Karena yang ditanam sebelumnya tidak tumbuh semua, maka harus disulam kembali,” tambahnya.

Telah terbukti, lanjut Rahmawati, selain sebagai bahan pengobatan, penahan abrasi pantai, ombak dan tsunami. Mangrove juga menjadi habitat berbagai hewan laut dalam mencari makan. Jika kelestariannya terjaga, maka akan sumber kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Terutama di sektor perikanan.

*Artikel ini merupakan bagian dari “Story Grant Peliputan Lingkungan Hidup” yang diadakan Ekuatorial dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ),  pertama kali terbit di kieraha.com pada tanggal 8 September 2021.

About the writer

Apriyanto Latukau

Apriyanto Latukau has been active in journalistic activities since 2018 when he involved in Trotoar, a weekly media initiated by SAMURAI Maluku Utara, a student organization in North Maluku. He joined...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.