Selain mengancam rumah orangutan Tapanuli, pemerhati lingkungan mengatakan PLTA Batang Toru berpotensi membuat ribuan warga kehilangan mata pencaharian, tingkatkan risiko bencana.

Pembangunan pembangkit listrik tenaga air di Sumatera telah mengancam mata pencaharian masyarakat desa setempat, meningkatkan risiko bencana juga mengancam habitat orangutan Tapanuli, sub-spesies orangutan paling langka di dunia.

Kekhawatiran terhadap proyek itu sudah mengemuka sejak 2019, yang kemudian dikaitkan dengan kematian seorang aktivis yang telah mengajukan gugatan terhadap proyek tersebut.

Pembangkit listrik tenaga air Batang Toru ini kini sedang dibangun di kawasan hutan Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Proyek ini memiliki total investasi lebih dari 21 triliun rupiah Indonesia (USD 1,6 miliar) dan pada awalnya direncanakan sebagai bagian dari Belt Road and Initiative (BRI) China.

Tahap prakonstruksi dimulai pada 21 Desember 2015 setelah penandatanganan perjanjian jual beli listrik antara PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN).  

Pembangkit ini dibangun NSHE bekerja sama dengan Sinohydro, sebuah perusahaan rekayasa dan konstruksi China.

Proyek ini awalnya didanai oleh Bank of China, yang kemudian mengumumkan peninjauan setelah menerima sejumlah keberatan dari para pecinta lingkungan. Doni Latuparisa, Direktur Eksekutif kelompok lingkungan WALHI (Friends of the Earth) Sumatera Utara, mengatakan: “Pada 2019 Bank of China menghentikan pendanaan proyek ini.”

Baik dia maupun pemerhati lingkungan lokal lainnya tidak tahu siapa yang sekarang mendanai proyek tersebut, dan konstruksi kini terus berlanjut.

Seluruh populasi global orangutan Tapanuli – spesies orangutan paling langka di Bumi – terbatas di wilayah kecil Sumatera ini. Populasinya sekarang diperkirakan kurang dari 800 individu. “Jika proyek ini terus berlanjut, hewan-hewan ini akan semakin terancam punah,” kata Latuparisa.

Orangutan Tapanuli dipastikan menjadi spesies yang berbeda hanya pada tahun 2017. Sekarang, proyek pembangkit listrik tenaga air Batang Toru mengancam untuk mengambil habitatnya.

Pembangkit listrik ini memiliki kapasitas yang direncanakan sebesar 510 MW dan terletak di Sungai Batang Toru. Daerah yang kemungkinan terkena dampak meliputi tiga kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan: Sipirok, Marancar dan Batang Toru. Tiga kecamatan itu meliputi 17 desa.

Direncanakan akan ada reservoir seluas 66 hektar di belakang bendungan. “Perusahaan akan membendung air selama 18 jam dan membuka [gerbang] air selama enam jam. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem. Selama 18 jam Sungai Batang Toru akan mengering dan selama enam jam akan meluap dan berpotensi banjir,” kata Latuparisa.

Risiko longsor

Kekhawatiran akan dampak pembangunan di lereng bukit dapat terlihat jelas. Saat Third Pole berkunjung ke Tapanuli Selatan pada akhir April 2021, beberapa rambu peringatan longsor terlihat di pinggir jalan.

Beberapa hari kemudian, tanah longsor menyapu sebuah kedai kopi di Desa Wek I, berdekatan dengan lokasi proyek PLTA Batang Toru dan menewaskan sedikitnya sembilan orang.

Salah satu korban adalah seorang pekerja asal China yang merupakan karyawan NSHE. Sebuah pernyataan resmi dari pemerintah provinsi Sumatera Utara mengatakan 13 orang hilang dalam tanah longsor.

NSHE menyangkal bahwa bencana itu terkait dengan proyek dengan cara apa pun. “Perlu ditegaskan bahwa kejadian ini merupakan bencana alam,” kata Firman Taufick, Direktur Komunikasi dan Eksternal PT NSHE.

Tapi pertanyaan lain tetap muncul. Pasalnya, daerah Tapanuli Selatan, khususnya Batang Toru, merupakan kawasan yang rawan longsor, demikian hasil penelitian yang dipublikasikan pada 2019 lalu.

“Sejak awal proses pembangunan, WALHI Sumut khawatir proyek tersebut akan menimbulkan bencana di kawasan hutan Batang Toru,” kata Roy Lumbangaol, manajer kampanye WALHI Sumatera Utara.

Teuku Abdullah Sanny, ahli geologi dan geofisika Institut Teknologi Bandung, mengatakan pembukaan lahan yang diperlukan untuk bendungan akan memperparah tanah longsor.

“Begitu lahan dibuka, di mana pohon ditebang dan dirobohkan, tanah langsung bersentuhan dengan udara. [Bila] hujan, air akan terserap ke dalam tanah; akibatnya tanah mengembang, akibatnya mengurangi daya ikat tanah,” katanya kepada The Third Pole.

Wilayah ini juga sangat rawan gempa, menimbulkan kekhawatiran seputar keamanan bendungan. Ekosistem Batang Toru terletak di Sesar Sumatera, bagian dari Cincin Api Pasifik. Sejak tahun 1919, telah terjadi 947 gempa bumi di Aceh dan Sumatera Utara.

Sejak tahun 1965, 60 gempa bumi telah terjadi dalam radius 25 km dari lokasi bendungan yang direncanakan. Pada tahun 2008, gempa bumi berkekuatan 6,0 skala Richter terjadi hanya 10 km di bawah permukaan bumi hanya 4,1 km dari lokasi bendungan.

Ada kekhawatiran akan terulangnya gempa Tapanuli 1892, yang berkekuatan 7,5-7,7 skala Richter dan melanda segmen Angkola di Zona Sesar Sumatera, dalam beberapa kilometer dari lokasi bendungan. Ada kekhawatiran bahwa bendungan itu bahkan bisa runtuh jika terjadi gempa.

Janji yang dilanggar dan mata pencaharian yang terancam

Ekosistem Batang Toru meliputi area seluas 141.749 hektar dan merupakan salah satu hutan utuh terakhir di Sumatera.

“Hutan Batang Toru adalah [sistem] penyangga kehidupan … hutan adalah ibu dari semua sungai … Tidak hanya penting bagi kehidupan manusia, tetapi juga spesies endemik dan dilindungi,” kata Onrizal, pakar kehutanan dan peneliti orangutan Tapanuli dari Universitas Sumatera Utara kepada Third Pole.

Sekitar 130.000 orang tinggal di daerah tersebut. Mayoritas adalah petani yang menanam karet, kopi, durian, aren, padi dan palawija seperti tomat, cabai dan sayur-sayuran.

Proyek PLTA tersebut telah mendapat izin operasi seluas 6.598,35 hektar; 669 hektar telah diperoleh dari masyarakat. Lahan seluas 447 hektar akan digunakan untuk pembangunan bendungan, areal quarry, spoil bank, powerhouse dan fasilitas pendukungnya.

Masyarakat lokal mengatakan NSHE membeli tanah masyarakat dengan harga murah selama pra-konstruksi pada tahun 2017. Perusahaan itu telah berjanji untuk membayar harga yang wajar dan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal, namun janji-janji itu tidak ditepati.

“Saya menyesal menjual tanah kami karena tanah kami semakin [semakin kecil], lahan yang tersisa kini semakin sempit untuk bertani,” kata Parsaulian Simanjuntak, warga Desa Aek Batang Paya, Dusun Gunung Hasahatan—desa mereka salah satu yang pertama mendapat janji dari perusahaan. 

Simanjuntak mengatakan, dia rela menjual tanahnya karena, katanya, untuk memenuhi kebutuhan listrik negara.

Seorang penatua desa itu juga merasa menyesal. 

“Setelah saya menjual tanah saya, uang yang saya terima dari perusahaan tidak cukup untuk membeli tanah di daerah lain,” kata Derlan Hutabarat, 65, yang menjual 10 hektar kepada perusahaan. Sekarang Hutabarat bertani di sisa-sisa tanahnya yang tinggal sedikit.

Beberapa warga desa yang ditemui Third Pole di desa mereka juga mengatakan perusahaan telah berjanji untuk membayar Rp 8.000 (sekitar USD 0,56) per meter persegi untuk tanah dengan tanaman berdiri dan Rp 5.000 per meter persegi untuk tanah bera.

Tapi, kata mereka, perusahaan membayar Rp 5.000 per meter persegi untuk lahan yang ditanami tanaman tegakan dan Rp 4.000 per meter persegi untuk lahan bera. Sebagian besar warga memiliki tanaman karet, gula aren, kopi dan kakao saat mereka menjual petak mereka.

Mendapat ancaman 

Menurut situs resminya, PT NSHE adalah konsorsium: 52,82% saham dimiliki oleh PT Dharma Hydro Nusantara, 25% oleh PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dan 22,18% oleh Fareast Green Energy Pte Ltd.

NSHE telah menyusun addendum AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebanyak dua kali sebagai syarat untuk pengembangan proyek, pada tahun 2014 dan 2016. Pertama untuk proyek pembangkit listrik dengan kapasitas 500 MW, sedangkan addendum 2016 adalah peningkatan kapasitas menjadi 510 MW. 

Dalam dokumen AMDAL 2016 yang dilihat oleh The Third Pole, perusahaan mengubah lokasi rencana tambang dari Desa Sitandiang di Kabupaten Sipirok menjadi Desa Marancar Godang dan Simaninggir di Kabupaten Marancar.

Perubahan ini diumumkan melalui Keputusan Gubernur, dan WALHI pergi ke pengadilan untuk menentangnya. “Perubahan tersebut akan meningkatkan deforestasi yang berdampak pada potensi bencana yang akan terjadi di kawasan rawan patahan Batang Toru,” kata Roy Lumbangaol, Manajer Kampanye WALHI Sumut.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan menolak tuntutan WALHI terhadap SK Gubernur Maret 2019. Para aktivis lingkungan itu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung namun kalah di sana.

Kemudian, pada 6 Oktober 2019, pengacara WALHI Golfrid Siregar meninggal dunia, tiga hari setelah ditemukan pingsan tengah malam di sebuah jalan layang di Kota Medan. Siregar mengalami luka serius pada mata, kepala, dan tangannya. Laptop, kartu identitas, ponsel, dan cincin kawinnya hilang.

Begitu lahan dibuka, di mana pohon ditebang dan dirobohkan, tanah langsung bersentuhan dengan udara. [Bila] hujan, air akan terserap ke dalam tanah; akibatnya tanah mengembang, akibatnya mengurangi daya ikat tanah.

Teuku Abdullah Sanny, ahli geologi dan geofisika Institut Teknologi Bandung

Polisi menilai insiden itu sebagai kecelakaan karena jatuh dari sepeda motornya. Namun, WALHI merasa ada kejanggalan terkait kematian Siregar dan diduga terkait dengan gugatannya terhadap NSHE.

“Kami menduga ini terkait dengan gugatan,” kata Lumbangaol. Human Rights Watch (HRW) juga menyerukan penyelidikan menyeluruh, mencatat bahwa Siregar telah menerima beberapa ancaman sejak gugatan awal diajukan pada 2018. 

“Sifat kematian Siregar dan ancaman yang dia terima menimbulkan banyak peringatan,” kata Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia di HRW.

“Semua yang peduli dengan lingkungan Indonesia akan mengawasi pihak berwenang untuk memastikan bahwa penyelidikan yang kredibel terjadi, dan bahwa setiap kejahatan yang terkait dengan kematiannya dituntut dengan tepat.”

Liputan in i pertama kali terbit di The Third Pole dalam Bahasa Inggris pada tanggal 3 September 2021 dan diterbitkan ulang dibawah lisensi Creative Commons. 

About the writer

Tonggo Simangunsong

Tonggo Simangunsong is a journalist based in Medan city, North Sumatra. His work has appeared in VICE, the South China Morning Post, Al Jazeera, New Naratif and DestinAsian, covering environmental issues,...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.