Hampir setiap hari ratusan ekor ikan hiu dan pari diburu. Daging dan siripnya diperdagangkan demi memenuhi kebutuhan ekonomi. FAO menyebut Indonesia termasuk salah satu negara yang terlibat dalam perdagangan global hiu dan pari di dunia.

Hiu dan Pari merupakan ikan bertulang rawan (elasmobranch). Oleh karena itu, hampir semua bagian tubuhnya dapat dijadikan komoditas. Daging dan siripnya dapat dijadikan bahan pangan, mulai dari abon, bakso, sosis, hingga asinan (ikan asin).

Tulang dan kulitnya diekspor. Diolah menjadi bahan industri kerajinan kulit berkualitas tinggi, seperti ikat pinggang, tas, sepatu, jaket, dan dompet. Selain itu, gigi, empedu, insang juga dapat diolah untuk berbagai keperluan seperti bahan lem, ornamen, pakan ternak, bahan obat, dan lain-lain.

Tidak heran jika dua jenis ikan predator itu menjadi target perburuan demi cuan.

Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang aktif  memanfaatkan ikan hiu dan pari sebagai komoditi perdagangan. Aktivitas ini bisa kita lihat di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya.

Di sana, kita bisa menyaksikan puluhan bahkan ratusan ikan hiu dan pari didaratkan.  Di situ pula, ikan-ikan itu potong, dikuliti untuk diolah menjadi ikan asin atau asinan.    

Hari itu, Jumat, 20 Agustus 2021, waktu menunjuk pukul 05.30 WIB. Semburat cahaya matahari pagi mulai menampakan diri. Sebuah kapal nelayan bersandar di pangkalan pendaratan ikan yang dikelola oleh seorang pengusaha.

Sejumlah pekerja yang telah menunggu, bersiap membongkar hasil tangkapan nelayan itu. Seekor ikan pari jenis kemejan atau liong bun (Rhynchobatus springeri) sepanjang 1 meter dikeluarkan dari dalam palka kapal. Bau amis menyengat, menusuk hidung. Maklum, ikan-ikan itu bukan baru kemarin ditangkap, tetapi sudah berhari-hari bahkan hitungan bulan berada di dalam lambung kapal.

Satu, dua, dan tiga, ikan itu diangkat ke timbangan. Beratnya hampir 100 kilogram. Demikian juga ikan-ikan berikutnya. Dikeluarkan dari palka kapal dan ditimbang. Ironisnya, hampir semua ikan hiu dan pari yang dikeluarkan dari lambung kapal itu dalam keadaan tidak utuh. Sirip punggungnya hilang.

Ikan hiu dan pari yang sudah ditimbang, dikumpulkan terpisah berdasarkan jenis dan ukuran. Para pekerja kemudian mengambil jatah tugasnya masing-masing. Ada yang bertugas memotong bagian kepala, tubuh, ada juga yang bertugas menguliti.

Sebelum dipotong, hiu dan pari itu dikuliti. Setelah itu kulitnya dipisahkan dalam wadah tersendiri. Proses pengulitan hiu dan pari ini harus sangat hati-hati, karena jika salah sedikit saja, resikonya kulit akan rusak dan tidak bisa dijual.

Sedangkan tubuh hiu dan pari yang telah dikuliti, dipotong menjadi beberapa bagian. Potongan tubuh hiu dan pari itu kemudian dicuci hingga bersih. Selanjutnya dibaluri garam dan direndam di sebuah kolam yang sudah disiapkan, biasanya selama dua hingga tiga hari.

Potongan tubuh hiu dan pari yang telah direndam garam, kemudian dikeringkan di papan penjemuran. Jika cuaca bagus, proses penjemuran tidak memangkan waktu lama. Namun, jika cuaca tidak mendukung, proses pengeringan bisa memakan waktu hingga berhari-hari.

Stephanus (40), adalah salah satu pemilik pangkalan pendaratan ikan (PPI) di Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya itu. Usaha pengolahan asinan ikan hiu dan pari sudah ada sejak 30 tahun lalu. Sebelumnya dikelola oleh orangtuanya.

Menurut Stephanus, pangkalan ikan miliknya tersebut dulunya merupakan pangkalan ikan tangkap, seperti tuna, kakap, dan ikan-ikan lainnya. Namun, belakangan usaha itu beralih menjadi pengolahan ikan asin dengan bahan baku hiu dan pari.

Pari kemejan, adalah salah satu target buruan utamanya. Selain dagingnya banyak yang meminati, kulit dan tulangnya juga bisa manfaatkan untuk diekspor.

Dalam menjalankan usahannya itu, selain memiliki tempat sebagai pendaratan ikan pribadi, Sephanus juga memiliki 10 kapal penangkap ikan dengan rata-rata kapasitas di atas 8 Gross ton (GT). Meskipun demikian, dirinya juga menerima ikan hasil tangkapan dari nelayan lain. 

“Biasanya ada nelayan yang jual ikannya di tengah laut. Tapi juga sudah dalam kondisi tanpa sirip,” jelasnya.

Dalam satu bulan, Stephanus mengaku bisa mendaratkan ikan hiu dan pari antara 20 hingga 35 ton. Bulan Agustus 2021 misalnya, ia mendaratkan hiu dan pari sebanyak 24.365 kg atau 24,3 ton. Sedangkan pada September 2021, sebanyak 35.683 kg atau sekitar 35,6 ton.

“Tergantung musim. Biasanya kalau musim bagus, hasilnya juga bagus,” kata dia.

Stephanus mengaku, ikan asin hasil olahannya itu dipasarkan ke pasar lokal (di Kalimantan Barat, red.). Berbeda dengan kulit atau sirip, yang dijual ke beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Surabaya dan Semarang.

“Dari sana, diekspor ke luar. Seperti RRC atau Hongkong,” lanjutnya.

Untuk pasar lokal, kata Stephanus, harga jual asinan hiu dan pari antara Rp20 ribu hingga Rp30 ribu per kilogram. Sedangkan untuk kulit sekitar Rp20 ribu perkilogram.

“Selama pandemi ini, harga asinan turun hingga 50 persen. Dan pengiriman ke luar negeri pun disetop. Makanya banyak barang yang menumpuk di gudang,” bebernya.

Selain Stpehanus, ada Kinanto (46), yang memiliki usaha pengolahan ikan serupa.

Sama seperti Stephanus, produk asinan hiu dan pari miliknya itu, dipasarkan di sekitar Pontianak. Dijual di pasar trandisional. Tapi tidak jarang yang dijual ke luar kota, seperti Surabaya dan Jakarta.

Untuk daging hiu dan pari, dijual dengan kisaran harga Rp.25 ribu hingga Rp.30 ribu perkilogram. Tergantung harga pasaran.

“Kalau pas kebutuhan sedang naik, harganya bisa lebih mahal,” kata dia.

Selama ini, Kinanto tidak hanya mengolah daging hiu dan pari menjadi produk asinan. Ia juga memanfaatkan kulit dan tulang ikan tersebut.

“Kalau dulu yang laku dijual hanya sirip dan dagingnya. Tapi sekarang kulit dan tulangnya juga laku dijual. Pokoknya segala sesuatu, asal menghasilkan uang, jadilah,” katanya.

Kulit ikan hiu dan pari yang telah dikeringkan dijual kepada penampung. “Kalau kulit harganya tinggal belasan ribu saja (per kilogram, red.),” lanjutnya.

Kinanto menceritakan, sebelum pandemi, ia pernah menjadi agen pengumpul kulit hiu dan pari, untuk dikirim ke luar negeri. Terutama Hong Kong. Namun saat pandemi, pengiriman komoditas hiu dan pari ke luar negeri dihentikan.

“Dulu pernah dikirim ke Hong Kong, melalui agen di Surabaya. Permintaan di sana cukup tinggi. Tapi karena pandemi, disetop,” kata dia. “Sekarang, kalau tidak salah, diekspor ke Malaysia.”

Dikatakan Kinanto, sekali pengiriman kulit hiu dan pari, setidaknya ia membutuhkan dua hingga tiga ton. Namun, kata dia, untuk bisa mencapai kuota itu, butuh waktu setengah tahun.

“Sekali kirim minimal satu ton. Tapi untuk mengumpulkan sebanyak itu juga tidak gampang. Perlu setengah tahun. Karena perbandingannya satu ton bobot ikan, hanya sekitar 17 kg kulit yang dihasilkan,” bebernya.

Jumlah dan jenis tangkapan

Berdasarkan data Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak, dalam empat bulan terakhir, setidaknya ada 191,60 ton ikan hiu dan pari didaratkan di sana. Pada bulan Juni terdapat 36,7 ton, Juli  sebanyak 35,9 ton, Agustus 2021, 38,6 ton, dan bulan September 2021 sebanyak 80,5 ton.

“Angka itu diperoleh berdasarkan pendataan di empat PPI di sana. Yakni pangkalan milik Stepanaus, Kinanto, Au, dan Ameng,” ujar Muhammad Fikri Assidiq.

Fikri merupakan petugas yang dikontrak oleh BPSPL Pontianak. Ia bertugas melakukan pendataan ikan yang didaratkan di pangkalan pendaratan ikan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya.

Menurut Fikri, dari hasil pendataan selama empat bulan terakhir, terdapat beberapa jenis ikan hiu dan pari yang didaratkan oleh nelayan. Antaranya, hiu martil, bujit, cucut lanjaman, musing, belimbing, monas, tekek, dan bisu.

Sedangkan untuk jenis pari, di antaranya pari kemejan atau liong bun, kupu-kupu, kelelawar, bintang, duri, babi, macan, tembaga, elang, kikir, dan lumpur.

Dikutip dari laman Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dari 11 spesies pari yang didaratkan, ada tiga yang masuk dalam kategori Appendiks II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yakni pari kemejan/Liong bun (Rhynchobatus springeri), Pari Kupu-kupu (Rhina ancylostoma) dan Pari Kikir (Glaucostegus typus).

Sedangkan untuk Hiu, ada Hiu martil (Sphyrna lewin) yang statusnya masuk dalam Appendiks CITES.  

Populas hiu dan pari kian menurun

Shark and Ray Conservation Specialist WWF Indonesia, Ranny R. Yuneni (33), mengatakan, hiu memiliki peran penting dalam ekosistem laut. Hiu merupakan predator puncak (apex predator) dalam rantai makanan.

Saat ini, lanjut Ranny, populasi hiu dan pari semakin berkurang. Berdasarkan data KKP tahun 2016, Indonesia merupakan negara produsen hiu terbesar di dunia, dengan kontribusi sebesar 16,8% dari total tangkapan dunia.

Dikatakan Ranny, tidak hanya ancaman tangkapan sampingan (tertangkap secara tidak sengaja), penurunan populasi hiu juga terjadi akibat eksploitasi berlebihan yang didorong oleh tingginya permintaan akan produk-produk satwa tersebut, seperti sirip, daging, dan lainnya.

Pemanfaatan dan eksploitasi hiu dan pari (Elasmobranchii) secara global sangat mengkhawatirkan. Tingginya jumlah permintaan sirip hiu di pasar internasional, mendorong tanda-tanda eksploitasi berlebih dengan adanya penangkapan hiu dan pari di banyak negara. Maraknya perburuan dan memanfaatkan siripnya yang berharga mahal adalah salah satu faktor utama menipisnya populasi hiu.

Keseimbangan ekosistem dapat berubah jika hiu dan pari tidak ada di lautan

Ranny R Yuneni, Shark & Ray Conservation Specialist WWF Indonesia

Sebagai apex predator, Ranny menjelaskan, hiu memangsa hewan-hewan di bawahnya pada jaring makanan, membantu mengatur dan menjaga keseimbangan ekosistem lautan. Secara ekologis, hiu akan memangsa ikan lain yang sakit atau tua, lemah, dan meninggalkan ikan yang sehat di perairan.

Perilaku ini membuat fungsi keberadaan hiu di ekosistem perairan laut dan terumbu karang menjadi vital. Hiu secara langsung membatasi populasi dari mangsanya, sekaligus meregulasi spesies tersebut.

“Hiu tidak hanya mempengaruhi dinamika populasi dengan mengkonsumsi mangsanya, tetapi mereka juga mengendalikan distribusi spasial dari potensi mangsanya,” ujar Ranny. “Hiu macan, misalnya, membantu melawan perubahan iklim dengan mencegah kegiatan merumput berlebihan di bawah air.”

Ketika mereka berada di sekitar padang lamun yang dangkal, hiu bertugas sebagai pengontrol kerumunan untuk memastikan biota laut, seperti penyu atau dugong, tidak akan merumput di tempat yang sama. Hal ini memungkinkan lamun tumbuh lebih padat dan menyerap lebih banyak karbon.

Dengan menjelajah dari laut dalam hingga ke permukaan, hiu dan pari berukuran besar seperti mobula, membawa nutrisi penting ke permukaan untuk ganggang dan plankton.

“Tentunya keseimbangan ekosistem dapat berubah jika hiu dan pari tidak ada di lautan,” kata Ranny.

Ranny mengatakan, tingginya permintaan pasar, terhadap produk hiu pari itu menjadi penyebab masih tingginya tangkapan.

Dikutip dari laporan Food and Agriculture Organization of United Nation (FAO) tahun 2015 tetang perdagangan global produk hiu dan pari, Indonesia termasuk salah satu negara yang melakukan tangkapan hiu dan pari terbesar di dunia.

Data tahun 2000 hingga 2011, misalnya, Indonesia menempati peringkat pertama dengan jumlah rata-rata tangkapan 106. 034 ton. Sedangkan untuk perdagangan global (export), Indonesia menduduki peringkat ketiga, setelah RRC dan Thailand.

World Wide Fund for Nature (WWF)  dalam laporan nya yang berjudul “The Shark and Ray Meat Network: A Deep Dive Into Global Affairt” (2021) menyebutkan bahwa total nilai perdagangan hiu dan pari periode 2012-2019 melebihi US$4,1 miliar. Nilai gabungan daging hiu dan pari (US$2,6 miliar) melebihi nilai sirip hiu (US$1,5 miliar). Harga dapat berkisar dari US$0,1/kg untuk daging hingga lebih dari US$100/kg untuk sirip.

Dalam laporan tersebut, Indonesia disebut sebagai salah satu negara pengekspor produk hiu dan pari dengan negara tujuan Malaysia. Angka ekspornya mencapai 10.084 ton dengan nilai US$34,87 juta.

Tekan perburuan dan perdagangan dengan regulasi

Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Andry Indryasworo Sukmoputro mengakui, hampir secara keseluruhan jenis hiu dan pari yang memiliki nilai ekonomis tinggi dihadapkan pada ancaman kelangkaan. Menurutnya, pemanfaatan yang cukup intens, serta tekanan dan eksploitasi yang tinggi, menyebabkan populasi hiu dan pari  di ambang kepunahan.

Dikatakan Andry, pemanfaatan sirip hiu dan pari menjadi pemicu utama, ditambah lagi permintaan pasar internasional terhadap hiu dan pari sangat tinggi, terutama dari China. Padahal, seperti telah dijelaskan sebelumnya, hiu memiliki peran penting sebagai apex predator.

Sementara peran ekologis pari juga tak kalah penting. Hewan ini menjadi indikator keseimbangan ekosistem laut dengan perannya sebagai sebagai pemangsa organisme kecil yang ada perairan.

“Sehingga apabila keberadaannya terancam di alam, maka dikhawatirkan dapat mengubah tatanan alamiah dan struktur (ekosistem, red.) sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem,” jelas Andry.

Menyikapi hal tersebut, lanjut Andry, Pemerintah Indonesia melalui KKP telah mengambil sikap dengan melindungi sekaligus melakukan konservasi terhadap jenis hiu dan pari. Upaya konservasi hiu dan pari di Indonesia, jelasnya, sebenarnya lebih ketat daripada yang dilakukan CITES. Pemanfaatan hiu dan pari diatur melalui sistem kuota.

Andry menerangkan, KKP telah membuat kebijakan untuk mengatur jenis ikan yang dilindungi, atau masuk dalam apendiks CITES, agar bisa dimanfaatkan secara ekonomi oleh masyarakat. Hal itu mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 61/2018 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi dan/atau Jenis Ikan yang Tercantum dalam Apendiks CITES.

“Ini merupakan payung hukum yang bisa dipedomani oleh pelaku usaha maupun masyarakat,” tegas Andry.

Sementara, untuk pelaku usaha yang melakukan perdagangan internasional, dia menjelaskan, terdapat tiga aspek yang harus dipenuhi. Pertama, legalitas. Semua pelaku usaha harus memiliki izin yang diterbitkan oleh otoritas beruapa SIPJI (Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan).

Kedua, berkelanjutan. Otoritas pengelolaan diwajibkan menerapkan instrumen untuk memastikan perdagangan jenis ikan tersebut tidak mengancam kelestarian sumber daya alam.

“Ikan-ikan tertentu yang masuk dalam apendiks II bisa dimanfaatkan, tetapi harus melalui penetapan kuota. Ini sebagai alat kontrol pemanfaatan yang ada di alam,” lanjutnya.

Ketiga, ketelusuran. Otoritas pengelolaan harus memastikan instrumen yang diterapkan guna memastikan asal usul jenis ikan yang diperdagangkan.

“Harus ada mekanisme itu untuk menetukan kuota yang akan mengatur sistem perdagangan di Indonesia,” bebernya.

Jenis hiu dan pari yang masuk dalam appendiks CITES, jelas Andry, telah ditetapkan status perlindungannya menjadi perlindungan penuh, meskipun dalam CITES masuk apendiks II. Pertama, hiu paus (Rhincodon typus) yang diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) KKP No. 18/KEPMEN-KP/2013. Kemudian, ada 10 jenis pari yang dilindungi penuh, termasuk empat jenis pari gergaji dan empat pari air tawar.

Selanjutnya, kata Andry, ada dua pari manta melalui Kepmen No. 4/KEPMEN-KP/2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta dan Permen KP No. 59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Hiu Koboi (Carcarinus longimanus) dan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari wilayah Indonesia ke luar negeri yang diperbaharui dengan Permen KP No. 5/PERMEN-KP/2018 tahun 2018.

“Ini dalam aturan CITES belum diatur, tapi di Indonesia sudah dilindungi secara penuh,” kata Andry.

Andry mengatakan, secara nasional ada tiga ruang lingkup perlindungan jenis ikan, yakni dilindungi penuh, dilindungi terbatas, termasuk apendiks CITES, dan jenis ikan yang memiliki kemiripan.

“Pemanfaatannya harus memiliki izin. Sedangkan untuk jenis ikan yang memiliki kemiripan harus mendapat rekomendasi dari otoritas setelah dilakukan identifikasi,” paparnya.   

Terkait adanya dugaan penjualan sirip hiu dan pari di tengah laut, Andry mengatakan, hal itu bisa saja terjadi. Hanya saja, ketika sirip-sirip tersebut akan dijual ke luar negeri oleh pengepul, maka tetap harus memiliki Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan (SIPJI) dan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Luar Negeri (SATS-LN).

“Karena semua semua jenis ikan yang diperdagangkan harus jelas asal usul dan jenisnya,” paparnya.

Diwawancarai terpisah, Subkoordinator Pengawasan Keanekaragaman Hayati Perairan pada Ditjen PSDKP-KKP, Agustiawan, tidak menampik adanya perburuan dan perdagangan ikan hiu dan pari. Hanya saja, kata Agus, ikan hiu dan pari yang diperdagangkan tersebut tidak masuk ke dalam jenis ikan hiu dan pari yang dilindungi secara penuh, seperti pari manta dan hiu paus.

“Pada prinsipnya kami selaku pengawas perikanan hanya mengawal aturan terkait hiu dan pari banyak diperdagangkan. (Perdagangan hiu dan pari) masih belum dilarang, kecuali jenis hiu dan pari yang dilindungi secara penuh,” katanya singkat.

About the writer

Arief Nugroho

Arief is a reporter for the Pontianak Post, a local media in West Kalimantan. Since becoming a reporter in 2008, he has been writing about environmental, social, and cultural issues. Arief is also the...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.