Penunjukkan Bantargebang sebagai TPA Ibukota tak mulus dan memicu konflik antara dua kota. Hingga kini, belum ada rencana memindahkannya.

DARI kantor pengelola Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang butuh 15 menit berjalan kaki mencapai puncak gunung sampah setinggi 30 meter di zona 1C. Zona penumpukan sampah ini sudah tak aktif, karena itu pengelola menutupnya dengan plastik polietilena.

“Supaya tidak bau,” kata Roy Sihombing, Kepala Staf TPST Bantargebang Kota Bekasi, Jawa Barat, pada pertengahan Maret 2022.

Bantargebang menjadi tempat pembuangan akhir sampah dari Jakarta, Bekasi, dan kota-kota aglomerasi. Pengelola membagi 110 hektare luas TPST ini menjadi 12 zona. Delapan zona sudah tidak aktif karena tak ada lagi ruang menampung sampah sehingga ditutup plastik seperti di zona 1C, empat zona masih terbuka menerima ribuan ton sampah dari penduduk kota-kota itu.

Zona pembagian pembuangan sampah TPST Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Sumber: Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta

Tinggi gunung sampah berbeda-beda tiap zona. Gunung sampah zona 1C paling tinggi di antara gunung sampah zona yang tak aktif. Di tiap lembah gunung sampah mengalir air lindi, berwarna coklat dan bau menyengat, meluncur menuju bak penampungan Instalasi Penampungan Air Sampah di kantor TPST.

Sewaktu naik ke gunung sampah zona 2, tas saya jatuh ke selokan itu. Air merembes ke pori-porinya. Bau lindi tak hilang setelah empat hari meski tas saya cuci tiap hari. Zona 2 masih terbuka. Tinggi puncaknya kira-kira 50 meter. Empat backhoe meratakan sampah yang diangkut ratusan truk hingga semua runtah mengisi zona seluas 22,41 hektare itu. 

Ratusan pemulung beradu cepat mengais sampah anorganik. Menurut data Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), ada 6.000 pemulung di Bantargebang yang mengais rezeki memungut sampah plastik, logam, besi. Mereka menjualnya kepada pengepul untuk dijual lagi ke industri daur ulang.

TPST membangun mesin pemilah semiotomatis untuk memanfaatkan sampah menjadi bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Merah Putih yang diserahkan pengelolaannya dari Badan Riset dan Inovasi Nasional kepada Gubernur Anies Baswedan pada 21 Februari lalu.

Pemulung Bantargebang kini memasuki generasi kedua, seperti Tarpiah dan Kasmun. Mereka telah 20 tahun tinggal di dalam area TPST mengais sampah. Kasmun membawa keluarganya dari Indramayu, Jawa Barat, meninggalkan sawah dan ladang karena butuh pekerjaan lain yang lebih menghasilkan untuk mengobati sakit paru-parunya.

“Sewaktu pertama ke sini saya tak bisa makan empat hari karena bau dan banyak belatung,” kata Tarpiah, 50 tahun.

Kini bau itu telah jadi akrab. Sehari mereka bisa menjual sampah anorganik ke pengepul Rp 100.000-200.000. Kadang-kadang mereka menemukan uang bahkan emas. Menurut mereka, sampah Bantargebang kian banyak tiap tahun. “Dulu belum sebesar ini,” kata Kasmun.

Cerita Bantargebang dimulai jauh sebelum Kasmun datang ke sini. Pada awal 1980, produksi sampah penduduk Jakarta melonjak menjadi 12.000 meter kubik per hari dari sepuluh tahun sebelumnya hanya 3.000 meter kubik. Stasiun Pengelolaan Akhir sampah Jakarta di Menteng tak sanggup lagi menampungnya. Gubernur Tjokropranolo lalu mencari lokasi baru untuk menghindarkan citra buruk ibu kota.

Semula pemerintah Jakarta memilih Ujung Menteng di Jakarta Timur sebagai lokasi baru pembuangan sampah. Tapi wilayah ini sudah padat penduduk. Tjokropranolo lalu menyurati Bupati Bekasi meminta lokasi pembuangan sampah. Ada dua wilayah yang diincar: Kelurahan Medan Satria dan Kecamatan Bantargebang di Bekasi Barat.

Medan Satria padat penduduk. Bantargebang masih kosong dan banyak kubangan pengerukan tanah untuk membangun jalan dan gedung di ibu kota. Pada 1985, Bupati Bekasi Suko Martono pun memilih tiga desa di Bantargebang: Ciketing Udik, Cikiwul, dan Sumur Batu.

Syaratnya: Jakarta membangun dan memelihara jalan akses ke Bantargebang, sampah tidak menimbulkan polusi dan gangguan kesehatan, dan Bekasi boleh membuang sampah ke sini tanpa membayar.

Deal. Gubernur Jawa Barat Yogie S. Memet menyetujui Bantargebang sebagai tempat pembuangan sampah Jakarta pada 1986. Sejak itu, Jakarta resmi punya tempat sampah baru di luar ibu kota. Kota metropolitan sebagai wajah Indonesia pun terselamatkan dari bau dan pemandangan tak sedap.

Janji tinggal janji. Jakarta tak memenuhi permintaan Bupati Suko Martono. Pemisahan Bekasi menjadi kabupaten dan kota pada 1996 membuat urusan sampah terbengkalai. Krisis moneter dua tahun kemudian menambah kacau pengelolaan sampah. Truk sampah yang datang ke Bantargebang tak hanya dari Jakarta, tapi dari kota sekitarnya.

Sampah yang masuk Bantargebang pun melonjak menjadi 20.000 meter kubik sehari pada 1999. Polusi kian masif karena pengelola membakarnya agar selalu tersedia lahan penampung. Asapnya bocor ke permukiman karena pipa penyalur dicolong pemulung. 

Menurut Ali Anwar, wartawan dan sejarawan Bekasi yang mengikuti manajemen sampah sejak 1990, di luar sampah yang dibakar pengelola, di area terbuka pemulung juga membakar sampah agar mudah mengambil sampah logam.

Selain asap, sepanjang jalan menuju Bantargebang juga bau air lindi yang berceceran dari bak truk sampah yang bocor. Jalan licin membuat penduduk sekitar acap terpeleset saat mengendarai sepeda motor.

Dari pelbagai kejadian itu, pada 1999 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi dan sejumlah aktivis LSM serta mahasiswa meminta pemerintah Jakarta menutup TPA Bantargebang. Tiap DPRD menyuarakan penutupan Bantargebang, pemerintah Jakarta selalu berjanji memperbaiki tata kelola sampah. Terus begitu tanpa ada kejelasan.

Puncaknya pada 15 November 2001, sepekan menjelang Idul Fitri. Tak tahan dengan desakan penduduk, media yang terus menulis problem sampah, mahasiswa yang demonstrasi berjilid-jilid, pemerintah Kota Bekasi menyegel Bantargebang. Para sopir truk sampah yang tak berani datang memarkirkannya di pintu masuk. Mereka pulang kampung.

Mahasiswa menempelkan kertas di badan truk bertuliskan “TPA Bantargebang Tutup!”. Penduduk di sekitar tersulut euforia itu. Mereka membakar truk sampah milik pemerintah Jakarta.

Kejadian itu membuat Jakarta melunak. Gubernur Sutiyoso menawarkan dana kompensasi. Nilainya Rp 11 miliar setahun. Uang tersebut akan dipakai memperbaiki infrastruktur dan subsidi kepada masyarakat sekitar TPA Bantargebang Rp 300 ribu per kepala keluarga. Cara Sutiyoso ampuh hingga masyarakat tak lagi menyoal sampah.

Penduduk lupa dengan pendapat yang mereka salurkan melalui survei yang dibuat Ali Anwar. “Hasil survei menunjukkan mayoritas penduduk menolak TPA Bantargebang,” kata Ali, yang menuliskan sengkarut sampah Jakarta dalam buku “Konflik Sampah Kota” yang terbit pada 2003.

Setelah itu sampah Jakarta beberapa kali berubah rezim pengelolanya. Sempat diserahkan kepada swasta, lalu balik ke pemerintah, pengelolaan sampah di Bantargebang tetap semrawut.

Sementara PLTSa Merah Putih yang dibangun senilai Rp 150 miliar dan beroperasi mulai 2019 hanya menyedot 100 ton sampah sehari, sementara sampah Jakarta kini tembus 7.800 ton sehari. 

Cara kerja Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Merah Putih di Bantargebang. Listri berasal dari energi gerak turbin yang dihidupkan dari panas hasil pembakaran sampah. Sumber: Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Meski begitu, pemerintah Jakarta maupun Bekasi belum punya rencana mencari lahan baru. “Kami akan kurangi dengan teknik landfill mining, yakni menjadikan sampah lama jadi sumber energi listrik,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Asep Kuswanto. Wali Kota Bekasi Tri Adhianto setuju dengan cara ini.

Ali Anwar juga setuju. Namun ia sangsi solusi itu bisa cepat karena kapasitas PLTSa yang kecil. Sementara Bantargebang perlu segera diselamatkan dari polusi dan dampak buruk lingkungan. Jika pemerintah serius, kata dia, kapasitas PLTSa diperbesar sehingga bisa mengurangi sampah secara signifikan. “Jangan main-main dengan sampah,” kata dia.

Liputan ini bagian dari serial laporan khusus yang terbit di Forest Digest edisi April – Juni 2022 dengan judul Main-main dengan sampah dan didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network.

About the writer

Rama Maulana

Rama Maulana graduated from the Faculty of Forestry and Environment of IPB University in 2021. His interest lies in topics related to soil sciences, spatial planning, and watershed management. He now works...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.