Pilihan terbaik untuk selamat dari krisis energi adalah memanfaatkan energi terbarukan. Namun, transisi energi tersebut bakal menempuh jalan panjang.

Janu tidak ingin buru-buru merespon naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Meski, sebagai pengusaha kedai kopi di Pamulang, Depok, Jawa Barat, ia turut merasakan ampas pencabutan subsidi BBM. Biaya produksi seperti susu dan biji kopi ikut naik. Anggaran transportasi melonjak. Namun, mengubah komposisi harga di daftar menu bukan pilihan terbaik.

Janu ingin bersikap adil. Sebab, dia menilai, hingga saat ini belum tampak penguatan daya beli masyarakat. Upah pegawai juga tidak naik. Karena itu, penyesuaian harga dikhawatirkan hanya akan membuat jumlah pelanggan menyusut, serta mengempiskan omset bulanan.

Satu-satunya pilihan paling mungkin adalah mempertahankan harga dan kualitas produk. Sambil berharap ekonomi masyarakat berangsur-angsur membaik.

“Cukup mengganggulah. Sedangkan kita enggak bisa naikin harga, karena bisnis ini bergantung pada daya beli masyarakat. Kalau daya beli masyarakat enggak naik, menaikkan harga bukan hal yang tepat. Jadi saat ini kami belum bisa berbuat banyak, masih memantau,” terang Janu ketika ditemui Ekuatorial.

Sebelumnya, Sabtu (3/9/2022), Presiden Joko Widodo mengumumkan pengalihan anggaran subsidi dan kompensasi BBM. Presiden menyebut, kompensasi BBM tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat.

“Dan itu akan meningkat terus,” kata Presiden Joko Widodo ketika menjelaskan lonjakan anggaran subsidi dan kompensasi Bahan Bakar Minyak.

Pada tahun ini saja, besarannya telah mencapai Rp 502,4 triliun, membengkak tiga kali lipat dari sebelumnya. Jika “itu” yang dirujuk Presiden menjadi kenyataan, maka pembiayaan BBM masih akan mencekik ekonomi ratusan juta orang pada kemudian hari.

Soalnya, jika membandingkan persentase kenaikan harga BBM dengan kenaikan Upah Minimum Regional (UMR), angkanya terlihat begitu timpang. Pada tahun ini, harga BBM naik antara 30-32%. Sedangkan rata-rata kenaikan UMR pada tahun 2021 hanya 1,09%.

Potensi kembali membengkaknya anggaran kompensasi dan subsidi BBM memang tidak bisa lepas dari karakter energi fosil yang tidak terbarukan, serta menipisnya cadangan minyak dalam negeri. Sesuai data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan minyak bumi Indonesia tersisa hingga 9,5 tahun ke depan, gas bumi 19,9 tahun dan batubara 65 tahun.

Kondisi itu menempatkan Indonesia sebagai negara net importer oil (pengimpor minyak bersih) sejak tahun 2004. Konsekuensinya, harga dan subsidi minyak dalam negeri sangat bergantung pada dinamika harga minyak global.

“Kenaikan BBM ini kan pemerintah terjepit. Kalau tidak disubsidi memberatkan rakyat. Kalau disubsidi akan mengambil porsi yang besar dari anggaran negara. Karena memang semakin langka ya semakin mahal,” terang Tata Mustaya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Kenapa harus transisi energi?

Pemerintah diminta melepas ketergantungan pada BBM untuk menghindari kerugian, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan. Diyakini, pilihan terbaik untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis di masa depan adalah dengan memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan.

Data eksisting energi Indonesia memang menunjukkan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi pada energi fosil. Persentasenya mencapai 89%, yang terbagi atas batu bara 38%, minyak 32%, dan gas 19%. Sedangkan, pada tahun 2021, capaian bauran energi baru dan terbarukan (EBT) hanya sebesar 11,7%.

Padahal, selama ini, ketergantungan pada energi fosil memberi dampak buruk bagi kesehatan lingkungan maupun manusia. Di sektor transportasi, seturut data Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), beban emisi pencemaran udara pada tahun 2019 sebesar 39.754,51 ton/hari. Sedangkan beban emisi CO2 sebesar 699.674,31 ton/hari.

Dampak pencemaran udara di Jakarta misalnya, masih menurut KPBB, menyebabkan sakit atau penyakit seperti ISPA, asma, pneumonia, broncho-pneumonia, jantung koroner, kanker, hipertensi, gagal ginjal, penurunan daya intelektual anak-anak dan menguras biaya kesehatan warga Jakarta sebesar Rp 51,2 T per tahun 2016.

“Beban emisi di Jabodetabek diperkirakan akan meningkat 1,8-3,5 kali lipat pada tahun 2030,” ujar Ahmad Syafrudin Direktur Eksekutif KPBB.

Tata Mustaya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menyebut, sektor energi merupakan kontributor utama krisis iklim. Tanpa penanganan yang efektif, pada 2030 energi fosil diperkirakan akan menyumbang 58% emisi nasional. Dampak lanjutannya, seturut perkiraan Bank Indonesia, krisis iklim akan menggerus 40% Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2050.

“Kalau mau menghentikan krisis iklim, kita harus menghentikan produksi dan konsumsi energi fosil,” tegas Tata.

Transisi ke energi terbarukan memang sejalan dengan komitmen dalam menangani permasalahan iklim. Seturut dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC), Indonesia berkomitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang semula 29% menjadi 31,89% dengan kemampuan sendiri dan 41% menjadi 43,20% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Juga, menargetkan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Dr. Ir Bambang Susilo, M.Sc.Agr, pakar energi Universitas Brawijaya meyakini, transisi ke energi terbarukan akan memberi kentungan bagi Indonesia di masa mendatang. Terutama, karena pada tahun 2100, sekitar 30% sumber energi diperkirakan akan memanfaatkan bioenergi. Pada tahun yang sama, kontribusi energi matahari juga semakin besar, sekitar 65%.

“Eropa itu musim panas hanya 3 bulan, Indonesia sepanjang tahun, konsisten. Kedua, bionergi di dunia yang punya potensi besar itu Brasil, Zaire, dan Indonesia,” terang Bambang kepada Ekuatorial, Selasa (20/9/2022).

Berdasarkan Laporan Kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tahun 2021, potensi EBT Indonesia diperkirakan mencapai 3.600 GW yang terdiri dari energi surya, angin, hidro, panas bumi, bioenergi, dan laut.

Kendaraan listrik, kendaraan masa depan?

10 hari setelah menyampaikan naiknya harga BBM, Presiden Joko Widodo menandatangani Instruksi Presiden nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, Selasa (13/9/2022).  Inpres itu ditujukan bagi pejabat di pemerintah pusat maupun daerah.

Kendaraan listrik memang digadang-gadang sebagai masa depan transportasi Indonesia. Proyeksi tersebut tergambar dalam Peraturan Presiden nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.

Bagian pertimbangan Perpres 55/2019 menyebut, percepatan program kendaraan listrik berbasis baterai diperlukan untuk “peningkatan efisiensi energi, ketahanan energi, dan konservasi energi sektor transportasi”. Juga, “terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih dan ramah lingkungan, serta komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca”.

Hingga Juli 2022, sesuai Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRTU), Kementerian Perhubungan mencatat jumlah kendaraan listrik, baik sepeda motor maupun roda empat, sekitar 22.671 unit. Dengan kisaran harga mobil listrik  antara Rp250 juta-Rp2 miliar. Sedangkan sepeda motor listrik, Rp11 juta-Rp34 juta.

Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) milik PT PLN (Persero).

Di samping itu, terdapat pula 332 unit Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di 279 lokasi publik, dan 369 unit Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik (SPBKLU) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Pada tahun 2030, jumlah kendaraan listrik dan infrastruktur pendukungnya diperkirakan akan bertambah berkali-kali lipat. Kementerian ESDM memproyeksikan setidaknya 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit motor listrik. Serta, penyediaan sekitar 30 ribu unit SPKLU dan 67 ribu unit SPBKLU.

Budi Prawara, Kepala Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) BRIN mengatakan, berdasarkan Global EV Outlook 2022, terjadi peningkatan populasi sebesar 4 kali lipat pada 2021 dibanding tahun 2019.

“Hal ini didasari efisiensi kendaraan listrik dianggap jauh lebih baik dibanding kendaraan konvensional. Serta, semakin meningkatnya kesadaran untuk mengurangi polusi dengan kendaraan,” terang Budi Prawara.

Efisiensi kendaraan listrik bisa dilihat dari perbandingan 1,2 kWh listrik (setara 1 liter BBM) memiliki kisaran harga Rp 1.700. Sedangkan 1 liter bensin non-subsidi Pertamina Rp13.900 hingga Rp 14.950 per liter. Dengan kata lain, transisi ke kendaraan listrik akan menghemat biaya bahan bakar hingga seperenam harga BBM.

Direktur Uama PLN, Darmawan Prasodjo menjelaskan, dalam hal pengurangan emisi, kendaraan listrik juga disebut memiliki keunggulan. Dia mencontohkan, satu liter bensin memiliki berat emisi sebesar 2,4 kg CO2, sementara 1 KWh yang berasal dari PLTU emisinya 1 kg/CO2.

“Pengurangannya 50%. Kalau dulu emisinya itu ada di jalan-jalan. Kalau sekarang, emisinya cuma berasal dari pembangkit. Dan jangan lupa, bahwa PLN juga memiliki pembangkit berbasis EBT, sehingga ke depan, emisinya juga nol,” terang Darmawan Prasodjo.

Ahmad Syafrudin, Direktur KPBB mengakui, percepatan program elektrifikasi kendaraan akan menjadi kebijakan strategis yang memicu percepatan penurunan emisi kendaraan, serta menghentikan ekspansi industri fosil.

“Adopsi sepeda motor listrik di Jakarta dan sekitarnya, akan serta-merta menurunkan pencemaran udara sebesar 45%, juga menurunkan level emisi CO2 hingga 44%. Elektrifikasi juga patut diterapkan pada bus, agar menghilangkan potensi emisi pencemaran udara dan mampu menurunkan kontribusi emisi CO2,” ujarnya dalam Media Briefing bertajuk “Grand Strategy si Macan Kertas: Saatnya Revisi Perda Pengendalian Pencemaran Udara Jakarta”, Rabu (21/9/2022).

Pemerintah menyiapkan peta jalan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Penyiapan sarana pengisian daya hingga penggunaan kendaraan listrik terus dilakukan dalam mendukung penggunaan transportasi ramah lingkungan yang juga dapat meningkatkan ketahanan energi nasional.

Namun, agar elektrifikasi kendaraan bermotor optimal dalam mereduksi emisi, dia berharap konversi fossil fired power plant (PLTU batu bara/bbm dan PLTD) menuju renewable power plant harus dilakukan sejalan dengan konversi kendaraan listrik.

“Jadi banyak kritik, konversi kendaraan listrik hanya memindahkan emisi, maka dapat dijawab dengan mengembangkan renewable energy atau power plant yang menghasilkan listrik dari tenaga air, surya, panas bumi. Sehingga dengan demikian emisinya bisa nol. Baik pencemaran udara maupun gas rumah kaca,” tambah Ahmad Syafrudin.

Walau begitu, sebagian masyarakat tidak serta-merta beralih menggunakan kendaraan listrik. Janu misalnya, meski menilai kendaraan listrik sebagai solusi untuk lepas dari ketergantungan BBM, namun menganggap harga jual kendaraan listrik terbilang mahal. Pada kisaran harga yang setara, kualifikasi kendaraan konvensional dianggap lebih baik.

“Ada yang harganya Rp300 jutaan, tapi secara spek tidak sebanding dengan mobil BBM. Kedua, saat peralihan, berarti kan daya listrik rumah harus dinaikan juga. Ini bisa jadi solusi, kalau tarif listriknya rendah. Tapi setahu saya sama aja,” jelasnya.

Di samping itu, belum meratanya infrastruktur pendukung semisal SPKLU dan SPBKLU juga dipandang menghambat sosialisasi mobil listrik. Dalam praktiknya nanti, Janu juga membayangkan, jika pengisian BBM telah menyebabkan antrian panjang, bagaimana dengan pengisian listrik yang membutuhkan waktu lebih lama?

Jalan panjang transisi energi

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, program transisi energi tidak seiring dengan komitmen perbaikan iklim. Menurut mereka, meski telah menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Transition (Transisi Batubara Global Menuju Energi Bersih) pada COP-26, Pemerintah Indonesia masih terus berupaya mempertahankan penggunaan bahan bakar fosil.

Penilaian itu didasari catatan Walhi terkait luas tambang batu bara di Indonesia yang saat ini mencapai 5,9 juta ha, termasuk 2 juta ha yang berada pada tutupan lahan hutan. Penggunaan lahan oleh pertambangan batu bara tadi diperkirakan melepas emisi senilai 349 juta ton CO2e. Kemudian, setidaknya 693.246 ha kawasan tutupan lahan hutan di Indonesia telah diberikan pada korporasi pertambangan nikel.

“Transisi dari BBM ke listrik menyebabkan banyak wilayah diberikan konsesi nikel untuk kebutuhan baterai. Karena untuk mempercepat industri mobil listrik, dibutuhan berbagai macam bahan tambang,” ujar Rere Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi.

Dikhawatirkan, aktivitas itu bukan saja berdampak meningkatkan emisi tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat di sekitar kawasan pembangunan, berpotensi bencana, serta menghilangkan ruang produksi maupun ruang hidup masyarakat setempat.

“Kita semua tahu, kalau kita tidak berusaha menekan peningkatan suhu bumi di bawah 1,5 derajat, kita akan mengalami bencana. Kita juga tahu, emisi terbesar dari energi fosil,” menurut Rere. “Sekarang saja kita sudah over suplai. Harusnya kan bisa stop saja, kenapa masih terus-menerus menambah pembangkit energi fosil.”

Tata Mustaya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menilai, program transisi energi masih setengah hati dijalankan. Sebab, pemerintah masih mengizinkan pembangunan 13,8 GW PLTU baru. Baginya, kebijakan itu hanya akan mempersulit Indonesia untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025.

“Kalau listriknya dari batubara hanya memindahkan emisi. Jadi harus seiring. Harus ada transisi energi di sektor kelistrikan. Batu bara harus diganti energi terbarukan. Kita tidak akan mampu mengakselerasi transisi energi, kalau masih kontradiktif dan setengah hati,” pungkasnya.

Sebagai upaya meningkatkan investasi dan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan, serta menurunkan emisi gas rumah kaca, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden No 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Di dalamnya terdapat larangan pembangunan PLTU baru, kecuali untuk PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya Perpres tersebut.

Atau, bagi PLTU yang memenuhi syarat seperti (1) terintegrasi dengan industri yang dibangun untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja, serta pertumbuhan eknomi nasional. (2) berkomitmen melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35% dalam jangka waktu 10 tahun sejak PLTU beroperasi, dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun 2021. (3) beroperasi paling lama sampai dengan tahun 2050.

“Dengan teknologi yang kita pahami saat ini, PLTU yang menggunakan batu bara merupakan pembangkit listrik yang menghasilkan emisi, maka kita stop untuk pembangunan pembangkit baru. Namun, perekonomian tidak boleh terganggu dengan upaya-upaya ini,” terang Dandang Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE.

Transisi untuk benar-benar meninggalkan pemanfaatan energi fosil, tampaknya masih akan menempuh perjalanan panjang. Sementara, sebagai opsi lepas dari ketergantungan BBM, inovasi kendaraan listrik perlu lebih memperkuat keyakinan publik.

Sebab, seperti telah diperingatkan Presiden Joko Widodo, cepat atau lambat harga BBM akan kembali naik. “Dan itu akan meningkat terus.”

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.