Perempuan nelayan di Demak berjuang melawan patriarki guna mendapatkan kesetaraan dan rekognisi atas status mereka sebagai nelayan.

Deru mesin perahu kayu membelah kesunyian pagi di Dukuh Tambakpolo, Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, awal November lalu. Sebuah perahu melaju membawa pulang suami istri seusai melaut.

Perahu berhenti di tepian sungai di belakang rumah paling ujung di RT 05/ RW 07 Dukuh Tambakpolo. Kustiah (45) dan Solikin (47), keluar dari perahu sambil menenteng dua ember berisi hasil tangkapan: rajungan (Portunidae) dan seekor ikan kedukan (Hexanematichthys sagor).

Kustiah telah melaut bersama suaminya selama 13 tahun. “Pertama kali melaut, anak saya masih TK, sekarang sudah SMA. Dulu, saya sering dihina tetangga ‘wong wedok kok miyang’ (perempuan kok melaut),” kata Kustiah sembari mencuci ikan hasil tangkapan.

Setelah itu, Kustiah beralih ke pekerjaan rumah tangga. Ia mencuci peralatan bekas memasak, mencuci pakaian, lalu membersihkan rumah. Setelah semua beres, ia mandi. Dengan wajah yang segar usai mandi, Kustiah membawa hasil tangkapannya ke pengepul ikan, tak jauh dari rumahnya.

Kustiah pulang dengan senyum merekah. Meskipun hasil tangkapannya tidak begitu banyak, namun laku terjual dengan harga tinggi. Satu kilogram rajungan dihargai Rp125.000. Sebelumnya, satu kilogram rajungan hanya dihargai Rp30.000 hingga Rp50.000. Beberapa lembar uang Rp100.000 disimpannya, sementara sisanya dibelanjakan untuk kebutuhan keluarga.

Itulah potongan kehidupan perempuan nelayan di Kabupaten Demak. Mereka menjalankan peran ganda karena harus mengurus pekerjaan rumah tangga, sekaligus ikut menopang ekonomi keluarga. Kustiah adalah satu dari hanya 32 perempuan nelayan di Kabupaten Demak yang menjalankan peran ganda.

Berdasarkan data Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), 32 perempuan nelayan itu tersebar di Desa Morodemak tiga orang dan Dukuh Tambak Malang, Desa Purworejo tiga orang. Selebihnya di Dukuh Tambakpolo, Desa Purworejo sebanyak 26 orang.

Sebagian perempuan nelayan telah melaut selama 20 hingga 30 tahun. Bahkan, saat hamil, beberapa perempuan nelayan tetap melaut. Mereka bertaruh nyawa di lautan bersama suami untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Siti Darwati (36), perempuan nelayan Dukuh Tambakpolo lainnya mengatakan, ia melaut pertama kali saat hamil empat bulan anak ketiganya. Kini anak itu berusia delapan tahun. Begitu juga dengan Mufadhilah (49), warga Tambakpolo yang telah melaut selama 20 tahun bersama suaminya.

“Dulu, suami saya melaut dengan ABK (Anak Buah Kapal). Kemudian, ABK punya kapal sendiri. Saya tidak tega melihat suami saya melaut seorang diri. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut melaut. Saat hamil tujuh bulan pun, saya masih melaut. Saat naik perahu, perut saya ikat agar kandungan saya aman,” papar dia.

Ritme kehidupan perempuan nelayan dimulai sejak pukul 02.00. Saat warga lainnya sedang tidur terlelap, mereka sudah bangun untuk menyiapkan perbekalan melaut. Mereka berangkat melaut sekitar pukul 03.00.

Saat melaut, mereka berbagi tugas dengan suami. Mufadhilah misalnya, bertugas menebar jaring, sementara suaminya mengoperasikan mesin perahu. Mereka melaut hingga Jepara, Semarang, Kendal, dan Batang.

Saat hamil tujuh bulan pun saya masih melaut … perut saya ikat agar kandungan saya aman

Siti Darwati, perempuan nelayan

Setelah pulang melaut, para perempuan nelayan memasarkan ikan hasil tangkapan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Morodemak. Sebagian menjual hasil tangkapan ke pengepul ikan dekat rumah, seperti halnya Kustiah. Perempuan nelayan lainnya juga memproduksi olahan ikan untuk menambah penghasilan.

Di Desa Morodemak, usai melaut bersama suaminya, Mujarokah (52) menjemur ikan klapan sisa tangkapan yang tidak terjual, Jumat (12/11). Jika sudah kering, ikan klapan akan dijual ke tetangganya Rp 70.000 perkilogram. Hasil penjualan ikan ditabung untuk memenuhi kebutuhan saat mereka tidak bisa melaut karena gelombang tinggi.

Mujarokah baru empat tahun melaut bersama suaminya. Ia melaut karena ingin menambah pendapatan keluarganya. Dari empat anaknya, masih ada tiga anak yang membutuhkan biaya sekolah. Anak pertamanya sudah bekerja setelah lulus Madrasah Aliah (MA).

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan tiga anak yang masih sekolah, dalam sehari minimal harus ada pendapatan Rp100.000. Dulu, saat suaminya melaut bersama ABK, penghasilan keluarganya selalu kurang. Sebab, penjualan hasil tangkapan harus dibagi lima, untuk pemilik perahu, pemilik jaring, beli solar, untuk suaminya dan ABK. Suaminya tidak memiliki perahu sehingga harus menyewa perahu dengan sistem bagi hasil.

Saat itu, hasil penjualan ikan rata-rata antara Rp300.000 hingga Rp500.000 perhari. Jika hasil penjualan ikan Rp300.000, suaminya pulang membawa Rp60.000. Dengan empat orang anak, Rp60.000 sehari tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena itu, Mujarokah memutuskan untuk ikut melaut bersama suaminya. “Sejak saya ikut melaut, hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan,” ujarnya.

Pada tahun 2019 Mujarokah mendapat bantuan jaring dari Perikanan Nusantara (Perinus). Sehingga Mujarokah dan suaminya tidak perlu lagi menyewa jaring untuk melaut. Bantuan jaring diterima Mujarokah setelah perempuan yang melaut bersama suami diakui sebagai nelayan.

Melawan stigma

Sebelum mendapatkan pengakuan sebagai nelayan, 32 perempuan nelayan di Demak harus berjuang melawan stigma. Norma sosial budaya masyarakat melihat nelayan sebagai pekerjaan yang hanya dilakukan oleh laki-laki. Perempuan yang menangkap ikan di laut hanya dipandang sebagai istri nelayan atau bagian dari tugas rumah tangga mereka.

Siti Bauzah (66), perempuan nelayan di Tambakpolo yang telah melaut selama 30 tahun mengatakan, dulu kerap mendapat cemoohan dari tetangganya karena dianggap melawan kodrat. “Banyak yang menghina, ‘wong wedok kok kerjone ning segoro’ (perempuan kok kerjanya di laut),” kenangnya saat bersantai usai shalat asar berjamaah di masjid dekat rumahnya.

Namun, Bauzah menanggapinya dengan santai. Baginya, perempuan juga harus berkontribusi terhadap kelangsungan hidup keluarga. “Saya tidak malu, dihina ya nggak apa-apa. Yang penting kerja ikhlas dan halal untuk keluarga,” sambungnya.

Saat ini, Bauzah sudah berhenti melaut sejak suaminya meninggal beberapa bulan lalu.

Selain melawan stigma dan menanggung beban kerja yang ekstra berat, para perempuan nelayan juga rentan mendapat risiko kecelakaan selama bekerja. Tidak hanya ombak besar, mereka juga terancam oleh kapal di atas 10 gross ton (GT).

Bauzah menceritakan, tahun 2007, ia mengalami kecelakaan bersama suaminya saat melaut ke Mangkang, Semarang. Perahunya ditabrak kapal cantrang. “Perahu saya rusak parah, nggak bisa digunakan lagi. Hanya jaring yang selamat,” jelasnya.

Kecelakaan juga pernah dialami Kustiah saat melaut bersama suaminya. Perahunya ditabrak kapal cantrang hingga tenggelam. Saat itu, perempuan nelayan belum mendapat pengakuan, sehingga Bauzah dan Kustiah tidak bisa mendapatkan asuransi dari pemerintah. Saat itu, status pekerjaan mereka di E-KTP ibu rumah tangga, bukan nelayan.

Saya tidak malu, dihina ya ngga apa-apa. Yang penting kerja ikhlas dan halal untuk keluarga

Siti Bauzah, perempuan nelayan

Untuk melepaskan belenggu patriarki, tahun 2016, perempuan nelayan di Demak bergerak memperjuangkan kesetaraan dan rekognisi atas status mereka sebagai nelayan. Tanpa rekognisi sebagai nelayan, mereka tidak tidak bisa mendapatkan hak yang sama seperti nelayan laki-laki.

Gerakan itu diinisiasi Masnuah, pendiri Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari. Perjuangan itu dilandasi terbitnya Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Pasal 30 UU tersebut menyatakan, pemerintah memberikan perlindungan kepada nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam atas risiko yang dihadapi saat melakukan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan usaha pergaraman.

Risiko tersebut meliputi hilang atau rusaknya sarana penangkapan ikan, kecelakaan kerja atau kehilangan jiwa. Perlindungan atas risiko diberikan dalam bentuk asuransi perikanan untuk kecelakaan kerja atau asuransi jiwa untuk kehilangan jiwa.

Untuk bisa mendapatkan asuransi, mereka harus memiliki kartu nelayan. Dan untuk mendapatkan kartu nelayan, mereka harus menunjukkan status pekerjaan di E-KTP sebagai nelayan yang direkomendasikan oleh RT dan RW atau kepala desa.

Bagi perempuan nelayan di Desa Morodemak, perubahan data E-KTP tidak mengalami kendala. Namun bagi perempuan nelayan di Desa Purworejo, jalan mereka untuk menggapai kesetaraan menghadapi banyak rintangan.

Kuatnya budaya patriarki menyebabkan pengakuan atas identitas perempuan nelayan tidak mudah. Mereka harus melewati perlawanan dari pemangku kebijakan dari tingkat lokal hingga provinsi.

Masnuah menceritakan, saat para perempuan nelayan mengajukan perubahan data E-KTP untuk mengganti pekerjaan dari ibu rumah tangga menjadi nelayan, Kepala Desa Purworejo menolaknya. Didampingi PPNI dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), mereka kemudian melanjutkan advokasi ke gedung DPRD Jawa Tengah. Namun, perjuangan perempuan nelayan juga masih buntu.

Menurut Masnuah, saat mereka melakukan audiensi dengan anggota DPRD Jawa Tengah, anggota DPRD malah menertawakannya. “Kata anggota DPRD, perempuan yang melaut itu sifatnya hanya membantu suami, tidak bekerja sungguhan. Bahkan, salah seorang anggota DPRD mengatakan, profesi perempuan nelayan itu nista. Saya menangis, kecewa sekali dengan sikap anggota DPRD itu,” paparnya.

Suatu hari, Kepala Desa Purworejo akhirnya bersedia mengubah status pekerjaan perempuan yang melaut, dari ibu rumah tangga menjadi nelayan. Namun, dalam surat yang ditandatangani kepala desa tersebut, pekerjaan perempuan yang melaut ditulis “buruh nelayan”, bukan “nelayan” seperti yang mereka harapkan.

Perempuan nelayan menolak jika dianggap sebagai buruh nelayan. “Kami tidak mau kalau dianggap sebagai buruh nelayan. Karena kami melaut bersama suami penuh risiko, bahkan bertaruh nyawa,” kata Mufadhilah.

Mereka melakukan advokasi lagi agar kepala desa mau mengubah surat itu. Namun, kepala desa tetap menolaknya. Alasannya, perempuan yang melaut bersama suami hanyalah membantu suami.

Akhirnya, kepala Desa Purworejo bersedia mencoret kata “buruh” pada surat rekomendasi  setelah menyimak rekaman video penjelasan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tentang definisi nelayan dan buruh nelayan. Merespons hal itu, para perempuan nelayan diantar suami mereka mengurus perubahan data E-KTP ke Kantor Dindukcapil Kabupaten Demak.

Setelah melalui perjuangan yang panjang, pada 19 Januari 2018, 31 perempuan nelayan telah menggenggam E-KTP dengan status pekerjaan sebagai nelayan. Sementara satu orang perempuan nelayan di Desa Morodemak tidak melanjutkan proses tersebut.

Setelah identitas mereka berubah, mereka harus mengurus kartu nelayan untuk mengakses asuransi perikanan dari KKP. Pada November 2019, Menteri KKP saat itu, Susi Pudjiatuti menyerahkan kartu nelayan kepada 31 perempuan nelayan di Kabupaten Demak.

Dengan kartu nelayan tersebut, perempuan nelayan bisa mengakses berbagai program bantuan dari pemerintah dan mendapatkan kartu asuransi. Sehingga mereka bisa mengurus asuransi jika mengalami kecelakaan saat melaut.

“Apakah tujuan dari perjuangan perempuan nelayan hanya untuk mendapatkan sebuah kartu nelayan? Bukan, tapi sebagai warga negara yang sama-sama mendapatkan hak dan perlindungan. Itu yang diperjuangkan para perempuan nelayan di Demak,” tegas Masnuah.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.