Kenaikan suhu air laut membuat ikan tuna semakin sulit di temukan di lepas pantai Bolaang Mongondow Selatan.

Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala. Siang itu memang tidak terlalu terik awan hampir menutupi birunya langit di pesisir selatan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Sulawesi Utara. Saat seperti itu biasanya menjadi waktu yang tepat untuk kebanyakan orang beristirahat sejenak, tapi tidak bagi Enik Tamulu.

Lelaki berusia 48 tahun yang tinggal di Desa Saibuah, Kecamatan Posigadan, Bolsel itu terlihat sibuk mengemasi barang-barang. Dibantu istrinya, mereka bolak-balik mengangkat barang menuju perahu kecil yang menunggu di bibir pantai, tak jauh dari rumah mereka.

Enik sudah lebih dari 30 tahun melaut. Sejak kecil dia sudah tinggal di pinggir pantai karena ayahnya juga seorang nelayan. Tidak seperti kebanyakan nelayan yang biasa memancing berbagai jenis ikan, Enik hanya fokus menangkap ikan tuna.

Siang itu,  Enik berangkat untuk berburu tuna (Thaunnus thynnus) atau yang sering masyarakat lokal sebut ‘ikan potong’. Mesin perahu ketinting sudah menyala. Perlengkapan memancing dan bekal pun telah siap. Enik pergi menuju lautan. Di pinggir pantai istri dan dua anaknya mengantar kepergian Enik, memberikan harapan dan semangat bagi lelaki paruh baya itu.

Butuh waktu 5 jam perjalanan menuju lokasi yang menjadi titik penangkapan ikan tuna, jarak sejauh itu sekurangnya membutuhkan lebih dari 30 liter bahan bakar. Tak jarang di tengah lautan Enik berjumpa dengan kawan-kawan seprofesi, saling membagi informasi tentang keberadaan tuna dan cuaca di lokasi tujuan.

Memancing tuna tidaklah mudah, dibutuhkan kesabaran ekstra dan tenaga yang kuat. Terlebih alat pancing yang digunakan masih menggunakan metode tradisional. Saat menangkap tuna, nelayan akan menjulurkan senar nilon yang sudah dipasangkan mata kail. Di saat yang bersamaan, sebuah kantong plastik berisi ikan-ikan kecil juga diturunkan.

Saat berada di kedalaman tertentu tas plastik tersebut akan pecah dan mengeluarkan isinya. Ikan-ikan kecil itu akan mengundang tuna mendekat lalu menyambar umpan tersebut. Di saat itulah tuna juga akan menyambar kail pancing.

Pada setiap perburuannya Enik harus tinggal di lautan selama 5 hari. Tak jarang, jika tuna susah ditemukan, dia akan menghabiskan waktu lebih lama.

Berburu tuna bukanlah tanpa risiko. Sudah banyak nelayan yang menjadi korban ganasnya lautan pantai selatan. Dari laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bolsel setidaknya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir hampir 50 nelayan hanyut di lautan.

Data ini tak jauh berbeda dengan jumlah kasus nelayan hilang di kabupaten tetangga. Hal itu sering terjadi akibat cuaca buruk dan tingginya ombak di laut pantai selatan.

Terombang ambing di lautan

Pada tahun 2019, Enik terombang-ambing tiga hari di lautan, setelah badai dan ombak besar menghantam perahunya. Beruntung, lelaki tiga anak ini selamat. Dia tidak sengaja ditemukan oleh para nelayan di Desa Dudepo, sebuah desa yang berjarak 80 kilometer dari kediaman Enik.

Enik menuturkan, ketika itu dia sedang menuju sebuah rakit yang berada cukup jauh dari lokasi biasanya dia menangkap tuna. Keputusan tersebut diambilnya karena ia belum mendapat hasil walau sudah 4 hari melaut. Saat itu cuaca cukup mendung, meski ragu Enik tak punya pilihan selain pergi ke lokasi rakit tersebut.

Ombak semakin tinggi saat Enik hampir tiba di lokasi titik rakit 8 dan hujan mulai turun. Dia mempercepat mesin perahunya agar bisa sampai ke rakit tersebut. Tapi ombak besar keburu menghantam perahu yang sudah berusia 13 tahun itu. Air laut memenuhi perahu, bekal dan bawaan hanyut terseret ombak, bahan bakar cadangan, alat pancing, dan umpan juga hanyut.

Enik selamat karena sempat berpegangan dan mengapung pada sebuah galon kosong miliknya. Kejadian itu menjadi pelajaran berharga untuknya. Sejak saat itu, ia selalu mengurungkan niatnya untuk ke lautan lepas bila cuaca buruk.

Makin sukar menangkap tuna, anak-anak berhenti sekolah

Kini jarak tempuh menuju lokasi pemancingan ikan tuna semakin jauh. Enik pun harus merogoh kocek lebih banyak untuk biaya logistik saat melaut. Harga bahan bakar dan jumlah bekal makanan pun akhirnya bertambah. Tak jarang Enik harus meminjam uang dari para penampung ikan untuk membeli keperluannya.

Selain jarak yang jauh, ukuran ikan juga semakin kecil. Kondisi itu jelas membuat Enik tidak bisa mendapatkan keuntungan yang cukup. Ukuran ikan yang kecil tentu membuat pendapatannya juga berkurang. Ia juga harus menutup utang pinjaman saat akan melaut. Hasilnya, tak banyak sisa uang yang dapat dikantongi setelah menjual ikan hasil tangkapannya.

“Sering, meski berhasil mendapatkan ikan tetapi saat dijual uang yang diterima sudah dipotong dengan ongkos pinjaman. Pernah saya melaut hampir 5 hari, saat kembali membawa tangkapan dan menjualnya, uang yang tersisa setelah dipotong dengan utang tersisa Rp.150.000,” ungkap Enik.

Makin sukar menangkap ikan Tuna membuat ekonomi Enik pun terus menurun. Kondisi itu terus memburuk hingga akhirnya dia tidak lagi mampu mengantarkan anaknya ke jenjang SMA. Akibat terhalang biaya, Enik memutuskan untuk menikahkan anak gadisnya yang baru lulus SMP. Keputusan itu memang sedikit berat bagi Enik, sebab keinginan kuat anaknya untuk mengenyam pendidikan tidak dapat dipenuhi.

Ahmad, anak pertama Enik pun sudah lama berhenti sekolah. Demi membantu keluarga, Ahmad memilih melaut. Tidak seperti ayahnya, Ahmad hanyalah seorang nelayan ikan biasa. Enik tidak pernah mengajak anak laki-lakinya untuk ikut melaut menangkap Ikan tuna. Dia tak ingin anak lelaki berusia 18 tahun itu hanyut di lautan.

“Karena tidak ada keuntungan, yah, uang di rumah terus berkurang. Jangankan untuk sekolah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun rasanya cukup sulit,” keluh Enik.

Menurunnya tangkapan tuna di Bolsel

Jumlah tangkapan yang terus berkurang tak hanya dirasakan Enik. Hampir seluruh nelayan ikan tuna di pesisir Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) merasakan hal yang sama.

Terdapat dua jenis ikan tuna yang sering ditangkap oleh nelayan Bolsel, yaitu Thunnus obesus atau yang sering dikenal oleh masyarakat oleh dengan nama “ikan tuna mata besar” dan Thunnus albacares atau ikan tuna sirip kuning, yang populer disebut tuna madidihang oleh warga lokal.

Data Dinas Perikanan Kabupaten Bolsel menunjukkan setidaknya dalam kurun waktu 3 tahun jumlah tangkapan ikan tuna rata-rata turun 500 ton pertahun. Pada tahun 2015 tangkapan Ikan Tuna mencapai 5.000 ton. Angka itu turun hingga hanya 1.500 ton tuna pada 2022.

Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Bolsel, Awaludin Lamaluta menjelaskan, angka itu memang tidak secara tepat menjadi patokan perhitungan jumlah tangkapan tuna di Bolsel. Tetapi angka tersebut bisa menjadi dasar untuk melihat trend dari jumlah tangkapan yang ada.

“Kami bekerja sama dengan penampung ikan tuna yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten dan angkanya, seperti yang terlihat, terus menurun. Memang ada beberapa ton yang mungkin tidak terdata, sebab biasanya ada juga nelayan yang langsung menjual ikan tuna hasil tangkapan secara mandiri, dengan cara dipotong-potong,” jelasnya.

Terkait menurunnya jumlah tangkapan ikan tersebut, Awaludin menerangkan, cuaca dan iklim yang tidak menentu menjadi salah satu faktor terbesar. Menurutnya, cuaca yang terus berubah-ubah membuat nelayan berpikir dua kali untuk melaut.

Laut kita suhunya terus naik, ekosistem laut semakin berubah, banyak karang yang mati. Ini jelas berdampak sangat buruk.

Samuel Leivy Opa, peneliti kelautan

Kenaikan suhu air laut juga menjadi salah satu faktor yang membuat ikan tuna semakin sulit di temukan. Samuel Leivy Opa, salah seorang peneliti dan pemerhati kelautan mengatakan, suhu permukaan air laut naik setidaknya 1 derajat celcius dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini, menurut peneliti yang juga menjabat sebagai ketua Maritim Muda Sulut tersebut berdampak pada perilaku organisme dan ekosistem yang ada di lautan.

Samuel menjelaskan, ikan tuna adalah hewan yang tidak memiliki tempat untuk menetap. Ikan ini sering berpindah-pindah dengan rute yang terbilang cukup jauh. Salah satunya adalah menuju kawasan yang sesuai dengan suhu biologis dari ikan tersebut.

“Mereka adalah jenis ikan perenang. Ikan tuna di kawasan kita ini bahkan ada yang berenang hingga ke laut Jepang, berarti mereka tidak menetap. Akan tetapi, kenaikan suhu air laut bisa berdampak buruk sebab bisa saja ikan-ikan tidak lagi melintasi laut yang suhunya sudah cukup tinggi,” jelas Samuel.

Selain itu Samuel juga menerangkan, semakin sedikitnya ikan yang menjadi makanan alami dari ikan tuna menjadi faktor lain berkurangnya populasi ikan tuna di satu kawasan.

“Ikan tuna pasti akan mencari lautan yang ada sumber makanannya. Nah, sumber makanan ini berkurang sebab terjadi persaingan dengan para nelayan yang menangkap ikan dalam skala besar,” jelasnya.

Lebih lanjut Samuel menerangkan, ikan hasil tangkapan nelayan kini tersebar di lautan dengan suhu 29 derajat, sementara menurutnya ikan-ikan tersebut biasa hidup di suhu 26 derajat. Samuel menyimpulkan, kondisi tersebut merupakan suatu fenomena yang tidak biasa.

“Laut kita suhunya terus naik, ekosistem laut semakin berubah, banyak karang yang mati. Ini jelas berdampak sangat buruk,” tegasnya.

Perubahan suhu air laut, menurutnya, akan membuat ekosistem lautan berubah. Hal itu akan mempengaruhi keberlangsungan terumbu karang. Akibat dari mulai matinya terumbu karang, yang menjadi tempat tinggal ikan-ikan kecil, akan menghasilkan efek berantai hingga ke jenis-jenis ikan lainnya, termasuk tuna.


Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Kerusakan Lingkungan Hidup dan Hilangnya Sumber Pangan” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial. Terbit pertama kali di Zonautara.com pada 23 Februari 2023.

About the writer

Dwi Rezky Manoppo

Dwi Rezky Manoppo was born and raised in Manado, North Sulawesi. He’s been working as journalist since 2017 and joined Habari.id, a local Gorontalo website in 2018. Based in South Bolaang Mongondow,...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.