Dulu menebang dan menambang secara liar, kini masyarakat Desa Sungai Sekonyer aktif menjaga dan memulihkan hutan. Perlu dukungan pemerintah setempat agar maksimal.

Dayung kapal mengayun membawa kapal klotok keluar dari dermaga. Melewati pepohonan meranti, renggas, ketiau, lemenaduh, nipah, tentalang dan tanaman endemik rawa lainnya hingga bertemu pada tikungan sungai Sekonyer, Kecamatan Kumai, Kalimantan Tengah. 

Sungai Sekonyer membelah antara zona Taman Nasional (TN) Tanjung Puting dan wilayah areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi konversi (HPK) Desa Sungai Sekonyer. Sungai Sekonyer menjadi jalur utama bagi kapal-kapal klotok yang hendak menuju Taman Nasional Tanjung Puting. 

Sekonyer bukanlah nama asli sungai itu. Nama ini muncul dari nama kapal patroli Belanda Lonen Konyer yang karam di muara sungai saat gerilyawan Indonesia melawan penjajah Belanda di tahun 1948. Nama kapal itu menggantikan nama Sungai Buaya, sekaligus menjadi nama desa yang dahulunya berada di kantor resort Tanjung Harapan. 

Adut Forester, sebagaimana Ariyadi memperkenalkan dirinya melalui akun Instagram-nya. Ariyadi adalah seorang pemuda Desa Sungai Sekonyer. Penyematan kata forester pada namanya tidak hanya sebatas tempelan saja, sejatinya dia memang memiliki semangat dan terus menjaga konsistensi menjadi pemuda penggerak desa di zona penyangga Taman Nasional Tanjung Puting. 

Kapal klotoknya menepi di dermaga Desa Sekonyer bersama anjing pemburunya menemui tim kolaborasi Betahita dan Mongabay Indonesia pada pertengahan November 2021 lalu. Tangannya gesit menambatkan tali di dermaga agar bisa ‘parkir’.

Sejak lahir, 29 tahun lalu, pemuda asli desa Sekonyer ini hidup berdampingan dengan Taman Nasional. Awalnya, dia menjelajah taman nasional sebagai penebang liar dan penambang emas di tahun 2005 sebelum akhirnya belajar konservasi dan menjaga hutan. 

“Saya tidak pernah berpikir sekolah, sewaktu lulus SD saya ikut orangtua merasakan mencari uang. Pertama jadi illegal logging,  lalu tambang. Ya untuk mencari pengalaman saja,” ceritanya. 

Dia mengakui bahwa secara ekonomi, profesi itu memang menguntungkan. Namun dia merasa bersalah karena kerusakan hutan pun bisa dia lihat sendiri. “Saya dahulu tidak tahu apa itu illegal (logging), tapi saya berhenti karena saya tahu kalau tambang tidak hanya menggali tanah tapi juga menghancurkan hutan.”

Setelah dua tahun berganti-ganti profesi yang merusak hutan, Adut pun mencoba pengalaman yang berbeda. Dengan iseng dia mencoba menjadi relawan di salah satu lembaga swadaya masyarakat, Friends of National Park Foundation (FNPF) yang sedang bekerja di kawasan Pesalat, TN Tanjung Puting. 

Satu bulan waktu bagi Adut menjadi relawan FNPF. Mencari bibit, mengisi polybag, membuat persemaian, menanam, merawat, dan menjaga pohon. “Saya merasa ini seperti jiwa saya, jadi tertarik karena disini tidak hanya bekerja tapi juga belajar. Awalnya ya iseng saja.”

Titik itulah yang menjadi pijakan Adut mulai menumbuhkan rasa cintanya pada hutan dan meyakinkan dirinya untuk terus menjaga hutan. Dia belajar terkait penanaman pohon, pendidikan konservasi, dan community development.  

Saya dahulu tidak tahu apa itu illegal (logging), tapi saya berhenti karena saya tahu kalau tambang tidak hanya menggali tanah tapi juga menghancurkan hutan

Adut Forester

Berawal dari relawan, Adut sempat menjadi staf, dan kemudian dia lepas untuk mendirikan Kelompok Tanjung Lestari Desa Sekonyer pada 2019 lalu. Dia menyadari meski desanya berbatasan langsung dengan taman nasional, banyak pemuda yang tidak memiliki pemahaman yang baik dan peduli terhadap lingkungan. 

”Kita pelan-pelan bicara tentang lingkungan, pentingnya seperti apa, dan membuat kegiatan untuk menjaga hutan dan lahan kritis,” tutur Adut. 

Banyak pemuda datang dan pergi di kelompoknya. Dia menyadari bahwa dulunya banyak orang tua dari Desa Sekonyer selain menjadi peladang dan petani padi, mereka juga menambang dan melakukan perambahan liar 

Adut menjadi salah satu masyarakat yang belajar banyak dari restorasi kawasan Pesalat dan Beguruh. Dia bilang tahun 1998, Pesalat hancur karena kebakaran dan menjadi tempat berladang. Pohon dengan diameter 50-an masih sering dijumpai semasa kecilnya namun kini sudah hilang, bahkan sulit untuk dijumpai. 

Keputusannya untuk membuat komunitas pemuda ini merupakan buah hasil inisiatif pribadinya untuk bisa mendampingi masyarakat. Adut juga ingin membantu taman nasional maupun lahan kritis dan bekas tambang yang ada di desa untuk dijaga dan ditanami. Dia mengetahui ancaman perkebunan sawit masih menghantui desanya, meski sebagian desa adalah perkebunan sawit.  

Adut tidak sendiri. Samsul juga pemuda asli desa Sungai Sekonyer yang menambang dan melakukan illegal logging. Berbeda dengan Adut, Isam–panggilan akrab Samsul– terhimpit ekonomi orangtua yang tidak mampu membiayai pendidikannya pada tingkat pertama. Bersama ibu dan kakaknya, Isam pun menebang pohon mulai dari ramin hingga nyatuh pada tahun 1997.  

Pasca operasi besar-besaran oleh aparat keamanan di awal 2000-an, Isam bekerja menambang emas lalu berpindah ke Riau menjadi pekerja kayu. Pada 2004 dia kembali ke Sekonyer dan bekerja untuk menjaga hutan dan orang utan. 

Pagi hari, bersama sekitar 20 orang staf FNPF, Isam mengkoordinasi untuk penanaman 3.500 bibit di wilayah Jerumbun dalam peringatan Hari Pohon Sedunia. Penanaman ini dilakukan secara bertahap di setiap harinya. Ada yang membawa bibit, sabit dan alat penggali tanah. Semua bekerja secara bersama. Ada bagian yang menggali, menanam, dan juga mengumpulkan polybag bibit. 

“Dahulu wilayah ini bekas terbakar karena memang bekas ladang orang Kumai,” ujar Isam. 

Meski terbilang masih lahan terbuka, beberapa pohon masih terlihat. Di antaranya cemara hutan, ubar, meranti, nyatuh, galam, pohon buah, dan tanaman obat. Jerumbun merupakan wilayah di luar kawasan hutan yang menjadi desa penyangga taman nasional. Lahan dengan luas 104 hektare ini dibeli oleh FNPF untuk ‘mengamankan’ lahan dari alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. 

Kata Isam, kunci dari restorasi adalah merawat pohon hingga tumbuh minimal 1 meter atau sekitar 3 tahun. “Saat melakukan restorasi, kalau di lokasi belum maksimal tumbuhnya, kita enggak akan pernah meninggalkan lokasi itu. Kalau mati, kita sulam (tanam ulang, red). Biasanya dari satu lokasi, keberhasilannya minimal 75% atau hanya 10% yang tidak tumbuh. ”

Ketekunan dalam merawat tumbuhan sudah menjadi aktivitas yang sangat menarik baginya. “Kalau bicara gaji, (kerja) ini tidak ada apa-apanya. Tapi saya banyak belajar dan berproses menjaga hutan disini,” tuturnya.  

Isam mengatakan sejak ada kegiatan restorasi di beberapa titik, baik penambang emas ilegal maupun kayu sudah jarang ditemui. “Karena ada yang menjaga.” Dia menambahkan restorasi tidak hanya persoalan memberi perlindungan hutan dan satwa di taman nasional tapi juga melindungi hutan dari ancaman kerakusan masyarakat. 

Kepala Desa Sungai Sekonyer Suriansyah mengatakan, kantor desa masuk dalam kawasan taman nasional. Tahun 1975, balai desa dipindah ke seberang utara Sungai Sekonyer karena ada rencana perluasan taman nasional. Bahkan, kuburan warga desa Sungai Sekonyer banyak dijumpai di dalam taman nasional. 

Awalnya, masyarakat banyak tinggal di rumah panjang yang berada di area Camp Leakey, area taman nasional. Mereka berladang secara nomaden. Sayangnya, populasi orang utan kala itu membuat masyarakat berpindah ke wilayah Tanjung Harapan sebelum akhirnya menjadi taman nasional dan masyarakat dipindahkan ke wilayah desa Sungai Sekonyer saat ini. 

Kini, ada 700 jiwa yang tinggal di desa Sungai Sekonyer, mayoritas bekerja di perkebunan sawit. Meski demikian, banyak masyarakat terlibat dalam konservasi di taman nasional dan juga wisata. Suriansyah bilang banyak masyarakat Sekonyer terlibat dalam kegiatan konservasi di taman nasional, khususnya anak muda. 

Namun Suriansyah mengakui, warga Sekonyer belum menuai manfaat yang maksimal dari keberadaan taman nasional, selain bekerja untuk konservasi. Meski memiliki dermaga, fasilitas ini belum terfasilitasi dengan baik untuk wisatawan. 

“Ya memang taman nasional memberi banyak manfaat buat masyarakat Sekonyer. Ada yang jadi pemandu wisata, ikut dalam kerja-kerja restorasi, menjaga alam, dan sebagainya. Tapi belum maksimal untuk desa,” ujar Acay, nama panggilan Suriansyah. 

Namun kondisi saat ini jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya dimana banyak masyarakat Sekonyer merupakan penambang kayu liar, lanjutnya. 

Upaya menjaga hutan ini juga menciptakan potensi wisata bagi taman nasional dan desa sekitarnya. Sebagai salah satu desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Tanjung Puting, desa Sekonyer memiliki kekuatan yang cukup besar dalam mengembangkan wisata. Tidak hanya wisata konservasi tapi juga budaya.  

Adut mengakui potensi wisata di desanya belum maksimal. Padahal sudah ada dermaga khusus menuju desanya. Dia pun berharap adanya dukungan dari pemerintah desa agar bisa memaksimalkan potensi yang ada sehingga terjadi peningkatan ekonomi masyarakat. 

“Jadi masyarakat pun tersadar bahwa dengan menjaga hutan, kita juga bisa memperoleh manfaatnya,” kata Adut. 

“Perlu semangat yang terus dijaga buat masyarakat untuk melindungi hutan kita. Bukan untuk kita saja tapi generasi selanjutnya,” ujar Adut.

Liputan ini merupakan kolaborasi Betahita dan Mongabay Indonesia yang di dukung oleh Dana Jurnalisme Hutan (Rainforest Journalism Fund) Pulitzer Center.

About the writer

Lusia Arumingtyas

Lusia started her journalism career in 2015 with Jawa Pos, in Jakarta. She currently works as a freelance journalist for Mongabay Indonesia, covering the capital city Jakarta and its greater areas. She...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.