Lubuk larangan menjadi budaya yang turut mengonservasi ikan dan habitatnya. Lubuk larangan tak hanya bermanfaat untuk kelestarian ikan, tapi juga sosial, dan ekonomi.
Tengah hari yang tak begitu terik, Minggu, 12 Desember 2021, Mak Birin–gelar Datuk Majo–, menuju dermaga di Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Di dermaga desa itu beberapa perahu kecil sudah bersandar menunggu kedatangan para penumpangnya.
Piyau–begitu warga desa menyebut sarana transportasi perahu kecil di Sungai Subayang. Piyau, sudah akrab bagi Mak Birin dan warga desa lainnya.
Tak ada akses darat, perahu menjadi transportasi andalan menyusuri sungai yang membelah hutan berbukit hijau. Hilir mudik piyau yang membawa barang apa saja, mulai dari bahan belanjaan dan hasil pertanian menjadi pemandangan rutin tiap hari.
“Ayo kita naik perahu, jangan lupa pelampungnya dipakai!” ujar Mak Birin memberi aba-aba.
Piyau, perahu kecil bermesin tempel di buritannya yang kami tumpangi ini terus merayap. Sesekali perahu melambat dan melawan derasnya arus yang memercik keras. Perahu terus menghulu membelah sungai.
Kami berlayar sekitar satu jam melintasi Sungai Subayang. Di sana, kami hendak menengok lubuk larangan dan laboratorium ikan. Piyau yang kami tumpangi berlayar ke hulu, sekitar 12 kilometer dari pusat desa.
Inilah kisah lubuk larangan di Desa Tanjung Belit, Sungai Subayang.
***
Di bawah punggung Bukit Rimbang Baling nan permai, air Sungai Subayang mengalir jernih. Bersanding dengan tebing bebatuan dan akar pepohonan di tubir sungai. Arus air yang membelok di area lubuk larangan itu tampak mengalir tenang.
Secara etimologi lubuk larangan terdiri dari dua kata, yakni lubuk dan larang. Namanya lubuk, yang berarti air dalam atau palung. Kriteria lubuk larangan biasanya air dalam 3-5 meter. Lubuk larangan kata Mak Birin, menjadi tempat ikan bertelur dan bergenerasi.
Lubuk itu juga menjadi rumah bagi ikan-ikan besar yang hidup di dasar air. Lubuk larangan sepanjang 500 meter itu telah diberi batas tali yang telah diberi mantra, doa, ritmis, dan terdengar sedikit magis.
“Di lubuk larangan itu kita bikin batas tali, ikannya enggak keluar dari batas,” kata Mak Birin.
“Ikan saja tahu enggak melanggar keluar, masak iya kita mau melanggar ambil ikan,” sambung Mak Birin.
Di lubuk larangan itu warga tak boleh mengambil ikan sebelum waktunya dibuka oleh ninik mamak setempat. Bila seorang gegabah dan nekat mengambil ikan di lubuk larangan, yang bersangkutan akan menerima sanksi adat berupa denda membayar satu sak semen.
Mak Birin menjelaskan, masyarakat bersama ninik mamak telah sepakat menentukan lokasi lubuk larangan di bagian aliran sungai yang dalam. Warga kata dia, dituntut jujur hanya dengan seutas tali yang menjadi tanda lubuk larangan.
“Warga dilarang mengambil ikan sebelum waktunya panen,” ujar Mak Birin.
Menurut cerita masa lampau, warga yang nekat mengambil ikan di lubuk larangan sebelum waktunya, mereka akan menerima tuah dan sumpah seperti perut akan membuncit. Bahkan bisa meninggal setelah makan ikan. Hal ini sudah menjadi keyakinan nenek moyang mereka sejak zaman dulu.
Bila ada yang nekat mengambil ikan sebelum waktunya panen, orang sekampung bersama ninik mamak (tetua adat) akan bersama-sama pergi ke masjid untuk membacakan Surat Yasin (surat Al-quran yang banyak memiliki keistimewaan). Mereka yang mencuri ikan di lubuk larangan akan terkena azab.
Masyarakat di Desa Tanjung Belit percaya bahwa kandungan bacaan Surat Yasin bisa melindungi lubuk larangan. Kalau pantangan dilanggar, perutnya bisa membesar, bisa edan, hingga dipercaya bisa meninggal dunia.
“Jadi siapa pun yang mau menangkap (ikan) sebelum waktunya silakan. Tapi risikonya ya ditanggung sendiri. Bisa sakit, perut buncit,” kata Mak Birin. Lelaki tua itu tampak serius dengan kata-katanya.
Dia meyakini sudah ada bukti masyarakat yang terkena karma karena mengambil ikan sebelunya waktunya. Namun, Mak Birin, tak bisa menceritakan lebih jauh.
Yang jelas, tradisi lubuk larangan yang turun-menurun, hingga kini masih terus dijaga. Karena karma, tidak ada satupun warga yang berani mengambil ikan sebelum waktunya.
Ikan yang menghuni lubuk larangan, kata Mak Birin, hanya boleh dipanen secara bersama-sama dalam jangka waktu satu atau dua tahun sekali, tergantung kondisi alam. Waktu yang tepat untuk memanen ikan di lubuk larangan biasanya dilakukan saat musim kemarau atau ketika ketinggian air tidak terlalu dalam.
“Tapi sudah tiga tahun ini belum ada panen di lubuk larangan karena pandemi,” ucap Mak Birin.
Mancokau, prosesi panen ikan di lubuk larangan
Akan tiba waktunya lubuk larangan dibuka. Namun Mak Birin bilang, harus ada kesepakatan antara ninik mamak, tokoh masyarakat, kepala desa, dan pemuda. Ketika sudah sepakat soal waktunya, maka kabar pembukaan lubuk larangan akan mereka sampaikan ke berbagai penjuru.
Proses menangkap ikan mereka sebut dengan bahasa lokal mancokau. Saat prosesi panen ikan di lubuk larangan, semua warga, tua muda, dan bahkan wisatawan dari luar juga datang berkumpul untuk menangkap ikan. Alat tangkap yang diperbolehkan hanya jaring, jala, pancing, tombak, dan tangan kosong.
Terdapat ritual khusus sebelum masyarakat terjun ke lubuk larangan. Mereka akan berdoa bersama untuk keselamatan. Tiga orang tetua ada diberi kesempatan pertama terjun ke sungai. Mereka adalah Datuk Godang, Datuk Dubalang Setio, dan Datuk Singo.
Datuk Godang adalah pemimpin di sungai. Sementara Datuk Dubalang Setio bertugas membagi ikan dan Datuk Singo menjadi pemimpin di darat.
Defri Zarman (30) menjadi orang pertama yang akan memimpin ritual untuk menangkap ikan di lubuk larangan. Dia diberi gelar Datuk Gondang atau Raja Air. Dia berkisah ketika masuk sungai dalam prosesi pembukaan lubuk larangan itu, ia akan menjala ikan pertama yang menjadi pertanda bahwa panen ikan dimulai.
“Darah terserak untuk datuak, dagiang nan masak untuk anak cucu Adam,” begitu Datuk Godang merapal mantra. Ikan tangkapan pertama akan langsung dia potong di atas perahu. Kemudian potongan kepala ikan dia buang ke daratan.
Sementara bagian badan ikan dibuang kembali ke sungai. Bagian ikan yang dikembalikan ke sungai itu kata Datuk Godang, sebagai bentuk penghormatan kepada alam dan leluhur.
Anehnya kepala ikan yang dibuang ke daratan tadi seketika lenyap. Warga di sana meyakini ada bau magis. “Prosesi ritual ini sudah turun-temurun dari nenek moyang kami,” kata Datuk Godang ketika dihubungi Liputan6.com.
Setelah prosesi ritual itu, semua warga yang datang dipersilakan menangkap ikan sesukanya. Prosesi panen ikan di lubuk larangan biasanya diiringi musik tradisional calempong, gendang, dan gong. Tempik sorak warga bersahutan saat prosesi mancokau itu.
Hanya ikan gede yang boleh diangkat. Ikan-ikan yang didapat itu, kata Datuk Godang, tidak boleh langsung dibawa pulang, namun harus dikumpulkan dan dipisahkan menurut ukurannya masing-masing.
Ada belasan jenis ikan dari lubuk larangan. Ikan-ikan yang didapat adalah ikan yang konsumsi masyarakat seperti; jenis ikan kapiek, lelan, selimang, tapa, balido, barau, juaro, giso, sengkarek, dan beberapa jenis ikan air tawar lainnya.
Ikan yang boleh ditangkap kata Datuk Godang, adalah ikan yang berukuran 4 jari orang dewasa. Ikan yang kecil tidak boleh ditangkap dan harus dilepaskan kembali supaya dapat berkembang biak.
Setelah ikan terkumpul akan ditaruh di dalam wadah, yang mereka sebut dengan andel. Satu andel berisi ikan dengan total berat 2 kilogram lebih. Untuk masyarakat luar desa yang datang bisa membeli satu andel seharga Rp25 ribu. Sedangkan masyarakat setempat hanya membayar Rp20 ribu.
Datuk Godang menjelaskan, ikan-ikan besar dengan berat 2 kilogram lebih akan masuk proses pelelangan. Bahkan berat ikan yang dilelang bisa mencapai 15 kilogram satu ekor dengan harga fantastis sekitar Rp500 ribu.
“Yang ikut lelang itu biasanya pengusaha-pengusaha dari luar, seperti dari Pekanbaru, Padang, dan daerah lain,” kata Datuk Godang.
Ikan dari lubuk larangan itu hasilnya melimpah berton-ton. Pendapatan hasil lelang ikan itu akan digunakan untuk keperluan pembangunan jalan, masjid, dan pemberdayaan anak yatim.
“Pada panen tiga tahun sebelumnya dari hasil lubuk larangan di Desa Tanjung Belit ini dapat pendapatan sekitar Rp75 juta,” ucap Datuk Godang.
Adat menjaga habitat ikan dan sungai
Di bantaran sungai Subayang yang dihuni Datuk Gondang–ninik mamak Kenagarian Tanjung Belit, terdapat sebuah kampung yang dianggap masih menjaga tatanan leluhur. Kampung adat setengah urban di kaki Bukit Rimbang Baling ini riwayatnya dipercaya telah menembus beberapa adab silam.
Salah satu tatanan leluhur yang berkaitan dengan sungai dan ikan itu adalah lubuk larangan. Kearifan lokal ini menurut Datuk Godang, mulai dihidupkan kembali pada tahun 1980-an. Ketika itu di masa rezim Soeharto, pemerintahan desa tengah morat-marit mencari pemasukan dana untuk pembangunan.
“Jadi ninik mamak sepakat menghidupkan lagi lubuk larangan sebagai sumber pendanaan pembangunan desa,” ucap Datuk Godang.
Dia meyakini jauh sebelum Indonesia merdeka tradisi lubuk larangan ini telah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Tradisi lubuk larangan di Desa Tanjung Belit ini berasal dari kisah awal terbentuknya kampung.
Datuk Godang mengisahkan, dahulu ada tiga orang datuk saling bertemu. Ketiga orang itu lah yang pertama kali menghuni dan membangun peradaban Tanjung Belit.
Ketiga datuk itu adalah Datuk Godang (penjaga wilayah sungai), Datuk Dubalang Setio (menjaga ikan), dan Datuk Singo (pemimpin di darat). Ketiga datuk itu membangun kampung hingga sekarang beranak pinak dan gelar ketiga datuk itu juga masih mereka gunakan.
“Kami meyakini leluhur kami sudah melestarikan sungai dan isinya. Meski dulu sempat redup, kami akan terus menjaga tradisi lubuk larangan sampai sekarang,” kata Datuk Godang.
Kini ada 4 suku yang mendiami Tanjung Belit, yakni Suku Domo, Suku Tonga, Suku Melayu, dan Suku Melayu Kepe. Mengutip data dari Pemerinta Desa, jumlah penduduk di Desa Tanjung Belit mencapai 252 kepala keluarga.
Masyarakat Tanjung Belit tak hanya mengandalkan pencaharian dari mencari ikan di sungai, namun ekonomi mereka juga ditopang oleh hasil pertanian dan perkebunan karet. Meski andalan ekonomi mereka juga ditopang dari sektor perkebunan dan pertanian, namun tradisi mereka tak bisa dipisahkan dari sungai.
“Sungai menjadi sumber kehidupan buat kami, sungai harus kita jaga untuk keberlangsungan makhluk hidup,” kata Datuk Godang.
Sungai berseri, ikan lestari, dan ekonomi menjadi
Sungai Subayang adalah salah satu sub Daerah Alisan Sungai (DAS) Batang Kampar Kiri. Sungai Subayang yang berhulu di Sumatra Barat itu, membelah perbukitan Suaka Margasatwa Rimbang Baling, yang menjadi habitat harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae).
Aliran Sungai Subayang bermuara ke Batang Kampa Kirir, tepatnya di Desa Pangkalan Serai. Di muara itu, air Sungai Subayang yang relatif masih jernih itu berkecup-ciup dengan air Sungai Kampar Kiri yang keruh.
Desa-desa di bantaran Sungai Subayang bertekad menjaga sungai. Budaya leluhur lubuk larangan tak lekang, meski digerinda waktu. Sampai sekarang terus mereka garap untuk menjaga kelangsungan habitat ikan tawar dan sungai untuk kehidupan mereka.
Studi sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada isu konservasi berhasil mengindentifikasi 72 spesies ikan air tawar yang hidup di aliran Sungai Subayang. Ada beberapa spesies ikan yang dilindungi dan terancam punah, salah satunya ikan belida (Chitala lopis).
Di sepanjang aliran Sungai Subayang, terdapat 9 desa yang memiliki kearifan lokal. Dari 9 desa itu total terdapat 19 titik lubuk larangan. Masing-masing desa memiliki 2 titik lubuk larangan atas nama ninik mamak dan pemuda desa.
Lubuk larangan menjadi budaya yang turut mengonservasi ikan dan habitatnya. Lubuk larangan tak hanya bermanfaat untuk kelestarian ikan, tapi juga sosial dan ekonomi.
Selain itu, lubuk larangan juga menumbuhkan ekonomi baru karena di Subayang sudah dikemas dalam event wisata. Pembukaan lubuk larangan akan mendatangkan turis yang akan ikut bersama menangkap ikan.
Dalam jurnal “Studi Lubuk Larangan di Bentang Alam Bukit Rimbang Baling Riau” disebutkan bahwa lubuk larangan merupakan pengetahuan lokal yang memiliki 3 fungsi sekaligus, yaitu fungsi ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
Dalam aspek ekologi, lubuk larangan berfungsi untuk melindungi ikan dan menjaga sungai. Dalam aspek sosial budaya, menjadi ajang silaturahmi antar warga dan menumbuhkan budaya gotong royong.
“Untuk aspek ekonomi, lubuk larangan berfungsi sebagai sumber pemasukan dana untuk pembangunan desa dan kegiatan ekonomi kemasyarakatan,” tulis Annisa Hayyu Rahmadina dkk., dalam jurnal yang diterbitkan Fakultas Biologi Universitas Nasional/UNAS (2016) tersebut.
Segendang sepenarian, Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Riau Dr Suwondo mengatakan, sistem adat lubuk larangan cukup efektif untuk menjaga kelestarian ikan dan sungai. Dalam konsep ini masyarakat menjadi tak serakah mengambil ikan.
“Lubuk larangan membuat populasi ikan tetap terjaga, tidak ada overfishing, dan tidak eksploitatif,” kata Suwondo. Dia menambahkan lubuk larangan bisa membentengi sungai yang jadi habitat ikan dari upaya eksploitasi.
Menurut Suwondo, mata air di Sungai Subayang menjadi jantung sungai Kampar Kiri. Di tengah eksploitasi dan deforestasi yang terjadi saat ini. Sungai Subayang perlu dijaga kelestariannya.
Apalagi Suwondo bilang, tipikal Sungai Subayang adalah tadah hujan. Sungai ini sangat bergantung pada tutupan hutan. Sungai Subayang sangat bergantung pada hutan di kawasan koridor Suaka Margasatwa Rimbang Baling.
“Kualitas air sungai sangat bergantung pada daerah di sekitarnya. Alih fungsi tetap menjadi isu utama dan menjadi tantangan,” demikian Suwondo.
Budaya dan kearifan lokal yang diwariskan leluhur terbukti mampu melestarikan alam. Penghargaan yang tinggi terhadap sungai harus terus dilakukan. Semoga kelak lubuk larangan di Sungai Subayang akan terus ada untuk keselarasan.