Kelestarian Kepulauan Aru terancam diambil alih oleh peternakan sapi yang membentang hampir 62 ribu hektar, termasuk 16 desa yang menjadi rumah bagi masyarakat adat di daerah tersebut.

Semak dan rumput-rumput ilalang di padang savana terhampar bak lukisan alam, membentang luas di Pulau Trangan, Kepulauan Aru di Maluku, berkelok dengan kiri kanan pepohonan hutan setinggi 15-20 meter seperti akasia, kayu putih dan banyak lagi.

Pulau terbesar di Kepulauan Aru di bagian tenggara Maluku ini, dikelilingi oleh hutan bakau yang rapat serta memiliki hutan sagu yang menjadi sumber pangan warga.

Kala beranjak ke daratan agak tinggi yang bertutupan pohon itu, tampak kolam-kolam sumber air nan jernih. Ia jadi sumber air tawar bagi warga.

Peta Kepulauan Aru
Lokasi Kepulauan Aru, Indonesia. Sumber: Mongabay Indonesia Credit: Mongabay Indonesia Credit: Mongabay Indonesia

Trangan merupakan pulau terbesar di Kepulauan Aru yang merupakan kabupaten tersendiri yang juga dikenal sebagai Jargaria. Kabupaten Kepulauan Aru yang dipisahkan oleh Laut Timor dari Australia, memiliki ratusan pulau lainnya. Menurut data pemerintah Aru tahun 2019, ada 759 pulau. Sementara kajian Forest Watch Indonesia (FWI) 2021 terdapat 832 pulau.

Selain Trangan, Kepulauan Aru memiliki empat pulau relatif besar lain, yaitu Kobror, Maikor, Kola dan Wokam.

FWI mencatat, ekosistem Kepulauan Aru berupa hutan mangrove, hutan hujan tropis, dan padang savana. Ketiga ekosistem ini tak terpisahkan satu sama lain. Selain padang savana, Pulau Trangan,  juga memiliki bentang karst  dan pohon-pohon yang mengelompok di antara savana.

Hutan mangrove yang begitu rapat mengelilingi pulau-pulau di Kepulauan Aru, merupakan benteng alami  dari terpaan ombak dan pasang air laut.

Catatan FWI juga menunjukkan ekosistem mangrove ada di semua pulau di Kepulauan Aru. Berbeda dengan ekosistem mangrove pada umumnya, di Kepulauan Aru mangrove tumbuh di batuan karst dengan sedimen lumpur tipis.

Ekosistem hutan karst merupakan rumah bagi berbagai spesies burung, seperti cenderawasih (Paradisaea apoda), maleo (Macrocephalon maleo), dan kasuari (Casuarius casuarius). Juga, burung paruh bengkok seperti kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), kakatua hitam (Probosciger aterrimus), dan lain-lain.

Sedangkan beragam satwa dari rusa, babi hutan sampai kangguru pohon hidup di padang savananya.

Kawasan ini juga ruang hidup masyarakat adat Kepulauan Aru, yang dengan kearifan lokalnya, turun temurun bergantung kepada alam, dari lahan, hutan, maupun kekayaan laut.

Di bentang karst dengan padang savana, hutan dan mangrove rapat mengelilingi Pulau Trangan inilah, keluar izin peternakan sapi seluas 61.567 hektar dari bupati kepada empat perusahaan.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif FWI mengatakan, bicara peternakan sapi skala besar, dugaan kuat akan ada infrastruktur atau sarana dan prasarana penunjang dibangun, seperti jalan, pelabuhan, kantor atau rumah pekerja dan lain-lain.

Untuk itu semua, katanya, pasti akan ada tutupan hutan yang jadi korban. Termasuk, di kawasan pesisir. Contohnya untuk bangun pelabuhan, akan ada hutan mangrove yang terbabat.

“Mereka pasti akan gunakan teluk sebagai akses. Termasuk daerah pesisir barat, bikin pelabuhan dan lain-lain. Kalau itu terjadi tentu akan ada hutan mangrove dikorbankan,” kata Ode, sapaan akrab Barri.

Fungsi mangrove pun, jelas Ode, akan hilang. Kalau itu terjadi, salah satu paling terdampak adalah sumber air bersinh. Dia bilang, akan terjadi intrusi air laut karena lingkungan sekitar tak bisa lagi menahan air laut masuk ke air tawar.

Saat ini saja, katanya, sudah ada sumur desa kena intrusi air laut.

“Belum ada konversi atau penebangan hutan sudah seperti itu. Apalagi, kalau mangrove dihancurkan, atau savana dan hutan jadi ladang peternakan?” kata Ode.

Pulau Trangan ini terdiri dari dua kecamatan, yakni Aru Selatan seluas 833.12 km persegi dan Aru Selatan Timur seluas 516,68 km persegi, menurut data statistik Kabupaten Aru 2021.

Sensus Penduduk 2020, menunjukkan ada 15 desa – Popjetur, Ngaibor, Fatural, Gaimar, Jelia, Doka Barat, Doka Timur, Laininir, Marafenfen, Ngaiguli, Feruni, Kalar-Kalar, Kabalukin,  Jerol, dan Lor-lor – dengan penduduk sebanyak 7.497 jiwa di Kecamatan Aru Selatan.

Kecamatan Aru Selatan Timur, memiliki 10 desa – Batugoyang, Salarem, Meror, Siya, Beltubur, Dosimar, Karey, Jorang, Gomarmeti, dan Gomarsungai – dengan populasi sekitar 4.039 jiwa.

Masyarakat adat di Desa Popjetur dan Marafenfen, Kecamatan Aru Selatan, punya sejarah, struktur kelembagaan adat, wilayah petuanan adat, tradisi atau ritual, dan aturan pembagian dan pemanfaatan wilayah atau adat petuanan (tanah ulayat).

Masing-masing komunitas di kedua desa yang dikelilingi padang savana dengan sebagian hutan bertutupan rapat,  punya petuanan darat maupun laut dengan batas, aturan pembagian, dan pemanfaatan.

Tak urung, rencana peternakan sapi skala besar ini membuat masyarakat adat was-was dan dapat penolakan dari masyarakat adat Kepulauan Aru. Selain melakukan protes langsung, mereka juga mengirimkan surat protes ke berbagai lembaga, seperti Kantor Staf Presiden dan Komnas HAM maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Masyarakat adat khawatir keberadaan peternakan sapi skala besar ini akan mengancam ruang hidup dan hutan yang selama ini mereka lindungi.

Yosias Siarukin, warga Desa Popjetur yang juga Kepala Marga Siarukin,  saat sosialisasi kedua sekitar tahun 2018 langsung menolak . “Di situ hak ulayat Siarukin jadi beta tolak,” kata pria 51 tahun ini. Warga Siarukin juga pasang spanduk penolakan.

Dia mengatakan rencana peternakan sapi itu berada di lokasi Tordauk, ritual tahunan Masyarakat Adat Aru mencari hewan dengan pembakaran rumput alang-alang selama musim panas antara September sampai Oktober atau November.

Bagi Yosias, lahan adat itu segalanya. Di sana sumber pangan, sumber ekonomi maupun tradisi budaya, dari berburu, berkebun sampai tradisi tahunan ritual adat bakar alang-alang.

Otniel Apalem, warga Desa Popjetur, juga menolak investasi peternakan sapi dengan mengatakan peternakan sapi akan berdampak terhadap kerusakan alam sekitar, termasuk hutan mereka.

Otneil tambah was-was kala petugas Dinas Kehutanan datang dan mulai mematok lahan di desa mereka sekitar 2018. “Jarak seratus meter dari setiap rumah. Mereka tanpa sosialisasi langsung menanam patok. Itu berarti lahan-lahan kita terancam juga nantinya,” katanya.

Kehadiran peternakan sapi, katanya, akan mengganggu aktivitas mereka berkebun dan ke hutan. Mereka  tak ingin usaha skala besar masuk dan berisiko merusak ruang hidup. Sebelum ini, dia juga melawan perusahaan perkebunan tebu, Menara Group, yang mau  masuk ke Aru.

“Saya berjuang untuk tanah ini karena merupakan tanah adat. Hak ulayat marga Apalem. Harapan saya akan perjuangan ini adalah berjuang agar perusahan peternakan itu tidak akan datang. Tanah adat adalah hak masyarakat adat.”

Warga Popjetur lainnya, Obaja Siarukin,  memiliki kekhawatiran sama, bahwa kehadiran usaha peternakan itu akan mengganggu aktivitas berkebun dan ke hutan.

Katong menolak investor itu supaya bebas berkebun di katong punya petuanan, bisa berburu bebas karena di sini kita jauh dari laut hingga tidak bisa melaut,” katanya.

Peternakan sapi juga mengancam hutan sagu mereka. Masyarakat adat juga khawatir bahwa ketika peternakan masuk, tak akan ada lagi nilai sejarah desa dan keragaman hayati seperti cendrawasih dan rusa.

Ribka, istri Obaja, mengiyakan. Mereka berkebun. Mereka pun bebas mengambil hasil hutan untuk keperluan di rumah.

“Beta petani. Berkebun menanam tanaman pangan dan bumbu dapur seperti rica, pisang, dan keladi.” Untuk keperluan kayu, mereka bisa ambil dari hutan tak beli lagi. “Jadi kalau perusahaan masuk, pasti hutan-hutan ini dikaveling semua.”

***

Kepulauan Aru, seakan tak pernah lepas dari incaran bisnis pengguna lahan skala besar. Pada 2014, Kepulauan Aru baru lepas dari perusahaan tebu. Kala itu, Bupati Kepulauan Aru, Tedi Tengko, mengeluarkan izin seluas 480.000 hektar untuk 28 perusahaan yang semua berada di bawah bendera PT Menara Group.

Penelusuran FWI terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aru tahun 2009-2028, menemukan 76% dari luasan konsesi bagi konsorsium 28 perusahaan ini masih hutan alam.

Penolakan kuat dari masyarakat adat dan berbagai kalangan, kemudian berhasil mematikan langkah perusahaan.

Namun belum lagi hilang rasa was-was dan khawatir masyarakat adat, pada Juli 2019, Bupati Aru mengeluarkan lagi izin lokasi kepada empat perusahaan untuk peternakan sapi seluas 61.567 hektar di Pulau Trangan, tersebar di dua kecamatan dengan 16 desa.

Empat perusahaan itu, PT Kuasa Alam Gemilang dengan luasan izin 16. 408 hektar meliputi Desa Jorang, Beltubur, dan Meror. Lalu, PT Bintang Kurnia Raya seluas 13.916 hektar, masuk Desa Jerol, Kabalukin, Kalar-Kalar, Feruni, Ngaiguli, Ngaibor dan Gaimar.

Perusahaan ketiga, PT Cakra  Bumi Lestari dengan luas izin 14.980 hektar, melingkupi Desa Ngaibor, Dosimar, dan Batu Goyang. Kemudian, PT Ternak Indah Sejahtera, luas 16.263 hektar, di Desa Gaimar, Popjetur,Jelia dan Jorang.

Izin-izin peternakan sapi bagi empat perusahaan ini, dari penelusuran FWI terkait dengan Jhonlin Group, perusahaan milik Andi Syamsuddin Arsyad, atau lebih dikenal sebagai Haji Isam.

Saya berjuang untuk tanah ini karena merupakan tanah adat. Hak ulayat marga Apalem. Harapan saya akan perjuangan ini adalah berjuang agar perusahan peternakan itu tidak akan datang. Tanah adat adalah hak masyarakat adat.

Otniel Apalem

Ceritanya, pada Oktober 2017, Haji Isam ini tiba di Aru dengan pesawat pribadi bersama Menteri Pertanian saat itu, Andi Amran Sulaiman. Mereka,  sama-sama berasal dari Bone, Sulawesi Selatan. Isam mulai dikenal di kalangan pengusaha melalui bisnis tambang batubaranya di Kalimantan Selatan.

Di Kepulauan Aru, menteri, pejabat daerah dihadiri Isam, adakan pertemuan dengan mengundang perwakilan warga untuk membahas peternakan sapi.

Johan Gonga, Bupati Kepulauan Aru dua periode ini, membenarkan pemberian izin lokasi di Kecamatan Aru Selatan dengan mengatakan daripada jadi lahan ‘tidur’ .

“Savana di sana luasnya itu luar biasa, itu luasnya kurang lebih ada sekitar 46.000 hektar.”

Haikal Baadilah, Pelaksana Harian, Kepala Dinas Kehutanan Maluku, mengatakan, sebagai pelaksana teknis dari kementerian, dinas hanya menunggu perizinan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setelah ada permohonan dari bupati sesuai kewenangannya.

“Hutan produksi tetap adalah hutan produksi jenis kayu. Sedangkan hutan produksi konversi adalah hutan produksi yang bisa digunakan untuk produksi kayu dan produksi lain sesuai mekanisme pelepasan.”

Tim berupaya mengkonfirmasi soal proses perizinan empat perusahaan peternakan sapi di Kepulauan Aru ini ke para petinggi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Tim kolaborasi menghubungi beberapa pejabat LHK melalui telepon maupun pesan lewat aplikasi perpesanan maupun kanal pesan di sosial media. Pesan juga dikirimkan kepada Menteri Siti Nurbaya, Wakil LHK Menteri Alue Dohong, maupun Ruandha Agung Sugardiman selaku Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan.

Telepon dan pesan juga tim kirim ke Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK. Sebagian ada yang hanya membaca pesan,  tetapi sampai berita ini turun tak memberikan respon.

Tim kolaborasi juga berusaha mengkonfirmasi kepada perusahaan-perusahaan ini.

Baca selengkapnya disini.

***

Reporter: Chist Belseran, Della Syahni dan Indra Nugraha

Kurasi foto: Ridzki R Sigit

Editor: Sapariah Saturi

Kolaborasi antara Mongabay Indonesia, Metro Maluku, Titastory.id, dan Forest Watch Indonesia didukung oleh Internews Earth Journalism Network melalui proyek khusus tentang One Health dan daging yang berjudul ‘More Than Meats the Eye yang menyatukan delapan outlet media dari berbagai negara dan lebih dari selusin reporter untuk meliput dampak daging pada kesehatan hewan, manusia dan lingkungan di kawasan Asia Pasifik. Liputan ini pertama kali terbit di Mongabay Indonesia pada tanggal 10 Oktober 2022.

‘More Than Meats the Eye’, yang menyatukan delapan outlet media dari berbagai negara dan lebih dari selusin reporter untuk meliput dampak daging pada kesehatan hewan, manusia dan lingkungan di kawasan Asia Pasifik.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.