Posted inArtikel / Energi

Mencermati dana transisi energi Rp300 triliun agar terhindar jebakan utang

Bantuan dana Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) bisa membantu Indonesia memacu program transisi energi, tetapi para pengamat mengingatkan ada bahaya mengintai, terutama bunga utang.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali menjadi momentum pengukuhan Indonesia sebagai penerima dana Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP), dengan total anggaran sebesar US$20 miliar (sekitar Rp314 triliun). Namun, peneliti dan organisasi masyarakat sipil mengingatkan, dana pinjaman itu harus digunakan secara hati-hati dengan tidak mengabaikan hak-hak masyarakat, serta memperparah kerusakan lingkungan.

JETP adalah proyek hasil kesepakatan antara Indonesia dengan International Partners Group (IPG), yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang, yang diumumkan di Bali, Selasa (15/11/2022). Pendanaan tersebut, yang akan cair dalam tiga hingga lima tahun mendatang, bertujuan untuk memacu pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia

Dana yang disalurkan merupakan “patungan” antara komitmen sektor publik sebesar US$10 miliar dan investasi swasta, juga US$10 miliar. Situs resmi pemerintah AS, whitehouse.gov menyebut, lembaga keuangan swasta yang terlibat dalam pendanaan JETP Indonesia akan dikoordinir oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), termasuk Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG dan Standard Chartered.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menyatakan bahwa sebagai dana pinjaman, penting bagi pemerintah bukan saja mendorong bunga yang rendah dalam pendanaan JETP, tapi juga perlu skenario debt cancellation atau penghapusan utang. Skenario itu dipercaya akan menghindarkan Indonesia pada jebakan kenaikan beban bunga utang yang signifikan.

“Selain itu, pemerintah perlu memastikan agar setiap dolar pembiayaan yang masuk memiliki dampak ganda terhadap tenaga kerja, dan perekonomian jangka panjang,” terangnya dalam konferensi pers “Mencermati Agenda KTT G20 dan Pendanaan Transisi Energi”, Kamis (17/11/2022).

Oleh karena itu, dalam melaksanakan JETP, pemerintah diminta mengedepankan asas transparansi. Ketika memberi kompensasi untuk pensiun dini PLTU, misalnya, perlu ada kejelasan kalkulasi dan rincian anggarannya. Bhima mencontohkan, kompensasi yang mencapai US$250-300 juta, dinilai terlalu tinggi untuk mempensiunkan PLTU yang memilki masa operasional selama 40-50 tahun.

Sebab, pada rentang 25-30 tahun, rata-rata PLTU dianggap telah memasuki masa stranded asset atau nilainya terus menurun. Dia menyarankan, kompensasi pensiun dini PLTU yang terlampau tinggi tadi, sebaiknya dialihkan pada investasi di sektor energi terbarukan.

Dengan kebutuhan investasi sebesar Rp579 triliun, kata Bhima, pengembangan energi terbarukan akan mendorong peluang penciptaan sumber-sumber ekonomi baru serta membuka ruang-ruang pekerjaan bagi masyarakat. Untuk itu, pemerintah diminta membuat penyempurnaan izin terkait kebutuhan investasi dan dampak dari energi terbarukan.

Penutupan PLTU dan pembukaan lapangan kerja di sektor energi terbarukan di masa-masa mendatang, juga harus ditindaklanjuti dengan program-program pengembangan keterampilan bagi para eks pekerja tambang batubara, khususnya yang berkaitan dengan energi terbarukan.

“Kemudian, masyarakat-masyarakat yang ada di sekitar PLTU, yang selama ini menghirup udara tidak sehat, perlu ada kompensasi juga,” tambah Bhima.

Bagi Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, JETP perlu dimaknai sebagai tanggung jawab negara-negara maju yang sekian lama telah menjadi pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan yang berdampak krisis iklim. Karena itu, pihaknya mendorong agar pendanaan diproyek ini dapat memberi porsi hibah yang lebih besar dan bunga lebih rendah. Juga, memfokuskan pemulihan dampak negatif dalam konteks ekonomi lokal.

Masalahnya, dia memandang, poin-poin kesepakatan JETP masih memiliki ambiguitas redaksional, khususnya yang berkaitan dengan pensiun dini PLTU batu bara. Sebab, pendanaan ini mengambil rujukan proyek dari RUPTL 2021-2030 yang memuat rencana pembangunan 13,8 GW PLTU baru dan Perpres 112/2022 yang masih memberi ruang untuk pembangunan PLTU.

“Pembekuan ini (dalam JETP) artinya apa? Apakah 13,8 GW ini tidak boleh dibangun atau jumlahnya tidak bisa ditambah?” Ashov mempertanyakan.

Ketidakjelasan program pensiun dini batu bara, masih menurutnya, diperkuat dengan minimnya publikasi dan sosialisasi terkait detail peta jalan penutupan 118 PLTU di Indonesia. Ditambah lagi, rencana phase out tambang batu bara tidak dijelaskan secara rinci dalam poin-poin JETP.

Padahal, detail tersebut sangat berkaitan dengan rencana pengembangan energi terbarukan. Karena, dia percaya, program percepatan transisi energi sangat bergantung dengan ketersediaan lahan. “Energi terbarukan bisa dikebut tapi butuh tempat. Tempatnya akan ada kalau PLTU-PLTUnya dipensiunkan,” ujar Ashov.

JETP juga dianggap abai terhadap komitmen pemulihan dampak negatif PLTU yang akan dipensiunkan, di antaranya dampak lingkungan, sosial maupun ekonomi lokal. Baginya, komitmen ini harusnya jadi elemen penting dari transisi energi yang adil.

Karena, lanjut Ashov, kerja-kerja pemulihan lingkungan dapat dilihat dari komitmen remediasi lahan dan reklamasi tambang batubara. “Nah, tapi tidak ada kepastian responsible exit itu, jadi ini satu titik rawan yang kurang-lebih bikin skema-skema ini tidak berkeadilan,” jelasnya.

Proyek kilat transisi energi

Indonesia adalah negara kedua penerima JETP, setelah pada COP26 di Glasgow, pendanaan sebesar US$8,5 miliar dikantongi Afrika Selatan.

Melalui, pendanaan ini, Indonesia diproyeksikan mempercepat target dan ambisi transisi energi yang adil, serta menjaga batas pemanasan global tetap pada 1,5°C. Di samping itu, juga menekan emisi di sektor ketenagalistrikan dengan batas 290 megaton CO2 pada tahun 2030, hingga mencapai nol emisi (net zero) pada tahun 2050.

Joe Biden, Presiden AS, memuji Indonesia atas kepemimpinan dan ambisi dalam pengembangan kemitraan ini. Menurutnya, target baru dan percepatan yang dihasilkan menunjukkan keterlibatan negara secara dramatis dalam upaya mengurangi emisi dan meningkatkan energi terbarukan. “Juga memajukan komitmen menciptakan pekerjaan berkualitas dan melindungi mata pencaharian masyarakat,” kata Biden dikutip dari whitehouse.gov.

Sementara, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen optimistis, JETP akan menjadi peta jalan menuju masa depan yang lebih hijau, bersih, dan membuka peluang bagi masyarakat Indonesia. “Merekalah yang akan menuai manfaat dari transformasi ekonomi, karena Indonesia menjadi pusat energi terbarukan,” ujar Leyen dalam situs europa.eu.

Uni Eropa, dalam rilis bersama pemerintah Indonesia, mengharapkan pendanaan ini dapat memacu pemanfaatan energi terbarukan dengan target sebesar 34% dari seluruh pembangkit listrik Indonesia, pada tahun 2030.

Program percepatan juga didorong dalam penyebaran alat, teknologi, efisiensi energi, dan elektrifikasi secara luas, serta pengembangan industri lokal yang dinamis dan kompetitif dalam sektor energi terbarukan.

Rencana investasi dan kebijakan JETP juga mendorong percepatan pensiun dini pembangkit listrik batubara, seturut prioritas dan identifikasi pemerintah Indonesia. Proyek ini mencakup pembekuan pembangkit listrik tenaga batu bara yang termasuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Juga, menegaskan kembali moratorium pada setiap kapasitas PLTU baru sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 112 tahun 2012.

Sebagai upaya mitigasi transisi energi, JETP menjadi acuan untuk mengidentifikasi dan mendukung segmen populasi Indonesia yang paling rentan terhadap dampak negatif transisi energi. Misalnya, pekerja di industri batu bara atau yang berhubungan dengan industri batubara.

Dalam 6 bulan ke depan, Indonesia, UE, dan lembaga mitra akan bekerja sama membangun rencana konkret investasi, pembiayaan dan bantuan teknis. Kemudian, selama periode tiga hingga lima tahun, demikian tertulis dalam situs resmi Uni Eropa, total anggaran US$20 miliar itu akan dimobilisasi menggunakan campuran hibah, pinjaman lunak, pinjaman suku bunga pasar, pinjaman dengan jaminan, dan investasi swasta.

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.