Invasi budaya asing dan arus modernisasi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Berjamurnya kafe dan restoran yang menyajikan makanan cepat saji dan menu internasional perlahan menggeser keberadaan makanan lokal yang penuh gizi dan kaya rempah. Padahal dengan mengkonsumsi makanan lokal, kita turut menjaga kelestarian tradisi kuliner Nusantara dan melindungi warisan budaya dan alam Indonesia.

Kondisi ini mendorong Charles Toto, koki asal Papua, untuk menciptakan resep-resep masakan berbahan baku lokal. Sebagai putra asli Papua, Charles terpanggil untuk ikut melestarikan tradisi nenek moyang melalui kuliner Papua yang kian tergerus zaman. Menyajikan makanan khas Papua, seperti sagu yang seringkali dicap kampungan, justru membawanya keliling dunia.

Tidak seperti koki-koki pada umumnya yang memasak di dapur restoran, Charles Toto justru memasak di hutan. Chato–sapaan akrabnya–mencari bahan-bahan makanan langsung dari hutan dan menggunakan perlengkapan masak ramah lingkungan agar tidak menambah sampah. Ia juga seringkali mengolah makanan dengan bakar batu, cara masak tradisional Papua yang masih menjadi tradisi turun temurun masyarakat adat di Bumi Cenderawasih.

Melalui sajian khas Papua yang bahannya langsung diambil dari alam, Charles juga ingin menyampaikan pesan tentang pentingnya keberadaan hutan sebagai sumber penghidupan. Hutan menyediakan apa yang manusia perlukan untuk bertahan hidup. Pengolahan makanan dengan cara tradisional juga menjadi bagian dari identitas budaya orang Indonesia yang harus terus dilestarikan.

Untuk mengetahui bagaimana Charles Toto memulai karirnya sebagai koki dan perjalanannya untuk melestarikan lingkungan dan budaya melalui kuliner tradisional, The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) melakukan wawancara dengan sosok yang dikenal sebagai “Jungle Chef” ini pada Rabu, 29 September 2021. 

Bagaimana awal mula Anda tertarik pada tata boga?

Awal mula mengenal dunia tata boga sendiri dari mama. Saya melihat apa yang biasa dilakukan mama ketika memasak karena  dulu beliau bersekolah di sekolah gadis, sekolah khusus perempuan di Papua. Di sekolah itu, perempuan diajarkan berbagai keahlian yang dapat berguna saat berumah tangga, seperti memasak.  Saya sendiri bersekolah di SMK 1 Jayapura jurusan tata boga pada 1993 dan lulus pada 1996.

Pada 1997, saya mulai bergabung dengan travel agent dan ditunjuk sebagai tukang masak untuk tamu yang melakukan perjalanan ke pedalaman Papua. Lokasi yang sering dituju seperti Wamena, Asmat, Biak, Yapen, Manokwari, dan Raja Ampat, sehingga saya lebih banyak memasak di hutan atau di wilayah suku terasing di Papua. Setelah bekerja dari 1997 sampai 2008, saya terdorong untuk membentuk komunitas masak yang memanfaatkan bahan-bahan makanan langsung dari alam.  

Ada cerita menarik dibalik julukan “Jungle Chef”?

Jungle chef itu sebenarnya julukan dari bos saya dulu. Mereka memberikan julukan itu karena aktivitas memasak saya lebih sering dilakukan di hutan, pantai, dan tempat wisata.

Bagaimana Anda memulai memasak menggunakan bahan-bahan dari hutan?

Ketika melakukan perjalanan ke objek wisata, kami lebih sering menggunakan bahan makanan kalengan atau makanan siap saji untuk tamu. Namun, saya menyadari kemasan bahan makanan yang kami bawa justru menghasilkan sampah baru di hutan. Dari kegelisahan itu, saya mencari cara bagaimana agar aktivitas memasak tidak menambah sampah. Sebagai langkah awal, sampah habis pakai makanan siap saji itu seringkali saya gunakan untuk wadah memasak, misalnya menggunakan kaleng ikan tuna sebagai wadah untuk membuat adonan roti sagu. Kemudian, saya mencoba untuk memanfaatkan bahan makanan yang bisa langsung diambil dari alam untuk memasak. Dari pengalaman tersebut, saya memutuskan untuk tetap konsisten menerapkan konsep memasak yang ramah lingkungan sampai sekarang.

Apa perbedaan masak di restoran dan di hutan?

Kalau di dalam hutan, kami dituntut kreatif. Hal itu berbeda ketika memasak di restoran karena ada standar tertentu yang harus diikuti, seperti lebih mengutamakan resep masakan dari luar negeri. Jarang sekali makanan lokal bisa masuk dalam sajian utama. Sementara untuk memasak di hutan, kami menciptakan resep sendiri yang dikombinasikan dengan nuansa lokal untuk makan pagi, siang, dan malam. Seperti untuk menu sarapan, kami menyajikan sagu (makanan khas Papua) yang ditambahkan keju dan daging. Kami adalah peramu yang menentukan resep sendiri untuk tamu.

Pengalaman Anda melakukan penelusuran di hutan dengan memasak. Bagaimana kondisi hutan di Papua saat ini?

Banyak area hutan sudah menjadi ruang publik – ruang untuk sekelompok orang untuk kepentingan ekspansi bisnis, industri, dan ahli fungsi lahan. Fungsi hutan yang dulunya menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat adat sudah bergeser dengan munculnya perkebunan sawit. Akibatnya, tatanan hidup masyarakat ikut berubah. Mereka kehilangan sumber daya alam dan sumber makanan.

Sepanjang Anda melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Papua banyak melihat perkebunan sawit?

Sebelum banyak perusahaan besar masuk ke Papua, kami sering melakukan perjalanan wisata alam dengan bebas dari Merauke sampai ke Boven Digoel. Kelestarian alam dan hutan di sana masih sangat terjaga. Namun, kondisinya saat ini sudah berbeda. Kami tidak bisa lagi mengunjungi wilayah yang biasa kami jadikan destinasi wisata alam karena sudah dikelola oleh perusahaan, sehingga area tersebut hanya boleh diakses oleh kelompok-kelompok tertentu.

Ketika area hutan semakin sempit, eksplorasi kuliner dan ruang hidup juga terganggu?

Kami pernah melakukan pemetaan untuk mengetahui wilayah mana saja yang sudah dikuasai perusahaan pengelola hutan. Dari temuan kami, hutan semakin sempit karena terus dieksploitasi. Sebagai bagian dari masyarakat Papua yang sangat bergantung pada hutan, saya menyadari bahwa hutan adalah sumber penghidupan. Jika hutan terus dibabat, tentu tatanan hidup masyarakat Papua juga akan ikut berubah. Hutan menyediakan segala sesuatu yang kita perlukan untuk bertahan hidup. Nilai itu yang saya junjung sebagai seorang koki yang dijuluki sebagai “Jungle Chef”. Bagi saya, hutan adalah pasar bagi orang Papua tanpa harus mengeluarkan uang. 

Apa saja kuliner khas Papua yang belum diketahui oleh masyarakat Indonesia?

Banyak sajian tradisional Papua yang belum diketahui orang. Makanan tradisional seringkali diberikan stigma kampungan. Orang Papua sendiri tahu tentang kuliner tradisional mereka, tetapi banyak yang tidak mau merawat resep turun temurun nenek moyang karena stigma negatif itu. Akibatnya, resep asli daerah tidak banyak dikenal masyarakat. Misalnya saja, resep ikan kuah hitam di Teluk Youtefa, ada juga resep olahan kerang yang dikombinasikan dengan sagu, dikukus dan dimasak dalam bambu. Resep unik lainnya, sayur kerudu yang dibuat dari daun melinjo. Ketiga resep itu adalah contoh resep otentik asal Papua yang sudah jarang disajikan.

Saat ini telah terjadi degradasi pola makan dan konsumsi yang membuat makanan Papua tidak banyak diminati, bahkan oleh warga Papua sendiri. Saya pikir arus globalisasi dengan masuknya makanan luar daerah ke Papua cukup mempengaruhi. Contohnya saja saat swasembada beras di Papua, tatanan dan ruang hidup masyarakat Papua ikut berubah karena pada dasarnya makanan utama orang Papua bukan nasi.

Apa saja kendala memasak di hutan?

Bagi orang awam yang belum pernah memiliki pengalaman memasak di hutan, mungkin mereka berpikir akan banyak tantangannya, seperti bagaimana membuat api dan lokasi yang jauh dari permukiman penduduk. Bagi saya pribadi, kendalanya hanya cuaca. Jika hujan, kami kesulitan mencari kayu bakar dan bahan-bahan untuk memasak karena kami mengambilnya langsung dari hutan.

Tantangan yang dihadapi untuk melestarikan kuliner Papua?

Tantangan terbesarnya itu mengubah mindset. Itu sebenarnya menjadi tanggung jawab kita bersama. Saya selalu berbagi pengalaman dengan anak-anak muda yang saya temui untuk lebih mencintai makanan lokal. Makanan lokal seperti sagu dan umbi-umbian bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup kita, tetapi juga bagian dari budaya dan identitas kita. Jika semakin banyak orang Papua yang tidak lagi makan sagu, kita seharusnya merenungkan kembali jejak budaya dan sejarah kebiasaan nenek moyang kita dulu yang kini mulai ditinggalkan.

Bicara anak muda di Papua. Bagaimana mengajak mereka terlibat untuk menjaga alam serta menginisiasi kuliner berbahan alam hutan Papua?

Saya selalu mengambil contoh diri sendiri. Beberapa chef terkenal di dunia datang dari jauh untuk belajar mengenal dan memasak makanan lokal Indonesia. Saya berkesempatan untuk keliling dunia seperti ke Italia, Amerika Serikat, Belanda, dan negara lainnya karena saya memperkenalkan kuliner lokal Papua. Kuliner Papua punya ciri khas yang tidak ditemukan di belahan dunia mana pun. Dengan memasak makanan kampung yang dianggap kampungan, saya malah bisa keliling dunia. Kita harus bergantung pada bumi di mana kaki kita berpijak.

Bagaimana membuat makanan khas Papua dapat se-populer makanan daerah lain?

Memang racikan bumbu makanan khas Papua tidak sekaya wilayah lain di Indonesia. Namun, kami punya cara masak yang berbeda karena kami bergantung pada alam. Salah satunya memasak dengan cara bakar batu. Kami menggali lubang untuk masak, kemudian bagian pinggirnya dikelilingi rumput. Batu-batu berukuran besar yang sebelumnya telah dipanaskan di atas bara api ditumpuk dengan rapi.

Setelah itu, bahan makanan yang akan dimasak ditata di atasnya. Pada bagian bawah biasanya diletakkan umbi-umbian, selanjutnya sayuran dan daging. Setelah itu, semua bahan makanan ditutup lagi dengan batu panas dan daun pisang sampai matang.  Saat memasak daging, minyak yang keluar dari daging pada lapisan teratas menetes ke sayur dan umbi justru menambah cita rasa. Bagi saya, cara memasak dengan bakar batu itu keren! 

Bagaimana masa depan kuliner dan hutan Papua di masa yang akan datang?

Saya optimis akan lebih banyak orang yang mencari dan menunggu kesempatan untuk bisa menikmati kuliner khas Papua. Harapan saya, hutan dapat menjadi restoran sekaligus ruang hidup bagi kita. Menjaga kelestarian alam dan makanan tradisional adalah bagian penting untuk masa depan Papua.

Sampai kapan Anda akan memasak dengan bahan alam Papua?

Saya akan terus memasak selama hutan masih ada, selama hutan tidak habis dibabat oleh orang kaya dan perusahaan besar. Semua orang butuh hutan karena di dalamnya ada sumber penghidupan. Hentikan pemberian izin kepada perusahaan yang hanya mengeksploitasi hutan untuk kayu dan sawit.

Untuk ke depannya, saya juga berharap lebih banyak anak-anak muda yang mau belajar tentang asal-usul budaya dan makanan tradisional kita. Tradisi nenek moyang dalam sajian tradisional harus terus dilestarikan sebagai bagian dari identitas kita.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.