Siti Khotijah (66) dan suaminya pulang melaut saat beberapa nelayan tengah memperbaiki jaring di atas perahu yang ditambatkan di sungai di Tambakpolo, Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Kedatangan keduanya disambut dengan senyuman hangat.

“Baru tiga tahun terakhir, perempuan melaut dianggap hal biasa,” kata Khotijah saat berjalan menuju rumah sembari membawa hasil tangkapan.

Khotijah bersyukur, setelah melewati perjuangan yang panjang, 31 perempuan nelayan di Tambakpolo dan Desa Morodemak berhasil mendapatkan pengakuan sebagai nelayan dan kesetaraan hak.

Sebelumnya, mereka harus melawan stigma dan budaya patriarki. “Dulu, perempuan nelayan harus sembunyi di perahu ketika berpapasan dengan nelayan lain. Karena saat itu, perempuan yang melaut dianggap melawan kodrat,” sambungnya

Tahun 2016 mereka mulai memperjuangkan rekognisi atas status mereka sebagai nelayan. Setelah melalui berbagai rintangan, tahun 2018, mereka berhasil mendapatkan pengakuan sebagai nelayan yang ditandai dengan perubahan status pekerjaan di E-KTP, yang semula ibu rumah tangga menjadi nelayan.

Dengan pengakuan itu, para perempuan nelayan mendapatkan kartu nelayan dan kartu asuransi seperti laki-laki nelayan. Dengan kartu nelayan, para perempuan nelayan juga bisa mengakses berbagai program bantuan untuk nelayan dari pemerintah.

“Tentunya kami tidak ingin mengalami kecelakaan saat melaut seperti yang pernah saya alami dulu. Namun dengan kartu asuransi nelayan, kami merasa aman saat pergi melaut karena adanya perlindungan untuk kami,” kata Siti Bauzah (66), perempuan nelayan di Tambakpolo yang telah melaut selama 30 tahun.

Pengakuan sebagai nelayan dan kesetaraan hak yang didapat 31 perempuan nelayan di Kabupaten Demak tak lepas dari peran Masnuah (47), pendiri Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari.

Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari didirikan pada 25 Desember 2005 sebagai ruang pemberdayaan ekonomi perempuan nelayan dan istri-istri nelayan. Masnuah mendirikan komunitas ini dilatarbelakangi kegelisahannya melihat kehidupan perempuan masyarakat pesisir yang termarjinalkan.

Masnuah lahir dan besar di kampung nelayan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ia merasakan betapa kental budaya patriarki, minimnya akses informasi dan rendahnya pendidikan. Masnuah sendiri hanya mengenyam pendidikan SD.

Saat pindah ke Morodemak, Kabupaten Demak, mengikuti suaminya, ia juga melihat pemandangan serupa. Perempuan selalu mengalami kesulitan, tidak banyak kesempatan yang didapat oleh anak perempuan dewasa hingga mereka menikah dan berumah tangga.

Menurut Masnuah, saat itu sebagian besar istri nelayan hanya menunggu hasil tangkapan suami. Namun, hasil tangkapan yang tidak menentu membuat para istri nelayan sulit menabung sehingga banyak anak yang putus sekolah. Kondisi ekonomi yang tidak stabil juga seringkali mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Saya sering menyaksikan istri mengalami KDRT karena masalah ekonomi ini,” kenang Masnuah.

Melihat ketimpangan yang terjadi, Masnuah berontak dan bertekad mengubah kehidupan perempuan pesisir. Ia mengumpulkan para istri nelayan dan perempuan nelayan sehingga terbentuklah Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari dengan anggota 30 orang.

Tentunya kami tidak ingin mengalami kecelakaan saat melau seperti yang pernah saya alamidulu. Namun dengan kartu asuransi nelayan, kami merasa aman saat pergi melaut karena adanya perlindungan untuk kami.

Siti Bauzah (66), Tambakpolo

Aktivitas awal Puspita Bahari mengumpulkan iuran Rp1.000 setiap bulan dari anggota untuk membentuk koperasi beras. Setelah terkumpul Rp1 juta, dibelikan beras kemudian disalurkan kepada anggota. Koperasi ini juga menyediakan simpan pinjam dari hasil simpanan wajib anggota.

Namun baru berjalan dua tahun, pada pertengahan 2007 terjadi kredit macet yang menghambat berjalannya koperasi Puspita Bahari. Pada tahun yang sama, Puspita Bahari mulai ditinggalkan anggotanya karena suami mereka melarangnya. Para suami menganggap Puspita Bahari tidak memberi manfaat dan malah mengajari perempuan melawan kodrat.

“Dulu, ketika mengalami kekerasan, istri hanya diam, pasrah, tidak berani lapor. Mereka berpikir, jika melaporkan suami, yang memberi makan (istri) siapa. Setelah bergabung dengan Puspita Bahari, mereka mendapat pengetahuan dan pemahaman tentang hak, sehingga istri mulai berani bersuara. Di sinilah, kami mendapat label sebagai gerakan yang melawan kodrat karena dianggap mengajari perempuan berani melawan suami,” papar Masnuah.

Padahal, lanjut Masnuah, Puspita Bahari mengampanyekan kesetaraan, keadilan, tanpa harus melawan laki-laki. “Ketika suami tidak melakukan hal yang buruk kepada istri, mengapa harus dilawan,“ sambungnya.

Meskipun sudah ditinggalkan anggotanya, Masnuah tidak menyerah. Tahun 2009, Puspita Bahari bangkit kembali dan fokus pada pemberdayaan ekonomi dan kegiatan alternatif ekonomi untuk mendorong kemandirian perempuan nelayan. Saat itu, anggotanya hanya lima orang. Para perempuan diberdayakan dan diajari mengolah ikan-ikan murah menjadi kerupuk ikan. Mereka juga dilatih membuat keripik ikan, abon, dendeng dan terasi.

Jika sebelumnya para istri nelayan hanya menunggu hasil tangkapan suami, melalui pemberdayaan ekonomi, para istri nelayan bisa mendapatkan penghasilan dari penjualan berbagai produk olahan ikan. Mereka bisa membantu ekonomi keluarga, terutama saat suami mereka tidak bisa melaut karena gelombang tinggi.

Kami mendapat label sebagai gerakan yang melawan kodrat karena dianggap mengajari perempuan berani melawan suami

Masnuah, pendiri Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari

Seiring berjalannya waktu, banyak yang bergabung dengan Puspita Bahari karena melihat komunitas tersebut memberikan manfaat kepada anggotanya. Puspita Bahari kemudian membentuk empat sentra pengolahan ikan, yakni sentra olahan ikan kering di TPI Morodemak, sentra olahan aneka hasil laut (abon, kerupuk, keripik dan dendeng), serta sentra terasi. Selain itu, sentra perikanan tangkap di Tambakpolo yang anggotanya para perempuan nelayan penangkap rajungan.

Tahun 2016, Masnuah mendampingi perjuangan para perempuan nelayan untuk mendapatkan pengakuan sebagai nelayan dan kesetaraan hak. Sebab, selama puluhan tahun melaut, perempuan nelayan tidak mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki nelayan.

Hingga saat ini, Puspita Bahari beranggotakan 148 orang. Aktivitas perempuan nelayan yang sebelumnya hanya terpusat di Desa Morodemak, sekarang berkembang di tiga desa: Margolinduk, Purworejo, dan Morodemak. Produk yang dihasilkan anggota Puspita Bahari kini telah mengisi sejumlah toko pusat oleh-oleh di Demak. Bahkan baru-baru ini, produk olahan ikan Puspita Bahari juga dilirik pembeli dari Korea Selatan.

“Pemberdayaan ekonomi dengan mengolah hasil laut adalah kunci utama agar keluarga mereka menerimanya. Dari gerakan ekonomi itu, perempuan bisa mandiri dan akhirnya keluarga mereka juga ikut merasakan imbasnya,” kata Masnuah.

Setelah berhasil memberdayakan perempuan pesisir, Puspita Bahari dipercaya mengakses program bantuan, pelatihan, dan permodalan. Di antaranya, Puspita Bahari mendapatkan bantuan cold storage untuk dua kelompok pengolah hasil laut pada 2019.

Di sisi lain, Puspita Bahari juga memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar. Selama pandemi Covid-19, Puspita Bahari melakukan gerakan “Rakyat Bantu Rakyat” untuk membantu warga yang terdampak pandemi.

“Selama pandemi Covid-19, harga ikan anjlok karena tidak ada pembeli. Produk olahan ikan juga tidak terserap karena pusat oleh-oleh tutup karena adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM),” terangnya.

Melalui donasi, Puspita Bahari menyalurkan bantuan sembako kepada keluarga nelayan di pesisir Demak. Tidak hanya itu, bantuan sembako juga didistribusikan kepada keluarga nelayan di beberapa kabupaten di Jawa Tengah seperti Kendal dan Jepara, bahkan hingga Surabaya, Jawa Timur.

Salah seorang anggota Puspita Bahari dari sentra pengolahan ikan, Sri Widayati (35) mengatakan, setelah bergabung dengan Puspita Bahari, ia menerima berbagai manfaat. Ia bisa mengikuti pelatihan-pelatihan pengolahan ikan segar dan ikan kering, pelatihan pengemasan dan pemasaran hingga bantuan mesin pengering ikan.

Berbekal pelatihan yang diikutinya, sejak lima tahun terakhir, Sri Widayati memproduksi keripik ikan. Ia memproduksi keripik ikan di warung makan yang dibukanya di TPI Morodemak. Keripik ikan dijual Rp100.000 per kilogram. Dari hasil penjualan makanan di warung dan penjualan keripik ikan, ia bisa membantu suaminya menopang kebutuhan keluarganya.

“Dulu, saya hanya mengandalkan pendapatan suami. Sekarang saya bisa mandiri dengan membuat keripik ikan. Hasil yang didapat suami untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jika lebih ditabung. Hasil dari saya disimpan untuk membeli tanah guna membangun rumah,” kata dia.

Senada disampaikan Mujarokah (52), anggota Puspita Bahari dari sentra perikanan tangkap. Perempuan nelayan di Desa Morodemak itu mengatakan, sejak bergabung dengan Puspita Bahari, ia mendapatkan bantuan jaring. Mujarokah juga berkesempatan mengikuti pelatihan pengolahan ikan.

Usai melaut, Mujarokah memproduksi ikan asin. Hasil penjualan ikan asin ditabung untuk memenuhi kebutuhan saat ia dan suaminya tidak bisa melaut karena gelombang tinggi.

Karena kiprahnya dalam menggerakkan kemandirian ekonomi perempuan pesisir, Masnuah menerima berbagai penghargaan. Di antaranya Frans Seda Award dari Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya Jakarta pada 2014. Selain itu, Saparinah Sadli Award 2018 kategori keteladanan pemimpin perempuan dalam kebhinekaan masyarakat Indonesia.

Masnuah yang juga Sekjen Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) itu ingin terus berjuang dalam gerakan perempuan nelayan. Apalagi, masih ada hal yang perlu dikejar lagi setelah perempuan nelayan di Kabupaten Demak mendapat pengakuan.

“Perempuan nelayan tidak sekedar diakui, kemudian mendapat kartu nelayan dan asuransi. Tetapi, mandat dalam Undang-Undang tentang perlindungan nelayan juga harus diterapkan dengan baik,” terangnya.

Menurut dia, mandat UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam belum diimplementasikan dengan baik.

Salah satu contohnya terkait bantuan untuk nelayan.

Masnuah mengatakan, akses bantuan belum sepenuhnya adil gender. Selama ini, bantuan masih berorientasi gender-lelaki. Pemerintah, kata Masnuah, masih memposisikan bantuan untuk perempuan nelayan berupa alat masak. Karena perempuan nelayan lebih dikelompokkan pada kelompok pengolah dan pemasar ikan.

“Masih ada diskriminasi. Pemerintah tidak melihat kebutuhan di lapangan bahwa tidak semua perempuan membutuhkan alat masak. Tapi mereka juga butuh mesin, jaring atau subsidi solar yang saat ini diberikan kepada nelayan laki-laki. Itu yang belum adil bagi perempuan nelayan,” sambungnya.

Persoalan lainnya terkait status perempuan nelayan. Masnuah mengatakan, perempuan nelayan masih dianggap sebagai anggota keluarga nelayan. Perempuan nelayan belum dianggap sebagai sebuah profesi yang mandiri yang melakukan pekerjaan mandiri.

“Undang-undang perlu direvisi,” tegas Masnuah.

About the writer

Isnawati

Siti Masudah Isnawati or Isnawati, is a journalist who has worked at Suara Merdeka Group since 2009 covering Pekalongan City (Pantura Bureau). Completed her undergraduate education in Communication Studies...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.