Memiliki keunikan dan beragam kekayaan hayati, Tanjung Binerean Desa Mataindo, Kecamatan Pinolosian Tengah, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), seolah menjadi salah satu tanah terpilih bagi burung maleo (Macrochephalon maleo) melangsungkan proses regenerasi.

Tingkat suhu matahari tertentu, hamparan pantai dan pasir, juga berbagai biotanya, menjadikan tempat ini begitu strategis bagi burung unik itu untuk bertelur.

Burung endemik yang hanya ada di sebagian Pulau Sulawesi ini, begitu istimewa. Keendemikannya bukan dari jenis spesies melainkan genus, karena merupakan satu-satunya burung di dalam genus tunggal Macrocephalon

Burung yang punya perilaku bertelur sangat berbeda dibanding dengan unggas lainnya ini merupakan salah dari dari lima satwa kunci di Sulut. Sayang, kini keberadaannya terancam punah. Hal ini kemudian menjadi perhatian serius dan salah satu alasan bagi Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program (IP) memilih Tanjung Binerean untuk dijadikan kawasan konservasi maleo.

WCS-IP merupakan lembaga konservasi, dibentuk tahun 1895 di New York, Amerika Serikat.  Di Indonesia, WCS mulai bekerja membantu pemerintah melestarikan kehidupan liar pada berbagai bentang darat dan laut negeri ini sejak tahun 1997, di bawah Nota Kesepahaman (MoU) dengan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dengan menggunakan dana yang dikelolanya, lewat beberapa jejaring, WCS masuk melakukan upaya konservasi maleo di Tanjung Binerean pada tahun 2007. Kemudian mereka bersinergi dengan Celebica, sebuah lembaga lokal yang dibentuk sejak 2009, yang memiliki visi misi pada penyelamatan satwa lindung terancam punah.

“Pada dasarnya kami memiliki tiga kerja utama: discover, protect, dan inspire. Kami berupaya menemukan berbagai satwa yang hampir punah, mempertahankan hingga melindungi mereka dari kemungkinan kepunahan itu, kemudian membawa pengaruh agar hal yang sama (konservasi) juga bisa dilakukan oleh orang lain. Biar upaya penyelamatan ini bisa turut dilakukan bersama-sama. Termasuk seperti yang kami lakukan pada Maleo di Binerean,” ucap  Biodiversity Conservation Officer, Alfons Patandung beberapa waktu lalu di site Maleo Binerean.

WCS hadir di Binerean tidak lepas dari perpanjangan tangan Celebica, karena segala ikhwal pemberdayaan dan pengelolaan ditangani langsung oleh Celebica, kecuali riset. Dengan kata lain, konservasi maleo di Binerean sepenuhnya dilakukan oleh Celebica dengan dukungan WCS, dan dijalankan dengan memberdayakan warga desa.

Komitmen konservasi ini kian diseriusi. Berdasarkan penelitian WCS, nesting ground (tempat bertelur) maleo di pantai, dari keseluruhan pantai selatan bagian utara Sulawesi – mulai pesisir Provinsi Gorontalo hingga Tutuyan, Bolaang Mongondow Timur di Provinsi Sulut, tinggal tersisa tiga titik.

Tiga titik ini ada di Desa Deaga, Desa Kombot, dan Desa Binerean. Namun, dua di antaranya dianggap sudah tidak mungkin bisa diselamatkan lagi. Alih fungsi lahan menjadi permukiman, perkebunan, dan wisata adalah pemicu utama mulai hilangnya titik-titik nesting ground ini.

Demikianlah mengapa Binerean menjadi pertahanan terakhir, rumah pengungsian beberapa satwa. Dan, tentu bagi maleo yang bertelur dengan memanfaatkan panas matahari pantai.

Untuk tetap mempertahankan tempat ini, WCS dan Celebica melakukan upaya pembebasan lahan. Lebih dari 100 hektare lahan perkebunan sekitar nesting ground telah dibeli.

“Pembebasan lahan ini dilakukan agar mengamankan habitat yang kian terancam, berubahnya fungsi hutan jadi kebun, permukiman, dan wisata. Untuk dananya, bisa dari mana saja, perseorangan atau organisasi yang peduli satwa,” ujar Lead WCS Indonesia Program – Sulawesi, Iwan Honuwu, yang juga merupakan pendiri Celebica.

Meski awalnya mendapat reaksi kurang baik dari warga desa, dengan  sosialisasi terus-menerus dan pendekatan persuasif, akhirnya Celebica mulai membuat warga desa, pemilik lahan perkebunan sekitar nesting ground paham tujuan upaya konservasi ini. Sehingga lahan yang sebelumnya hanya disewakan, pada akhirnya dijual dengan sendirinya ke pihak Celebica.

“Waktu itu kami curiga, karena kami belum tahu persis apa yang akan dilakukan oleh WCS dan Celebica. Kami mengira, mereka akan membuka tambang di Binerean, jadi saat itu dengan tegas kami tolak,” kata Kepala Dusun 3, Desa Mataindo, Gazali Basir, Kamis (16/9/2021).

“Tapi kini kami bersyukur, bisa merasakan langsung manfaat yang ditularkan oleh orang lembaga (WCS dan Celebica), desa mulai dikenal, keberadaan Maleo juga mulai meningkat,” aku Gazali.

Keterlibatan masyarakat lokal

Melibatkan penduduk desa dalam aktivitas konservasi, membuka pemahaman baru masyarakat sekitar tentang konservasi. Terlebih, setelah melakukan pembebasan lahan, Celebica tetap membiarkan para warga desa bisa memanen hasil kebun berupa kelapa, dengan ketentuan tidak mengganggu dan/atau membuat Maleo merasa terancam.

Waktu panen sebisa mungkin disesuaikan. Walau sudah masuk musimnya, panen tetap tidak bisa dilakukan jika bertepatan dengan musim bertelur terutama pada akhir Agustus hingga Mei. Dan menariknya, semua hasil panen dipergunakan untuk operasional dan segala ikhwal berkaitan dengan keberlangsungan pelestarian hidup maleo.

Untuk sistem olah perkebunan, Celebica mempercayakan keterlibatan warga desa dalam menangani langsung proses panen, sehingga tetap bisa membantu perekonomian warga.

“Saya awalnya adalah salah satu pemilik lahan perkebunan, dan saya memperhatikan, ternyata setelah dibeli Celebica lahan tidak digarap, melainkan hanya dibiarkan begitu saja, yang penting Maleo tidak terganggu,” kata Papa Aldi, warga desa yang kini diserahi tugas mengolah hasil kebun yang dibebaskan oleh Celebica.

“Sejak saat itu, saya mengerti dan akhirnya mau bersama-sama terlibat dalam menjaga Maleo. Apalagi, warga masih tetap bisa memanen hasil kebunnya, asal tidak mengganggu saja,” ujar Papa Aldi.

Pemahaman warga desa mulai terbangun, sosialisasi tentang pengetahuan, larangan, dan regulasi seputar satwa dilindungi gencar dilakukan. 

Orang tua dan anak-anak di desa diundang dalam pelepasan anak maleo dan membiarkan warga desa turut merasa memiliki burung unik ini. Mengubah kebiasaan dan membangun kesadaran mereka. Mengubah perilaku orang-orang yang sebelumnya menjadi pemburu telur maleo, beralih menjadi garda depan penjaga maleo di Binerean.

Hanafi, (49), misalnya. Dia menjadi pemburu telur maleo sejak berusia 12 tahun. Hanafi lihai mendeteksi di mana kemungkinan telur maleo berada. Berbekal pengalaman itu, dalam sehari Hanafi bisa mendapat 20 telur maleo. Bahkan, dalam sejarah terbaik perburuannya, Hanafi pernah mendapatkan 40 butir telur maleo. Telur yang didapat kemudian dijual di pasar atau ditukar dengan bahan makanan.

Namun semua itu tinggal cerita, kini Hanafi berhenti dari perburuannya, memilih bergabung bersama WCS dan Celebica, menjadi penjaga Maleo di Binerean. Tak hanya itu, Hanafi turut mengampanyekan maleo kepada warga desa lain. Tak jarang, Hanafi bersitegang dengan beberapa orang luar yang menurutnya melakukan aktifitas mengganggu maleo.

“Dulu hanya karena saya belum tahu saja, kalau mengambil telur Maleo itu dilarang. Setelah WCS datang dan kami di sini diberitahu, maka saya dan warga lainnya sudah tidak lagi berani mengambil telur,” ucap Hanafi.

Kebiasaan yang berlangsung sejak 2007 ini membawa Hanafi menjadi kunci perkembangan maleo dan satwa lain. Jika warga menemukan telur maleo, penyu, atau satwa yang ada di seputaran Binerean, mereka akan memberitahukan kepada Hanafi untuk kemudian ditindaklanjuti.

Perburuan telur maleo mulai berkurang, namun bukan berarti tantangan sudah selesai. Banyaknya perubahan kawasan lingkungan sekitar Binerean membuat habitat maleo tetap terancam. Banyak bagian hutan yang merupakan koridor maleo, berubah jadi lahan perkebunan.

“Yang jelas semuanya saling berkaitan, tidak bisa hanya tempat bertelur saja yang dijaga lalu mengabaikan habitat. Tidak bisa juga hanya menjaga tempat bertelur dan habitat, karena di lain kasus, ada habitat yang terpisah dari tempat bertelur, butuh koridor juga,” jelas Protected Area Specialists Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program-Sulawesi, Herman Teguh.

Menurutnya, harus ada kesama-rataan perhatian terhadap ketiga komponen penting ini, jika memang mempertahankan dan meningkatkan populasi maleo—tempat bertelur, habitat, dan koridor. Meski dalam fase kehidupan maleo, yang saat ini dititik-beratkan WCS adalah fase bertelur sampai menetas. Selain lebih ekonomis, fase ini lebih mudah dideteksi daripada fase menetas hingga dewasa. Karena dinilai sebagai sebuah seleksi alam, yang tidak bisa diintervensi oleh manusia.

Menjaga keberlangsungan

Upaya konservasi adalah cinta tanpa syarat, jika konservasi selama ini hanya diartikan sebagai melestarikan atau mempertahankan segala sesuatu yang ada di bumi, tentu yang bisa dimanfaatkan, maka orang konservasi bekerja tanpa harus melihat manfaat langsung ke manusia.

“Setiap makhluk dalam ekosistem terlibat rantai makanan, jika ada yang putus itu umum sekali. Selama ini maleo baru sebatas ada di titik kebanggaan saja, karena berbagai keistimewaannya, namun kita belum tahu pasti apa yang terjadi jika kelak satwa ini punah. Pasti seluruh ekosistem juga akan bermasalah,” tambah Herman.

Tak patah arang, WCS dan mitra lokalnya tetap teguh melakukan konservasi, termasuk mengkoordinasikan pentingnya keberadaan koridor dan Binerean sebagai ‘tanah’ bagi maleo ke pemerintah daerah.

Dalam perkembangannya, upaya ini mendapat respons cukup baik, tidak hanya oleh masyarakat tapi juga oleh pemerintah daerah. Berkat upaya tanpa putus WCS dan mitra, saat ini telah lahir Peraturan Bupati nomor 72 tahun 2018, tentang Penataan Kawasan Pengungsian Satwa di Koridor Bogani-Binerean. Bahkan, sebagai wilayah konservasi daerah, pemerintah mendorong lahirnya regulasi lebih kuat, yakni Perda yang saat ini penyusunannya sudah di tahap akhir.

Di tingkatan desa, pemerintah sedang menyusun peraturan desa terkait larangan untuk menebang pohon, dan berburu satwa di sekitar koridor. Lebih jauh, Binerean direncanakan untuk menjadi kawasan ekowisata.

Rencana ini, disambut positif oleh warga sekitar. Metode pemberdayaan yang diletakkan oleh WCS dan Celebica saat awal masuk, membawa berkah tersendiri bagi warga desa.

Dampak peningkatan populasi Maleo, bisa turut membawa keuntungan tersendiri bagi warga desa. Manfaat langsung bagi perekonomian jelas terasa.

“Kami digilir jadwal untuk masak, jika ada tamu datang berkunjung ke Binerean, yang diperkerjakan adalah warga desa,” kata Mama David, salah seorang warga yang mendapat giliran memasak di Site Maleo Binerean.

Segala urusan pemberdayaan ini, semua sepenuhnya diserahkan ke desa. Termasuk jika rencana pemerintah daerah menjadikan Binerean sebagai ekowisata terwujud.

Hidup berdampingan dengan maleo bukanlah pilihan kami. Kondisi ini dipilihkan langsung oleh Tuhan, sebagai sebuah anugerah…

IP, warga desa mataindo

Bagi WCS dan Celebica, ekowisata bukan menjadi kendala berarti selama wisata ini dianggap bersesuaian dengan ketentuan, apalagi guna melakukan penelitian. WCS bahkan memfasilitasi pengunjung melakukan riset selagi memenuhi syarat yang berlaku seperti membatasi jumlah kunjungan dan meminimalisir tindakan-tindakan yang memungkinkan mengganggu Maleo.

Tercatat, sejak melakukan konservasi, sudah sekitar 380 ekor anak maleo yang dilepasliarkan. Seperti rencana awalnya, WCS dan Celebica tetap kukuh berkomitmen meningkatkan populasi maleo, dan terlibat dalam penyelamatan koridor. Menjadikan Binerean sebagai stasiun riset. Digunakan untuk kepentingan sains, lalu bisa dimanfaatkan masyarakat meski secara terbatas.

Di Binerean, burung yang makan aneka bebijian, buah, semut, kumbang, serta berbagai jenis hewan kecil ini, mendapat perhatian khusus. Tak hanya jadi kebanggaan, oleh warga sekitar kini burung ini dianggap keberuntungan. 

Pengaruh konservasi ditularkan oleh WCS dan Celebica dengan begitu baik, mengubah atmosfer dan pola pikir warga lokal. Kini, sekira pun lembaga konservasi ini tidak ada lagi, warga secara sadar memilih tetap menjaga maleo, merawatnya sebagai suatu entitas yang tidak bisa dipisahkan lagi dari warga desa. Hidup berdampingan tanpa saling mengganggu dan membiarkannya memiliki tanah sendiri.

“Hidup berdampingan dengan maleo, bukanlah pilihan kami. Kondisi ini dipilihkan langsung oleh Tuhan, sebagai sebuah anugerah yang tanpa kami sadari sebelumnya justru membuat kami bisa lebih baik lagi sebagai makhluk hidup yang diberi kelebihan akal,” kata Ip, warga Desa Mataindo.

*Artikel ini merupakan bagian dari “Story Grant Peliputan Lingkungan Hidup” yang diadakan Ekuatorial dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), serta terbit pertama kali di Zonautara.com pada 3 Oktober 2021 .

About the writer

Ronny Buol

Ronny Adolof Buol is currently managing local media Zonautara.com and establishing Zonautara Networking, which is a syndicate of several local media in North Sulawesi. Previously, he spent 6 years working...

1 comment found. See comment
Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 comment

Leave a comment