Studi yang melibatkan jurnalis di Pakistan, India, Indonesia, dan Filipina menggarisbawahi hambatan yang dihadapi perempuan baik sebagai jurnalis maupun narasumber media.

Pada Desember 2020, Earth Journalism Network (EJN), sebuah jaringan jurnalis lingkungan global yang juga organisasi pelaksana program pengembangan media yang menjadi bagian dari Internews, memulai proyek penelitian untuk menentukan bagaimana para jurnalis di Asia, yang pernah menerima dukungan dan mentorship dari EJN, menyertakan perempuan dalam liputan mereka, atau tidak.

EJN bekerja sama dengan para peneliti dari empat negara — Pakistan, India, Indonesia, dan Filipina — untuk menilai bagaimana pandangan para reporter tentang gender dan apa saja hambatan yang dihadapi saat mereka berupaya memasukkan suara perempuan dalam liputan mereka. Lebih lanjut lagi, bagaimana pandangan sosial dan budaya terhadap perempuan menjadi tantangan terhadap inklusi?

Para peneliti melakukan puluhan wawancara dengan jurnalis dan ahli mengenai hambatan yang dihadapi perempuan, baik sebagai jurnalis maupun narasumber untuk media.

Beberapa temuan utama dari laporan tersebut:

  • Perempuan sering dinilai sebagai narasumber yang ‘kurang kredibel’ dibandingkan laki-laki
  • Ketika terdesak waktu, jurnalis sering merasa kesulitan untuk mencari narasumber baru dan cenderung kembali ke daftar narasumber yang sama, yang didominasi laki-laki
  • Jurnalis perempuan menghadapi masalah keselamatan yang membuat pekerjaan meliput jadi lebih menantang.
  • Laki-laki masih memegang sebagian besar posisi kepemimpinan di ruang redaksi, yang menyebabkan kurangnya kesadaran akan kekosongan suara perempuan dan/atau kurang nya dukungan terhadap jurnalis yang berupaya melibatkan lebih banyak perempuan.
  • Masih ada kesenjangan upah antara jurnalis perempuan dan laki-laki.
  • Sering kali hanya sedikit perempuah yang menjadi pakar terkemuka, terutama dalam bidang lingkungan, atau yang menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan.
  • Satu benang merah di keempat negara tersebut adalah peran norma sosial dan budaya yang menentukan kemana perempuan dapat pergi dan dengan siapa mereka dapat berbicara, baik sebagai jurnalis maupun narasumber.

Sebuah laporan tentang kurangnya representasi perempuan di media, yang didanai oleh Yayasan Bill dan Melinda Gates pada tahun 2020, mempelajari lanskap berita di enam negara dan menyimpulkan: “Berita dihasilkan sebagian besar oleh laki-laki, menampilkan lebih banyak laki-laki, dan dikonsumsi oleh lebih banyak laki-laki.”

 Di India, peneliti EJN mempelajari dari para jurnalis betapa sulitnya mencari perempuan yang ahli dalam beberapa bidang khusus dikarenakan secara historis, perempuan tidak dimasukkan dalam pendidikan tinggi. Narasumber lain menyebutkan pakar perempuan sering kali perlu meminta izin atasan mereka untuk berbicara dan dalam kearifan tradisi atau generasi, yang sebagian besar dipegang oleh wanita, tidak dianggap sebagai pakar. Seorang jurnalis lepas dari India, Aparna Karthikeyan menyimpulkan dengan baik: “Saya tidak bisa duduk di sebuah bar seperti seorang laki-laki, saya tidak bisa berjalan ke pertemuan panchayat (pemerintahan setempat), seperti laki-laki.”

Penelitian Yayasan Gates yang berjudul “Perspektif Perempuan yang Hilang dalam Berita” menemukan hanya 14% dari narasumber yang dikutip di berita online di India adalah perempuan. (Di Inggris Raya, yang merupakan negara yang disebut paling inklusif dari enam negara yang mereka pertimbangkan, hanya 29%.)

Laporan EJN mengungkapkan para jurnalis di Indonesia menghadapi tantangan serupa. Jurnalis kesulitan menemukan pemimpin atau pakar perempuan untuk diwawancara ketika meliput isu-isu kehutanan atau pertambangan di daerah terpencil. Ketika jurnalis mewawancarai perempuan, sering kali mereka adalah korban atau anggota komunitas yang terdampak, bukan sebagai pakar. Jurnalis Tessa Toumnourou, menggarisbawahi tantangan serupa yang dihadapi rekan-rekan nya di India: “Saya tahu perempuan di desa-desa memilki banyak pengalaman dan kearifan dalam menangani masalah lingkungan…Namun, suara mereka tidak terdengar.”

Di Pakistan, tantangan serupa juga ditemukan. Dua jurnalis yang diwawancara, keduanya laki-laki, mengatakan kepada EJN bahwa mereka kesulitan mewawancarai perempuan di daerah terpencil di negara tersebut karena norma sosial yang menghalangi perempuan berbicara dengan orang yang tidak dikenal. Dalam komunitas Hindu dan Muslim di Pakistan, perempuan menjalankan purdah — mengasingkan diri dari orang asing dan/atau pria — dengan cara berbeda. Beberapa akan menutup diri sepenuhnya di sekitar orang asing dengan gender apapun, sementara yang lain mungkin menunjukkan wajah mereka pada perempuan yang tidak dikenal, tapi tidak pada laki-laki. Menavigasi perbedaan-perbedaan tersebut, terutama saat dihadapkan pada tenggat waktu, dapat menjadi tantangan yang cukup sulit.

Di Filipina, para jurnalis yang diwawancarai juga menyebutkan kesulitan dalam mencari pakar perempuan sebagai hambatan utama untuk menyertakan lebih banyak perempuan sebagai narasumber liputan mereka. Jurnalis Leilani Chavez mengatakan (narasumber) laki-laki cenderung lebih cepat dalam merespons permintaan wawancaranya ketimbang perempuan: “Narasumber perempuan mesti lebih banyak klarifikasi dan pertimbangan sebelum mereka menyetujui untuk diwawancara. Mereka mau memastikan mereka narasumber yang tepat untuk dikutip.”

Secara keseluruhan, laporan EJN tersebut menegaskan bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesetaraan gender di media. Laporan itu juga memberikan banyak rekomendasi mengenai bagaimana EJN dan organisasi lain dapat mendukung para jurnalis untuk mencapai keseimbangan gender dalam pekerjaan mereka. Ini merupakan beberapa rekomendasi:

  • Menyusun database pakar wanita berdasarkan negara dan bidang
  • Mendukung pelatihan-pelatihan kepekaan dan kesadaran gender bagi para jurnalis dan editor guna meningkatkan jumlah narasumber perempuan yang dikutip dan jumlah jurnalis perempuan berpangkat tinggi di ruang redaksi
  • Mendukung pelatihan keterlibatan media yang fokus pada bagaimana narasumber perempuan dapat merasa lebih nyaman berinteraksi dengan jurnalis
  • Melatih para jurnalis dan media tentang ‘kesenjangan keahlian’, untuk mengenali nilai kearifan tradisional dan/atau generasi sebagai bentuk keahlian yang sah.

Temuan ini memperluas studi percontohan yang dilakukan EJN sebagai bagian dari Reflect Reality, sebuah metodologi yang diluncurkan Internews pada tahun 2019 untuk meningkatkan visibilitas perempuan di media berita.

EJN akan terus mendukung jurnalis dalam jaringan kami untuk menyertakan suara perempuan dalam liputan mereka dan mengembangkan upaya kami dalam membantu jurnalis perempuan untuk tetap aman dan memajukan karir mereka terlepas dari hambatan yang mereka hadapi.

Update program ini pertama kali diterbitkan oleh Internews’ Earth Journalism Network pada tanggal 20 Januari 2022. Unduh laporan lengkapnya.

Untuk membaca proyek Reflect Reality, metodologi Internews untuk meningkatkan visibilitas perempuan di media, silakan kunjungi situs web mereka.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.