Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, megaproyek ambisius Presiden Joko Widodo yang disebut banyak pengamat sebagai pemborosan dan hanya menguntungkan oligarki tapi menyingkirkan masyarakat setempat.

Suatu malam, ada pesan janggal menembus alam mimpi warga: Ratu Sungai datang membawa peringatan. Jika sungai terus diusik, manusia akan jadi korbannya. Ratu menagih manusia untuk mengembalikan “selendang” yang telah dirampas manusia.

Mimpi itu hadir tak lama setelah pembangunan proyek intake Sungai Sepaku. Tidak ada yang tahu pasti makna “selendang” itu. Tapi, warga percaya alam sedang mengamuk: Manusia merampas benda yang tak sepatutnya jadi miliknya.

Warga hanya bisa berharap cemas bukan mereka yang akan jadi korban amuk Ratu.

I

“Ih…, asap apa itu?” Syamsiah dan keluarganya sedang berkumpul di ruang tamu. Ada Siska, anak pertamanya, mengemong Cici, putrinya berusia satu tahun.

Televisi di depan mereka menyala, menyiarkan asap putih menyelimuti jalan raya dengan lalu-lalang kendaraan motor. Siska menontonnya sambil lalu sembari menggenggam tangan Cici yang enggan diam, sesekali meladeni celotehan-celotehan anaknya; ia tak peduli betul di mana sumber kejadian asap itu.

Tak lama kemudian Syamsiah datang dari arah dapur. Ia membawa nampan berisi nasi, ikan, sayur bening, dan sayur kangkung. Meletakkan nampan di lantai dan memanggil keluarganya untuk makan.

“Kayak di TV-TV itu nanti kita,” gumam Syamsiah sambil duduk dan menyendoki nasi untuk cucunya. “Mesin-mesin datang gusur rumah.”

Syamsiah bukan nama yang akrab bagi warga sekitar. Ia familiar dikenal “Mama Icha” atau “Ibu RT”, meski suaminya, Pandi, sudah tidak menjabat ketua RT. Pandi memutuskan menanggalkan Ketua RT sejak proyek intake Sungai Sepaku, bagian dari perencanaan Ibu Kota Negara, menggusur daerah rumahnya.

Pandi menjadi Ketua RT selama delapan tahun, lebih karena hampir tak ada warga lain yang mau menjabatnya. Namun, dalam usia mendekati 50 tahun, jabatan itu terlalu menguras tenaga dan mentalnya. “Capek! Ndak sanggup sudah,” katanya.

Syamsiah mengeluhkan pekerjaan suaminya, “Gajinya ndak seberapa, urusannya terlalu banyak. Bukan orang-orang kampung sini saja, bahkan kelurahan juga kita urus.”

Sudah kecil, tertimpa tangga pula. Gaji Pandi sebagai Ketua RT sempat tak dibayar selama enam bulan berturut-turut. Ini imbas dari kasus korupsi mantan Bupati Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Mas’ud, beberapa waktu lalu.

Syamsiah gemas, “Dia orang kaya. Makanya aku pilih. Aku pikir orang kaya ndak akan korupsi.”

Pihak kelurahan masih memohon-mohon kepada Pandi agar mau lanjut satu periode lagi menjabat Ketua RT. Tapi, Syamsiah kadung jengkel, “Sudah, ndak usah jadi RT. Mati aku kalau begini terus.”

Sejak pensiun, Pandi dan Syamsiah merasa bebas menolak secara tegas pembangunan intake Sungai Sepaku.

Dulu, berita-berita di televisi dianggap sekadar cerita nun jauh di sana bagi warga di Sepaku, sebuah kecamatan yang dipilih Presiden Jokowi sebagai kawasan pusat pemerintahan Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur. Semua hiruk-pikuk ibu kota ada di TV. Ada berita kriminalitas dari pencopetan, perampokan, korupsi. Artis-artis tenar ibu kota dan gosip rumah tangganya ada di TV.

Syamsiah juga tahu kasus-kasus penggusuran yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia dari TV.

Kini ia khawatir keluarganya akan mengalami nasib serupa. Bagaimana kalau tahu-tahu rumahnya diklaim oleh negara? Bagaimana kalau alat-alat beko datang, menghancurkan rumahnya? Bagaimana kalau keluarganya diusir? Apakah ia harus diam saja? Atau melawan? Tapi, apa kuat mereka melawan?

“Kapan, ya?” Ia was-was.

‘Bu RT’

SYAMSIAH DAN PANDI tinggal di rumah panggung di depan Sungai Sepaku. Ada jalan batu di depan rumah, yang biasa dilalui motor, truk, dan pikap menuju atau turun dari wilayah hutan tanaman industri (HTI) milik PT International Timber Corporation Indonesia Hutani Manunggal (ITCI HM), korporasi industri kertas milik konglomerat Sukanto Tanoto.

Letak rumah mereka agak tersembunyi. Dari jalan raya Sepaku, ada jalan kecil menuju permukiman yang dikenal wilayah “Sepaku Lama”, tempat tinggal mayoritas masyarakat asli Suku Paser dan Balik.

Menyusuri sungai, melewati masjid dan hamparan sawah, kemudian berjalan agak masuk, maka rumah Syamsiah dan Pandi bisa terlihat di sebelah kiri jalan—tepat sebelum jembatan mengarah ke wilayah konsesi PT ITCI HM.

Rumahnya terlihat rimbun dan penuh makhluk hidup. Tanaman-tanaman hias dipajang bertingkat di depan rumah. Ada pohon langsat (Lansium domesticum) yang batangnya sudah gemuk, tinggi, dan berdaun rimbun. Di bawah rumah panggung, ayam dan itik berkeliaran ke sana kemari.

“Nggak tahu sekarang nggak ada buahnya. Beberapa tahun ini nggak pernah aku lihat buah di sini,” Syamsiah bercerita soal pohon langsatnya. Ia menyapu teras rumah panggung sambil menggendong Cici.

Orangtua Cici, Siska dan Leon, mengontrak rumah petak di seberang mereka. Anak dan menantu itu telah berangkat kerja sejak pagi; Siska di kantor kelurahan dan Leon sebagai buruh harian PT ITCI HM. Syamsiah kebagian menjaga dan mengurus Cici sepanjang hari selama mereka bekerja.

Sebuah motor melaju melewati rumah Syamsiah. Pengemudi dengan lantang menyapanya, “Bu RT!”

“’RT! RT! Sudah turun!” Syamsiah mengomel.

Menjadi Ketua RT lebih berat ketimbang buruh harian, keluhnya mengenai pekerjaan suaminya dulu. Gajinya jauh lebih kecil, tetapi tanggung jawabnya jauh lebih besar, katanya. Ia sendiri kebagian kerepotan.

Karena tidak ada RW, Pandi melakukan tugas-tugas administrasi kelurahan hingga sosialisasi program-program sampai kebijakan baru dari pemerintah daerah kepada warga. Ia juga jadi tempat warga mengeluh dan menyampaikan keresahan.

Kadang ada keributan antar-warga di kampung. Pandi dan Syamsiah yang kena getahnya. Warga akan melapor ke mereka. “Masalah selingkuh, lah, lapornya ke RT semua. Aku heran betul. Ndak bisa mereka mengurus sendiri rumah tangganya?”

Suatu hari, menjelang Hari Raya Idulfitri, ada pertengkaran melibatkan orang luar kampung di seberang rumah mereka. Pandi tahu keributan biasanya muncul menjelang hari-hari besar. Ia biasanya minggat duluan sebelum terbawa-bawa. Pandi emoh kejadian sebelumnya terulang lagi; harus menangkap parang dengan tangan kosong.

“Minggat ke mana, Pak?”

“Kandang ayam sana.”

“…”

“Tempat omnya,” jelas Syamsiah.

Syamsiah mesti menengahi pertengkaran itu. Berbeda dari Pandi yang biasanya berusaha tenang, Syamsiah terbawa emosi.

“Kalian itu, lho. Datang keluar masuk. RT ndak dianggap. Ada keributan baru lapor sama RT. Lapor polisi sana!”

Keributan semacam itu tak pernah terjadi lagi tahun ini. Persoalan mereka berganti: Kampung mereka akan jadi Ibu Kota Negara.

“Aman dari keributan, ramai dengan IKN,” sungut Pandi.

Syamsiah turun dari rumah panggungnya, merapikan pot-pot tanaman hias yang jatuh kena tiban ayam yang melompat-lompat atau iseng menduduki pot. Ada keladi (Caladium), janda bolong (Monstera adansonii), tanaman-tanaman obat.

“Wah, ini tanaman paling dicari-cari di Jakarta,” kataku menunjuk janda bolong.

Syamsiah berdecak. “Di sini kami buang. Malas pelihara,” katanya.

Mudah saja mendapatkan tanaman-tanaman hias itu. Dulu, saat awal pandemi COVID-19, ia dan keluarganya menjelajahi hutan dan mendaki Gunung Parung untuk mengambil beberapa tanaman dan bibit bunga, lalu membawanya untuk ditanam di pot. “Dulu semua orang di sini berlomba-lomba menghias rumah dengan tanaman. Sekarang sudah malas,” lanjutnya.

Agak masuk ke belakang rumah, terpisah dari tanaman-tanaman hias, ada beberapa tanaman buah seperti jeruk, jambu, kelengkeng; semuanya di dalam pot.

“Aku tanam di pot-pot ini [untuk] jaga-jaga kalau digusur. Tadinya mau saya tanam di sini.” Syamsiah menunjuk ke tanah belakang rumah dekat aliran sungai. “Tapi aku sudah tidak bisa memindahkannya lagi. Nanti kalau ada alat masuk, sayang kalau sudah berbuah, kan. Kalau begini, pot-pot tanaman ini bisa langsung diangkat.”

Kekhawatiran Syamsiah bukan tak berdasar. Patok-patok untuk proyek IKN mulai terlihat di berbagai titik: di sepanjang jalan raya Sepaku, kini namanya diubah “Jalan Negara”; bermunculan patok-patok bertuliskan “Batas Kawasan Inti Pusat Pemerintahan”, dipasang di depan bangunan-bangunan rumah warga, kebun, hingga depan masjid.

Begitu pula di lahan seberang rumah Syamsiah. Ada patok-patok kayu di sekitar rumah dan kebun warga, meski mereka masih tidak tahu pasti proyek yang akan dibangun di sana. Mereka menduga akan ada pembangunan lanjutan untuk proyek bendungan.

Hanya sekitar 200 meter dari rumahnya, aliran Sungai Sepaku telah dibendung proyek intake.

Rencana awal, pembangunan bendungan ini terletak di daerah perkebunan HTI dan perkebunan-perkebunan warga, jauh dari permukiman. Namun, yang terjadi malahan pindah ke daerah RT 03 dan beberapa RT lain sehingga berdampak ke sedikitnya 96 keluarga.

Air sungai menuju ke hilir disetop dan dikeringkan. Ada beberapa rumah terdampak langsung dengan proyek tersebut: tak ada lagi air sungai di belakang rumah mereka. Sebagian bangunan-bangunan rumah kena potong. Tanaman warga seperti pakis, durian, hingga kelapa sawit juga kena tebang.

“Yang bikin kita was-was,” kata Syamsiah, “status kita ndak jelas. Sementara di kota-kota yang sertifikat rumahnya sudah lengkap saja tetap masih digusur.”

“Kita mau melawan juga ndak bisa. Kita kekuatannya itu apa? Sedangkan yang di kota-kota masih kalah.”

Ia kembali mengulang, “Mau melawan pakai apa kita?”

Syamsiah adalah keturunan Suku Balik, salah satu penduduk asli (indigenous people) di kawasan yang menjadi lokasi IKN. Kebanyakan status lahan dan rumah masyarakat asli Sepaku masih berstatus segel yang dikeluarkan oleh kepala desa. Status segel menunjukkan mereka memiliki rumah di atas “tanah negara”.

Suku asli Balik bersama Suku Paser telah menempati wilayah itu sejak sebelum zaman kemerdekaan. Berdasarkan kesaksian warga sekitar, nenek moyang mereka telah bermukim sejak 1930-an, bahkan ada yang memperkirakan sejak 1900-an. Kini, mereka hidup berdampingan dengan warga-warga lain dari latar belakang beragam: campuran Suku Paser dan Balik (menjadi Paser Balik), Dayak, Jawa, Bugis, Makassar, hingga para transmigran dari Nusa Tenggara Timur.

Dulu, sebelum ribut-ribut tempat tinggal mereka bakal lokasi IKN, kehidupan mereka relatif tenang. Hampir tak ada kasus pencurian. Warga merasa aman meninggalkan motor tanpa dikunci di pinggir jalan. Jendela rumah dibuka begitu saja meski tak ada orang di rumah. Pintu-pintu rumah dibiarkan terbuka pada malam hari.

Tetapi, semua itu perlahan berubah. Kehidupan mereka mulai mendekati seperti cerita di televisi. Bahkan mereka masuk TV. Wartawan berdatangan. Mereka kaget melihat ada “orang bule” dari media internasional datang ke kampung. Ketika Najwa Shihab dari Narasi TV mampir ke rumah kepala adat, warga bercerita tentang pengalamannya mengajak “orang yang sering muncul di TV” berfoto. Mereka ikut diwawancarai.

Berkali-kali wartawan datang, berkali-kali pula warga mengeluhkan hal sama.

Syamsiah berkata suara mereka “seperti percuma. Ndak didengar. Tetap saja ada intake, tetap jadi ibu kota.”

“Bukan kami melarang jadi ibu kota, cuma kalau bisa kami diperhatikan juga.”

Kementerian PPN/Bappenas menargetkan ada sekitar 1,7-1,9 juta orang baru yang akan menjadi penduduk IKN. Lonjakan jumlah populasi ini, di satu sisi, bisa jadi membuka berbagai kemungkinan baru, dari pendidikan, layanan kesehatan, sampai lapangan pekerjaan. Tetapi, apakah masyarakat asli mampu mengaksesnya?

Suka asli Sepaku membayangkan nasib mereka akan seperti orang Betawi di Jakarta. “Jangan sampai kita jadi seperti Betawi. Ada ondel-ondel, tapi dimainkan di lampu merah,” sebut Pandi.

Proyek intake IKN memecah suara warga

ADA UANG GANTI RUGI sebesar Rp180 juta untuk setiap kavling rumah serta tanaman tumbuh yang tergusur proyek intake. Warga yang sungai di belakang rumahnya mengering pun diberikan jatah air tandon dari perusahaan setiap hari.

Tetapi, pembendungan Sungai Sepaku tak cuma berdampak ke warga yang rumahnya dianggap “terdampak langsung”.

Proyek intake juga berbuntut pembongkaran pemakaman warga. Awalnya, proyek ini memotong jalur masuk ke daerah pemakaman, para pekerja proyek memasang portal di depan kuburan dan masyarakat dilarang memasukinya. Lokasi kuburan ini pun ditutupi terpal. Lambat laun, tak hanya ditutup, kuburan warga telah dibongkar.

Ini jadi kegelisahan Syamsiah. “Belum apa-apa, sudah seenak-enaknya saja.”

Selain lokasi pemakaman tersebut, ada satu pemakaman lagi di seberang sungai. Sejauh ini, lokasi kuburan itu masih belum disentuh proyek. Di sana terkubur orangtua Syamsiah dan seorang keponakannya. Syamsiah bertanya-tanya: Bagaimana caranya agar kuburan-kuburan keluarganya tidak digusur?

Sembari duduk di teras rumah panggungnya, Syamsiah menggaruk-garuk tangan. Gatal-gatal. Ia baru selesai mandi. Dewi, anaknya paling bungsu kelas 4 SD, juga terus menggaruk-garuk kepalanya. Syamsiah kesal sekali melihatnya.

“Kamu kenapa sih? Kayak kuntilanak gitu rambutmu! Digaruknya itu, lho. Joroknya, Dewi.”

Tak berselang lama, Siska meminta Syamsiah mengecek perut Cici yang “merah beruntusan.”

Syamsiah menyingkap baju Cici. Perutnya kemerahan dan kasar seperti eksim. “Iya. Kenapa, ya?”

Ndak tahu. Habis mandi langsung gatal-gatal.”

Syamsiah mengeluhkan air sungai di belakang rumahnya semakin keruh sejak proyek intake. Tanah di sekitar tanggul intake dikeruk dan airnya dibuang ke arah hulu sehingga menutup dan mengeringkan sungai.

Lumpur-lumpur yang dikeruk itu terbawa sepanjang aliran sungai hingga ke belakang rumah Syamsiah. “Jadi kalau ada lumpur, hujan sedikit, masuk sudah.”

Air yang keluarganya gunakan untuk mandi dan mencuci baju sehari-hari itu berwarna seperti kopi susu. Mereka tak punya tandon untuk menampung dan menyaring air terlebih dahulu. Syamsiah sekadar menaburkan tawas ke air sungai yang telah ditampungnya.

Ia agak beruntung jika hujan turun. Air hujan yang lebih jernih itu ditampung di baskom-baskom. Tetapi, belakangan, hujan pun tidak deras lagi. Baskom plastiknya hanya terisi setengah penuh air.

Pembangunan intake Sungai Sepaku telah berjalan sejak awal 2022. Proyek ini dikerjakan PT Adhi Karya (Persero) Tbk., bagian dari rencana pemenuhan ketersediaan air untuk IKN dengan kapasitas sekitar 1.100 liter/detik. Lokasi pembangunan intake dekat rumah Syamsiah ini membutuhkan luas tanah 13,2 ha, mencakup tiga lokasi: Kelurahan Sepaku seluas 4,63 ha, Desa Bukit Raya 4,66 ha, dan Desa Sukaraja 8,53 ha.

Ketika ada rencana pembangunan intake, warga menyampaikan penolakan kepada Pandi yang saat itu masih Ketua RT. Selama ini daerah mereka telah sering banjir saat sungai meluap. “Jika tidak dibendung saja banjir, bagaimana jika dibendung?” ungkap Pandi.

Perusahaan sesumbar bahwa proyek itu akan menjamin tak ada lagi banjir di wilayah Sepaku hingga 100 tahun ke depan. Seorang warga berkomentar, “Jangan melampaui Tuhan! Namanya cuaca alam, kita tidak bisa pastikan.”

Akhir 2020, perwakilan pemerintah daerah, yaitu bagian dari badan pengadaan tanah, melakukan sosialisasi ke sejumlah RT dan kelurahan terkait rencana pembangunan bendungan intake di daerah Sepaku.

Para warga mendatangi Pandi; mereka sepakat membuat surat pernyataan sikap untuk dikirim ke dinas pengadaan tanah di Samarinda, pusat pemerintahan provinsi Kalimantan Timur.  Dalam surat itu, mereka menyebutkan sejumlah pertimbangan atas penolakanya.

Pertama, sungai adalah sumber penghidupan masyarakat Sepaku, yang kebanyakan bertani, berkebun, atau menjadi nelayan punya hubungan erat dengan sungai. Warga juga memanfaatkan sungai sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari dan sebagai moda transportasi..

Nama daerah mereka, Sepaku, diambil dari nama Sungai Sepaku. “Sepaku” berasal dari kata “Paku” atau “Pakis”, tanaman yang tumbuh di sepanjang tepi sungai.

Alasan-alasan lain yang menjadi kekhawatiran warga adalah titik lokasi sungai berada di lokasi makam leluhur. Di seputar wilayah ini, ada pula situs-situs sejarah seperti batu badok dan batu tukar tondol yang dipercayai warga sebagai peninggalan leluhur dan tempat melakukan ritual adat.

Ada lebih dari 100 orang menandatangani surat penolakan tersebut.

Tetapi, saat sosialisasi kedua di kantor kecamatan dihadiri pihak pemerintah daerah dan perwakilan PT Adhi Karya, suara warga terpecah. Ada yang setuju, ada juga yang keberatan tetapi merasa tak berdaya untuk menolak. Akhirnya, warga yang terdampak langsung dan berhak mendapatkan ganti rugi menandatangani surat persetujuan.

Pandi sempat mengadakan pertemuan sendiri dengan warga di masjid. Khusus bagi warga yang terdampak langsung, ia bilang, “Tolong nyatakan dengan benar. Kalau menolak, katakan menolak. Kalau setuju, katakan setuju.” Saat pertemuan itu, satu orang dari RT 03 bersuara dan bilang setuju.

“Dalam pikiran [orang tersebut], kalau diganti [dapat ganti rugi] lumayan. Saya tidak bisa memaksakan,” ungkap Pandi.

Pandi, yang rumahnya dianggap tidak terdampak langsung oleh proyek intake, tidak lagi mengikuti proses penandatangan dan penyerahan sertifikat. Ia tidak tahu pasti apakah warga yang menandatangani benar-benar setuju atau tidak.

Sejumlah warga lain mengungkapkan seakan dipaksa dan dimanipulasi untuk menandatangani persetujuan.

Medan, warga dari  Desa Bumi Harapan dan memiliki tanah di Sepaku, berkata pihak perwakilan PT Adhi Karya memintanya menandatangani surat tanpa kop. Belakangan, ia mengetahui surat itu dianggap tanda persetujuan penyerahan tanahnya.

“Disuruh tanda tangan saja. Saya nggak tahu itu tanda tangan apa,” cerita Medan. “Bagi yang nggak mau, tetap tanda tangan, tapi disuruh maju ke pengadilan.”

Hal serupa diungkapkan Mustafa, warga yang bagian dapur rumahnya terpotong proyek intake. Perwakilan perusahaan menyuruhnya ke pengadilan jika menolak. “Kalau bapak mau, terima. Kalau ndak mau, tuntut di meja hijau,” Mustafa mengulang apa yang disampaikan orang perusahaan.

Tak seperti warga “terdampak” yang mendapatkan kompensasi uang ratusan juta dan kiriman air setiap hari dari PT Adhi Karya, tempat tinggal Syamsiah dan Pandi tidak dianggap “terdampak”, sehingga mau tak mau tetap menggunakan air keruh dari Sungai Sepaku untuk kebutuhan sehari-hari.

“Apa ada rencana untuk protes ke perusahaan?”

Pandi sudah putus asa, “Bisa saja saya membuat tindakan kalau semua warga kompak. [Sebelumnya] saya membuatkan pernyataan [menolak], ternyata banyak yang setuju. Saya ndak mau terjadi yang kedua kali, nanti saya yang kena.”

“Lalu, bagaimana dengan masalah air?”

“Saya ingin langsung ketemu pimpinan mereka. Minta secara pribadi. Itu pun kalau dikasih. Kalau mau bantu, ya, syukur. Kalau ndak, ya, nggak berharap.”

II

‘Si Pengoceh’

KONON ADA KIRIMAN MIMPI kepada orang-orang Sepaku tak lama setelah proyek bendungan intake. Ratu-ratu sungai akan membalas dendam sebab ketenangan dan habitatnya telah dirusak. Siapa saja yang melintasi sungai bisa jadi tumbalnya.

Ada yang menganggap itu takhayul. Ada juga yang mempercayainya sebagai sebuah peringatan alam.

Becce salah satunya. Ia tidak berani lagi pergi ke sungai sejak mendengar desas-desus itu. Ia biasanya naik perahu ke sungai untuk mengambil daun nipah di pinggir-pinggir sungai. Daun nipah ini dianyam Becce menjadi atap rumah. “Sekarang Takut. Ada buaya.”

Keberadaan buaya sebenarnya hal biasa sejak dulu. Nenek moyang warga Sepaku hidup berdampingan dengan buaya. Buaya-buaya ini biasa timbul tenggelam dan berjemur di pinggir-pinggir sungai, tetapi tidak menyerang manusia.

Seorang warga menceritakan kisah di masa lalu. Mertuanya sedang mandi di sungai di belakang rumah ketika seekor buaya melewatinya. Si warga hanya mendengar dari dalam rumah bahwa mertuanya sedang mengobrol. Ia seperti bilang permisi hendak mandi di sungai.

Sambil hendak membuang sampah, ia menghampiri si mertua. “Ngomong sama siapa, Mbok?”

“Sama nenek.”

Si warga celingak-celinguk mencari neneknya, “Mana ada nenek, Mbok?”

Ia dengan sembarang membuang sampah ke sungai ketika mertuanya menghardiknya, “Jangan buang sembarangan! Nanti nenek marah.”

Belakangan ia baru sadar “nenek” yang mertuanya maksud adalah buaya. Ukurannya sebesar pintu rumahnya.

Berbeda dengan dulu, kini sekadar mencari daun pakis di pinggir sungai, warga takut. Buaya naik ke dataran, mengamuk. Buaya-buaya menyerang makhluk hidup, entah ayam dan itik-itik warga atau warga sendiri.

Ketika sedang memancing dari belakang rumahnya, Becce menyaksikan buaya keluar dari sungai dan memakan ayam yang berkeliaran dekat sungai. Becce langsung menarik pancing dan masuk ke rumah. Tak jauh dari tempat buaya itu memangsa, anak-anak sedang bermain dan memancing di sepanjang sungai.

Foto seorang warga yang setengah badannya dimakan buaya beredar di grup-grup WhatsApp keluarga dan RT. Si warga sedang mengumpulkan pumpun (umpan ikan seperti cacing) di pinggir sungai ketika tiba-tiba mulut buaya mencengkram tangannya. Buaya menyeret tubuhnya ke tengah sungai. Lima buaya lain ikut menyantap tubuh orang tersebut.

“Mayatnya baru ditemukan setelah tiga hari. Isi perutnya menghilang. Sepotong saja yang dikubur.”

Warga tak mau makan daging makhluk hidup beberapa hari setelahnya. Daging sapi rebus mengingatkan mereka pada usus si warga yang terburai. Daging ikan membuat mereka membayangkan bagaimana jika ikan-ikan itu juga ikut menyantap sisa-sisa tubuh orang tersebut.

Di sejumlah daerah Penajam, ada banyak kasus kematian lain. Beberapa jasad belum juga ditemukan.

Becce merasa serba salah. Ia tahu manusia bersalah. Buaya itu juga korban dari kerakusan manusia dan korporasi menghancurkan habitatnya dan hutan. Tetapi ia dan warga-warga setempat juga adalah korban.

Becce tinggal di dekat sungai yang menjadi titik pembangunan intake. Syamsiah mendengar bahwa rumah Becce sempat kecipratan masalah. Pipa air yang menyedot air sungai tertimbun tanah dan mampet karena kegiatan proyek. Becce memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan mandi, memasak, bahkan minum. Ia memasak air sungai dengan kayu lebih dulu sebelum dikonsumsi.

“Pas perusahaan masuk, langsung saja ditimbun-timbun.” Syamsiah menceritakan keluhan Becce. Becce kini membuat pipa baru ke arah aliran sungai yang tidak terdampak proyek.

Selain masalah pipa, Becce tak bisa lagi melintasi sungai di belakang rumahnya yang sudah dikeringkan. Perahu kayunya tergeletak begitu saja di belakang. Berbagai macam pohon seperti pisang, nipah, dan rotan yang ia tanam juga ditebang habis oleh perusahaan.

Becce mendapatkan julukan “tukang ngoceh” oleh orang-orang proyek bendungan intake. Ia mendatangi orang-orang proyek dan protes beberapa kali. Mesin bor yang beroperasi persis di belakang halaman rumahnya bikin bising. Proyek berlangsung hampir non-stop sepanjang hari. Terkadang, mesin baru berhenti beroperasi saat tengah malam.

“Kalau memang salah di hatiku, aku ngoceh memang. Sebetulnya memang aku ndak mau ada IKN di sini. Cuma karena sudah terjadi, ya, mau diapakan,” ujar Becce, yang sedang duduk di dalam rumah.

Sambil merokok, Becce melipat daun nipah di antara kayu bambu. Ia menusuk daun-daun nipah itu dengan pelepah nipah untuk dijahit menyambung dengan bambu. Proses itu diulanginya beberapa kali hingga seluruh bambu tertutup daun.

Ia menjual Rp3.500 per satu buah atap. Jika sekali pesanan 100 buah saja, ia sudah mengantongi Rp350.000. Becce biasanya bisa menyelesaikan 40-an buah atap setiap hari, tetapi kini pikirannya semrawut.

“Aku ndak senang memang kalau IKN ke sini. Hidup kita susah, dibikin makin susah. Ndak tenang semua, lah.”

Rentetan persoalan hidup Becce berjalan setelah proyek intake berlangsung. Suatu pagi, anak perempuannya, berumur 20 tahun, tiba-tiba bangun dari tidur dengan perilaku yang berubah drastis: tak mau makan, minum, ataupun berbicara.

Ada yang percaya ia kena gendam setelah pernah menolak lamaran seorang pria. Ada juga rumor ia kena kutukan alam akibat proyek intake. Hampir bersamaan, anak perempuan mandor proyek intake juga mengalami hal sama. Tetapi, ada juga yang skeptis dan menganggap itu semua takhayul.

Becce tak tahu mesti percaya apa. Ia hanya ingat dulu anak perempuannya adalah pribadi ceria, gesit, dan bisa diandalkan. Di depan rumah, terlihat lampu-lampu LED kecil seperti yang biasa digantung di pohon Natal menghiasi atap rumah. Dulu anak perempuannya yang memasangkannya.

Suara mesin bor yang memasang baja penutup sungai terdengar jelas dari rumah Becce.

Becce sedang menumis jamur yang diambilnya dari belakang rumah. Ia juga merebus rotan untuk dibuat sayur. Lantai ruang dapurnya basah karena atap rumah bocor.

“Aku memang kurang telaten bersih-bersih. Kalau anakku yang sakit itu … yang biasa ngurus dapur, warung, semuanya dia,” katanya dengan nada murung.

Anaknya kini dirawat di sebuah “panti rehabilitasi” di Berau, sebuah kabupaten di Kalimantan Timur berjarak sekitar 670 km dari Sepaku.

Becce sering menangis saat terbangun di pagi hari. Ia emoh makan; pikirannya  kalut mengkhawatirkan kondisi anaknya. “Yang aku jengkel dan ndak habis pikir—kata ustaz yang merukiah di sana, katanya orangtuanya bersekutu dengan iblis. Musyrik, dibilangnya. Astaghfirullah, ku bilang,” cerita Becce. “Masih juga kami kena kayak gini.”

Rumah Becce kini terancam digusur. Ia merasa tinggal menunggu waktu hingga ia mesti naik pitam lagi. Berdasarkan video desain intake yang disosialisasikan pihak PT Adhi Karya kepada masyarakat, tidak ada lagi rumah-rumah di pinggir sungai, berganti taman dan jalanan setapak. Pihak perusahaan belum mengomunikasikan potensi penggusuran ini kepada masyarakat.

Becce telah merasakan kebunnya di daerah Nenang kena gusur proyek pemerintah. Ia tak mau lagi berdiam diri jika rumahnya mengalami kejadian serupa. “Jadi sekarang aku bilang, aku ndak mau pindah-pindah. Biar diapain, tetap di sini. Sudah capek aku pindah,” katanya, kesal.

“Aku bilang, kami ini mau lari ke mana lagi?”

Proyek dikebut. Harga tanah melonjak.

Warga Sepaku menilai proyek IKN seperti bendungan intake yang hadir di depan mereka terkesan buru-buru. Dikebut.

Tapi, itu bukan cuma kesan warga. Target penyelesaian proyek IKN memang ambisius sejak dicetuskan Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2019. Proyek intake tahap satu, misalnya, harus selesai pada akhir tahun 2022.

Saat Jokowi melakukan kunjungan kerja ke wilayah IKN, jalan di sepanjang Kota Samarinda yang biasanya berlubang dibuat mulus. Seluruh titik jalan yang hendak dilintasi rombongan Jokowi ditambal hingga diaspal ulang.

Pom bensin yang biasanya selalu antre panjang menjadi sepi pelanggan.

“Oh, stok bensinnya ditambah?”

“Mana ada,” seorang warga Samarinda yang bekerja sebagai sopir dan biasa mengantar jemput pihak-pihak yang terlibat di proyek IKN menjawab. “Orang-orang yang antre diusir tentara. ‘Bapak datang!’”

Menjelang Jokowi datang untuk berkemah pada Maret 2022, misalnya, lokasi Titik Nol dibenahi secara kilat, dari membuka jalan, memasang konblok, pemasangan listrik yang selesai dalam tiga minggu. Pekerjaan dikebut selama 24 jam dalam tiga shift. Tentara-tentara mengawasi para pekerja.

Kini, Titik Nol sudah jadi lokasi wisata. Meskipun, akses masuknya dijaga ketat tentara. Masyarakat hanya bisa memasukinya pada akhir pekan. Setiap kendaraan yang datang diharuskan mengisi daftar hadir. Malam hari menjelang tutup, tentara biasa mengecek lokasi untuk memastikan tak ada seorang pun di kawasan Titik Nol IKN.

Desa Bumi Harapan, berjarak 10 km dari Kelurahan Sepaku, menjadi salah satu wilayah yang merasakan “diburu-buru Badan Otorita IKN”. Desa ini yang paling banyak terkena patok Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). Kastiyar, Kepala Desa Bumi Harapan sejak 2018, tidak diberikan cukup waktu kesempatan untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Kastiyar pernah diundang Badan Pertanahan Nasional (BPN) Balikpapan untuk membahas wilayah KIPP. BPN menginformasikan ada sekitar 300 tanah warga di Desa Bumi Harapan dan Kelurahan Pemaluan yang masuk wilayah tersebut.

Ketika Kastiyar meminta waktu satu minggu untuk menginformasikan hal itu kepada masyarakatnya, usulnya ditolak. Ia hanya diberi satu hari untuk membicarakannya.

“Mungkin mereka sudah didesak oleh [pemerintah] pusat untuk secepatnya pemasangan KIPP,” katanya.

Tak semua warganya yang terdampak bisa hadir saat sosialisasi. Warga yang datang diberi informasi tentang tujuan ada patok, dasar KIPP masuk ke wilayah desa, hingga sistem ganti rugi.

Tetapi, besaran ganti rugi tidak diberitahu saat itu. Hingga kini warga belum tahu berapa harga tanah per meter persegi. Pihak pemerintah hanya menjamin warga akan mendapatkan “ganti untung”, bukan “ganti rugi”.

Ganti rugi, ganti untung, atau terserah bahasa mereka itu,” kata Kastiyar. “Saya ingin tahu mereka pakai nominal per meter persegi berapa. Kalau sudah ada kepastian, kami bisa menyampaikan kepada warga yang menanyakan.”

Di sisi lain, nilai jual lahan-lahan di pinggir jalan raya di wilayah Bumi Harapan hingga Pemaluan telah melonjak tinggi.

Pemerintah daerah melalui instruksi gubernur telah melarang penerbitan sertifikat ataupun pelepasan hak tanah selama proyek IKN berlangsung, tetapi makelar tanah tetap bermain di luar hukum.

Plang-plang “disewakan/dikontrakkan” terlihat berderet di sepanjang jalan dengan nomor kontaknya. Ketika dikontak, si makelar menawarkan opsi jual tanah “di bawah tangan”. Harga tanah telah mencapai rata-rata Rp3 miliar/ha, bahkan Rp18,5 miliar/ha, untuk wilayah sekitar KIPP.

Padahal, saat belum ada keributan Ibu Kota Negara, harga tanah masih puluhan juta rupiah per hektare.

Instruksi gubernur melarang penerbitan sertifikat di wilayah KIPP sebenarnya respons dari maraknya kasus tumpang-tindih tanah sejak wacana IKN bergulir. Medan’, warga Desa Bumi Harapan, adalah salah satu korbannya. Tanahnya seluas 6 ha berstatus segel, tapi ada makelar tanah menerbitkan sertifikat di atas tanah tersebut lalu menjualnya ke orang lain.

Pada saat yang sama, Desa Bumi Harapan kebanjiran penduduk baru. Mereka tidak tinggal di Bumi Harapan, tapi domisilinya terdaftar di desa tersebut. Kastiyar kesulitan mendata jumlah penduduk Desa Bumi Harapan karena ketidaksinkronan data yang dimilikinya dengan data di Dukcapil online.

Warga dapat memindahkan domisilinya secara online melalui Dukcapil, tanpa harus menginformasikannya ke pemerintah desa. Pihak desa mencatat ada sekitar 570 KK menetap di Bumi Harapan. Tetapi, jika mengacu data Dukcapil, angkanya jauh lebih tinggi. “Ada pembengkakan jumlah warga Desa Bumi Harapan di Dukcapil. Sistem pindah penduduk online lewat Dukcapil, tapi Dukcapil ndak ada informasi ke kita kalau ada tambahan warga,” Kastiyar mengeluh.

“Saya rasa mereka pindah ke sini karena mereka menyiasati itu. Sehingga nanti kalau ada proses transaksi, sudah dibeli, tinggal pindah ke sini.”

Ironisnya, instruksi gubernur melarang jual-beli tanah telah menghambat masyarakat setempat mendapatkan pengakuan secara hukum atas tanahnya. Kastiyar menyebut lebih dari 200 pengajuan sertifikat tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang terkatung-katung.

“Pemerintah sebutnya ditangguhkan, bukan dibatalkan,” sebut Kastiyar.

Akses pendidikan timpang. Bagaimana nasib anak-anak?

Syamsiah memiliki enam anak. Semuanya sudah lulus SMA/SMK, kecuali anak perempuannya paling bungsu bernama Dewi.

Dewi kerap jadi sasaran omelan Syamsiah. Ia frustrasi putrinya belum juga lancar membaca. Syamsiah berhenti bekerja demi memantau pendidikan Dewi.

Ia ikut datang ke sekolah dan berkacak pinggang di depan pintu ruang kelas Dewi. “Kalau ndak begitu, dia ndak mau nulis,” gerutu Syamsiah.

Gurunya berusaha mengusir Syamsiah dengan lembut, “Tinggal aja, Bu. Nanti mau tahu sendiri–”

“Kapan mau tahunya? Anakku ini kok dibiar-biarkan. Ndak bakal tahu kalau ndak diajarin.”

“Dia tambah ndak mau menulis kalau ada ibu.”

“Buktinya ndak ada aku juga ndak pernah dapat nilai kalau pulang!”

Dewi sedang di rumah, duduk di samping Syamsiah sambil mengunyah buah mangga saat ibunya menceritakan ini. Saat itu sedang liburan sekolah.

“Mau jadi apa kamu nanti, Wi?”

Dewi merengut mendengar ibunya.

Anak pertama Syamsiah, Siska, bekerja di kelurahan di bagian administrasi. Ia mengambil jurusan administrasi perkantoran ketika SMK. Ketika masih sekolah, Syamsiah sengaja mendaftarkan Siska kursus komputer, biayanya Rp900 ribu dengan dibayar mencicil beberapa kali.

Untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya itu, Syamsiah harus bekerja; tak cukup bergantung pada gaji suaminya, Pandi, yang pernah jadi Ketua RT.

“Walaupun saya sering tengkar sama bapak gara-gara kerja,” ceritanya.

“Kenapa?”

“Kan, kalau kerja, pasti ndak terurus sekali rumah. Tapi tetap juga aku berusaha mengurus rumah.”

Masuk SMK butuh biaya tak sedikit. Setidaknya perlu mengeluarkan duit untuk membeli seragam hingga laptop. Uang jajan. Juga kebutuhan tak terduga. Syamsiah perlu mencicil 2-3 kali untuk bisa membeli baju seragam anak-anaknya. Ia membelikan anaknya laptop bekas, “Kalau yang baru, mana mampu beli.”

Ketika Randy, anak kelimanya masuk TK, Syamsiah mulai bekerja di PT International Timber Corporation Indonesia Hutani Manunggal (ITCI HM). Ia bekerja di bagian biasa disebut “lokasi”, yaitu pekerja yang bertugas menanam, menyemprot, memupuk pohon-pohon monokultur untuk industri kertas milik taipan Sukanto Tanoto itu. Syamsiah perlu berjalan kaki naik turun hutan.

“Medannya itu, aduh, ndak enak! Kadang-kadang biar lagi bulan puasa masuk kita kerja. Tapi, kalau sudah lihat gunung, aduh, ndak sanggup! Sampai atas sudah putus tenggorokan ini.”

Di satu tangan, ia membawa golok untuk merintis hutan yang masih lebat. Di satu tangan lain, ia membawa bibit atau pupuk, tergantung kebutuhan. Setiap hari, lahan yang ditempuhnya 20-30 ha.

Setiap hari pukul 06.30 pagi, Syamsiah dijemput kendaraan pikap menuju lokasi kerja. Ia biasa bangun pukul 05.00. Ia mencuci piring dan baju kotor jika ada. Ia memasak untuk keluarganya, membawa bekal makan untuk dirinya.

“Kalau ndak dimasakin, mau makan apa mereka di rumah? Pokoknya ibu-ibu yang kerja harian begitu sudah!”

Syamsiah bekerja sebagai buruh harian selama sekitar empat tahun. Anak-anaknya yang masih TK saat itu dititipkan ke adiknya, seorang kepala PAUD (pendidikan anak usia dini). Setelah itu, anak sulungnya, Siska melahirkan, dan ia kebagian mengurus cucunya.

“Kangen kerja lagi?”

“Kepengin, sih,” jawab Syamsiah. “Tapi, aku pikir-pikir, mau ndak ya sekarang aku naik turun gunung? Di rumah saja rasanya badan sudah sakit semua,” Syamsiah tertawa.

Kini selain Dewi yang masih SD, tersisa satu anaknya lulusan SMA yang belum bekerja. Syamsiah mengeluh sulit sekali menemukan lapangan kerja bagi lulusan SMA di tempatnya. Sementara, anaknya yang lain, Andi, bekerja sebagai buruh harian proyek intake, yang diupah Rp120ribu/hari.

Pandi ikut mengeluh tentang nasib anaknya yang seperti tidak berubah dari nasibnya dulu. Sama-sama “kerja serabutan”.

“Dia [Andi] di bagian laboratorium. Ambil sampel. Tapi bagian lab kok kerjanya serabutan begitu?”

III

PADA 1994, saat masih bujang, Pandi secara tak sengaja mengadu nasib di Jakarta. Itu jadi kali pertama dan terakhirnya. Ibu kota adalah tempat yang keras. “Sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam ibu kota,” katanya pahit.

Sebenarnya, rencana awalnya bukan ke Jakarta. Tahun itu, Pandi diiming-imingi pekerjaan dengan gaji besar di Sumatera. Tugasnya menebang kayu bakau di hutan untuk dijadikan kayu bakar. Ia memikul, menumpuk, dan menimbunnya ke tanah. Di Kalimantan, pekerjaan harian semacam itu dihargai Rp4 ribu/hari. Pandi dan kawan-kawannya dijanjikan upah Rp10ribu/hari.

Pandi dan sekitar 100 orang warga dari Sepaku terbujuk ke sana. Masing-masing mendapatkan uang saku Rp100 ribu.

Tetapi, hingga tiga bulan bekerja, mereka tidak mendapatkan upah. Pemberi kerjanya beralasan, mereka belum mendapatkannya sebab uangnya dipakai membayar ongkos pergi ke Sumatera.

Penduduk setempat bilang ke Pandi bahwa mereka dibohongi, “Di sini saja banyak yang masih menganggur.”

Dari Sumatera, Pandi tak bisa pulang ke Kalimantan. Uang saku Rp100 ribu yang masih disimpannya hanya cukup membiayai ongkos kapal sampai Jakarta. Ia punya rencana mengumpulkan uang hingga cukup di Jakarta, barulah pulang ke kampung halaman.

Pandi mengerjakan apa saja. Menjadi kuli hingga memikul barang di pelabuhan. Upahnya Rp2-3 ribu/hari. Ia tak punya tempat tidur. “Saya tidur di pelataran masjid. Itu pun diusir terus sama satpam,” katanya. “Setiap malam saya nangis.”

Tiga bulan Pandi menghabiskan hidup di Jakarta, tetapi belum kesampaian juga ongkos yang ia butuhkan. Pilihan Pandi semakin terbatas, sementara hidup semakin berat. Ia terpaksa melakukan hal yang belum pernah dilakoninya seumur hidupnya: mencopet.

Pandi menjambret tas seorang perempuan yang keluar dari pusat perbelanjaan di Jakarta Utara. Ia bersembunyi di dalam got sampai tengah malam, lalu membuka tas perempuan itu: isinya uang Rp1,2 juta dan dokumen-dokumen pribadi seperti KTP, SIM, dan STNK.

“Tasnya saya kembalikan,” ujar Pandi.

Ia merasa bersalah. Memutuskan menyerahkan diri. Naik taksi ke rumah pemilik. Mengembalikan tas beserta seluruh barang dan uang di dalamnya.

“Saya bilang ke ibunya, ‘Kalau mau melapor ke polisi, silakan.’ Saya cuma kepepet mau pulang.” Pandi menunjukkan KTP dengan alamatnya di Kalimantan.

Si ibu tak jadi marah, mengajak Pandi makan di rumahnya, kemudian menawarkan diri untuk membelikan tiket pesawat pulang. Tapi, Pandi menolak.

“Saya tidak pernah naik pesawat. Mati saya nanti. Takut mogok pesawatnya di atas,” kelakar Pandi sambil terkekeh.

Pandi akhirnya pulang dengan kapal ternak.

Selama 10 hari, ia makan tidur bersama sapi dan kambing. Ia juga ikut membantu menyemprotkan dan membuang kotoran para ternak. Hari terakhir, Pandi diturunkan di Samarinda, kemudian melanjutkan perjalanan ke kampung halaman.

Berkaca dari pengalaman itu, Pandi percaya bahwa orang seperti dirinya tidak akan mampu bertahan hidup di kota besar. Ia mengibaratkan dirinya seperti seekor ikan. “Jika ditaruh di darat, mati,” sebutnya pelan.

Sebelum menjadi ketua RT, Pandi sempat mencoba berbagai macam pekerjaan.

Pada 1986, ia bekerja di PT International Timber Corporation Indonesia (ITCI), saat itu masih dimiliki konglomerat Hashim Djojohadikusumo, dengan gaji Rp4 ribu/hari. Ia pernah membuka warung di depan rumah bersama Syamsiah, tapi bangkrut. Pandi lanjut peruntungan dengan bekerja mengolah sampah di Balikpapan selama tiga tahun, mengontrak rumah bersama Syamsiah. Pada 2014, Pandi lanjut bekerja jadi buruh harian di bagian audit tanam dan semprot di PT ITCI HM (milik konglomerat Sukanto Tanoto), dengan gaji sekitar Rp30 ribu/ hari.

Hampir seluruh penduduk setempat bekerja di perusahaan dengan sistem harian, yang berarti mereka tidak akan mendapatkan upah jika tidak bisa masuk kerja. Mereka biasanya mendapatkan gaji setiap dua minggu. Terkadang, meskipun perusahaan mengalokasikan biaya untuk iuran BPJS Ketenagakerjaan, pekerja bisa tidak mendapatkannya. Semua itu bergantung pada belas kasih dari kontraktor yang mempekerjakan mereka. Ihwal inilah pernah terjadi pada Pandi.

“Saya dulu pernah setiap bulan bayar, dipotong gaji. Cuma, begitu saya cek di BPJS, kosong. Artinya, dari kontraktor nggak menyetor.”

Pandi bilang pekerjaannya jadi “serabutan” sejak pemerintah menetapkan larangan berkebun bagi warga setempat.

Ada empat fase perampasan yang terjadi pada suku Paser dan Balik. Baca cerita mereka selengkapnya disini.


Editor: Fahri Salam

Feature oleh Permata Adinda ini adalah bagian dari serial liputan #IbuKotaBaruUntukSiapa, kolaborasi Project Multatuli dan Trend Asia dan pertama terbit di Project Multatuli dan direpublikasi di sini menggunakan lisensi Creative Commons.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.