Warga sekitar TPAS Manggar, Balikpapan, berhasil memanfaatkan gas metana dari sampah untuk keperluan rumah tangga.

Terik surya membakar kulit. Sepanjang mata memandang hanya ada lautan sampah menggunung di Tempat Pemprosesan Akhir Sampah (TPAS) Manggar, Balikpapan, Kalimantan Timur. Ketika itu, Suyono (53) hanya bisa termangu memandang tumpukan sampah dikeruk ekskavator. Demikian pula dengan lalu-lalang truk berisi sampah ibarat memberi makan alat berat itu.

Pengerukan sampah ini jadi pemandangan sehari-hari di TPAS Manggar yang masih menggunakan metode sanitary landfill. Di tempat ini, sampah bakal dibuang dengan cara ditumpuk pada area atau lahan yang sudah dibuat jadi cekung. Kemudian dipadatkan.

TPAS Manggar ini beroperasi tidak jauh dari kediaman Yono, sapaan akrab Suyono, di Jalan Proklamasi, Kelurahan Manggar pada 2002. Kala itu, dia selalu ajukan pertanyaan dalam hati, “Bagaimana caranya agar sampah-sampah ini bisa jadi berkah bagi warga. Apa bisa?”

Bulan berbilang tahun, teka-teki itu selalu ia simpan dan renungkan. Berjalan satu dekade, TPAS Manggar memanfaatkan gas metana yang muncul dari tumpukan sampah di sana.

Saat itu pengelola memanfaatkan air lindi, cairan yang dihasilkan dari pemaparan air hujan di timbunan sampah. Proses ini disebut Leachate Treatment Plant atau Instalasi Pengolahan Air Lindi.

Secara biologi, sampah organik yang ditumpuk dan dipadatkan di area tersebut bakal mengalami pembusukan. Dalam prosesnya bakal ada cairan serta gas metana yang dikeluarkan dari sampah yang membusuk.

Gas metana yang keluar itu kemudian dipergunakan untuk jadi sumber energi alternatif, meskipun skalanya belum terlalu besar. Butuh waktu tiga pekan agar gas itu dapat dipergunakan untuk kebutuhan internal TPAS.

“Dulu, saya selalu bermimpi agar warga juga bisa menikmati gas metana. Jadi tak perlu membeli gas lagi,” cerita Yono saat ditemui CNNIndonesia.com pada Jumat, 24 Maret 2023.

Pada tahun 2014, Yono mulai berpikir memaksimalkan gas metana untuk komunitas. Kemampuannya untuk mewujudkan gagasan itu masih terbatas. Yono belajar lagi dari beragam buku.

“Saya kadang keliling TPAS untuk melihat potensi yang ada. Dan ternyata gas metana ini bisa dialirkan ke warga. Saya yakin itu,” terang pria yang menjabat sebagai Ketua RT 61 di lingkungannya.

Setelah rembuk dengan otoritas terkait, warga sekitar dan beberapa ketua rukun tetangga lain, Yono memberanikan diri menghadap Pertamina Hulu Mahakam (PHM). Dia meminta bantuan pipa paralon. Pipa-pipa itu nantinya untuk menyalurkan gas dari TPAS ke rumah-rumah warga.

“Ada syarat yang harus digenapi. Terutama dari segi gas metana itu sendiri. Sanggup tidak dialirkan ke warga,” terang Yono.

Inspeksi PHM memperlihatkan adanya produksi gas metana yang cukup besar dibandingkan kebutuhan warga di sekitar TPAS. Proyek menangkap gas metana itu lantas dieksekusi.

PHM memberikan setidaknya 300-an pipa berbagai ukuran. Ada yang dipasang vertikal ke dalam tumpukan sampah, ada juga yang dipasang horizontal guna mengalirkan gas ke rumah-rumah warga.

Distribusi gas metana ke rumah-rumah warga pun tidak menggunakan mesin. Hanya mengandalkan sejumlah pipa yang dihubungkan ke pembagi aliran gas dan separator yang berfungsi mengurangi kadar air dalam gas metana.

“Waktu itu aliran gas metana tak seperti sekarang 24 jam. Dulu tersendat-sendat,” imbuhnya.

Bekerja sama dengan warga serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Balikpapan, Yono mencari cara agar warga di sekitar TPAS dapat memanfaatkan gas tersebut.

Sepanjang periode 2014-2018, niat baik berbuah manis. Sambungan pipa paralon terus ditambah. Dari satu rukun tetangga, kemudian bertambah lebih banyak penerima manfaat.

“Ada RT 36 dan RT 61, sebanyak 41 rumah bisa memakai gas metana untuk memasak,” terang Yono.

Pada tahun 2019, penerima manfaat dari gas metana ini meningkat jadi 75 rumah.

Penerimanya terus bertambah saat pandemi COVID-19. Saat ini tercatat ada 305 kepala keluarga yang memanfaatkan gas metana dari TPAS Manggar. Tambahan itu datang dari warga di RT 95 dan RT 97 yang masih berada dalam radius 1 kilometer dari gerbang menuju TPAS Manggar.

“Sebagian besar warga yang ada di sini berasal dari ekonomi menengah ke bawah,” kata Yono.

Seiring waktu, Yono punya harapan agar kawasan yang menggunakan gas metana di Kelurahan Manggar diberi nama Kampung Gas Metana. Meski begitu, atas usulan PHM nama Wasteco lebih dipilih. Akronim dari Waste to Energy for Community.

Jenama tersebut, ungkap Yono, lebih mewakili. Bermodalkan pipa paralon seharga puluhan hingga ratusan ribu, 305 kepala keluarga bisa mendapatkan manfaat ekonomi untuk kegiatan dapur dari sampah yang kerap dipandang sebelah mata.

“Warga sekitar TPAS Manggar tak lagi bergantung pada elpiji sejak ada gas metana yang tersambung hingga rumah warga,” kata Yono.

Warga dikenai biaya Rp10 ribu per bulan. Iuran itu digunakan untuk biaya-biaya pemeliharaan jaringan gas. Penggunaan lainnya untuk pembelian pipa paralon baru.

“Uang tersebut juga kami pakai untuk membayar teknisi Rp600 per bulan. Sisanya ditabung guna keperluan dadakan,” tegasnya.

Warga sekitar TPAS Manggar tak lagi bergantung pada elpiji sejak ada gas metana

Suyono, Ketua RT 61 Manggar

Keberhasilan Yono dan kawan-kawan menginisiasi terbentuknya jaringan gas metana ini turut mengundang rasa penasaran. Pertanyaan yang kerap muncul adalah bagaimana Yono menganalisis besaran gas metana yang ada di sampah.

Menurutnya, konsentrasi gas metana paling banyak berada di sampah organik seperti sisa makanan. Pengetahuan itu sebagian besar diperoleh Yono dari lapangan. Dirinya pun berharap semua warga Balikpapan bisa menikmati gas metana untuk keperluan rumah.

“Memakai gas metana yang tersambung ke rumah warga jauh lebih mudah, karena gas selalu tersedia. Kemudian nyaman sebab nyala apinya juga lebih besar,” jelasnya.

Bak sambil menyelam minum air, seiring pengembangan sambungan pipa gas ke rumah warga rupanya program Wasteco juga menginisiasi terbentuknya UMKM di sekitar TPAS Manggar pada 2018. Kini, jumlahnya ada 22 unit usaha olahan makanan rumahan.

Misi mengurangi pemanasan global

TPAS Manggar resmi beroperasi dua dekade lalu di lahan seluas 49 hektare (ha) milik pemkot Balikpapan.

Jarak dari jalur utama, Jalan Mulawarman, menuju ke tempat penampungan sampah ini sekitar 7 kilometer. Tempat ini jadi lokasi pembuangan akhir sampah dari 727 ribu jiwa warga Kota Minyak.

Selama 20 tahun lebih berdiri, TPAS Manggar mempunyai tujuh zona lubang timbun sampah dengan metode sanitary landfill. Semua zona punya ukuran berbeda. Zona 1 seluas 2,6 ha, zona 2 berukuran 3 ha, zona 3 punya dimensi 0,6 ha, zona 4 seluas 1,5 ha, zona 5 berukuran 2,6 ha, zona 6 dan 7 punya luas 3,3 ha.

Dari jumlah itu, zona 1– 4 telah ditanami vegetasi dan sedang dimanfaatkan sebagai penyangga TPA. Kemudian zona 5 baru ditutup, sementara zona 6 dan 7 masih menerima sampah. Satu zona memerlukan waktu 4-5 tahun kemudian ditutup dengan volume sampah tak lebih dari 500.000 meter kubik.

Secara alami, volume sampah bakal terus bertambah seiring pertambahan penduduk. Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK merekam, selama empat tahun terakhir timbunan sampah di Balikpapan alami peningkatan sebesar 56.11 ton.

Pada 2019 jumlahnya 458.62 ton, angka tersebut naik pada 2020 menjadi 481.82, kemudian 2021 ada 497.21 dan pada 2022 sebanyak 514.73 ton. Bila direratakan, dalam sehari satu orang di Kota Minyak bisa hasilkan 0,61 kilogram sampah.

Komposisi sampah yang dihasilkan terbanyak adalah sampah makanan (42,3 persen). Kemudian kertas karton (10,26%), plastik (7,20%), kaca (6,56%), ranting kayu (3,87%), serta logam, kain, karet dan kulit yang komposisinya di bawah 3%. Ada juga jenis sampah yang tidak bisa didaur ulang sebanyak 19,53%.

Sampah-sampah yang masuk ke TPAS Manggar ini belum dipisahkan. Kendati begitu, hanya sampah organik yang punya potensi menghasilkan gas metana, yakni sisa makanan, dedaunan, ranting kayu, dan kertas.

“Semuanya campur jadi satu,” ujar Kepala UPTD TPAS Manggar Balikpapan, Muhammad Haryanto yang ditemui terpisah.

Pemanfaatan sampah oleh TPAS Manggar menjadi sumber energi alternatif bagi warga, sejatinya memang dianjurkan oleh KLHK.

Gas metana (CH4) adalah salah satu penyebab pemanasan global dan berpengaruh terhadap kerusakan lapisan ozon. Potensinya untuk memerangkap panas di Bumi 25 kali lebih besar dibandingkan karbondioksida (CO2).

Dengan demikian, penggunaan metana sebagai gas untuk memasak bisa membantu mengurangi volumenya di angkasa dan meminimalisasi efek rumah kaca.

Tak hanya itu, limbah air lindi yang dihasilkan dari sampah pun tidak dibuang begitu saja. Air itu ditampung kemudian dialirkan ke Leachate Treatment Plant. Zat ini kemudian diproses melalui sejumlah tahapan hingga limbah tersebut dapat dinetralisir.

UPTD TPAS Manggar Balikpapan mengklaim saat dibuang pun air lindi ini tak merusak lingkungan. Bahkan bisa dikonversi menjadi listrik untuk menerangi sebagian kawasan TPAS Manggar.

“Jadi semuanya bisa dimanfaatkan. Baik air lindi dan metana,” kata Haryanto.

Selain memfasilitasi UMKM dan mengembangkan energi alternatif gas, TPAS Manggar juga menjadi wadah ekspansi Bahan Bakar Jumputan Padat (BPJP). Mengolah sampah menjadi bahan bakar pengganti batu bara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

BPJP Plant Manggar ini merupakan pilot project pertama di luar Pulau Jawa dan merupakan hasil kerja sama PLN dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Balikpapan. Pengelolaannya diserahkan kepada TPAS Manggar. Penggunaan BPJP ini dipercaya bisa menurunkan emisi dari PLTU. Hingga kini proyek tersebut masih berlanjut.

“Sebulan bisa mengolah 20-50 ton sampah dan sehari bisa hasilkan puluhan hingga ratusan kilogram pellet dan woodchip. Nantinya, kedua benda itu dicampur dengan batu bara sebagai sumber tenaga PLTU,” sebutnya.

Merengkuh Adipura Kencana

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Balikpapan Sudirman Djayaleksana menjelaskan, capaian TPAS Manggar tak terjadi dalam hitungan satu malam. Semuanya perlu proses panjang bertahun-tahun, hingga akhirnya wadah pemrosesan akhir itu seperti sekarang. Hijau, bersih, dan tak berbau.

“Salah satu pengelolaan sampah yang baik, setidaknya bisa mengurangi efek gas rumah kaca,” tegasnya.

Selain itu, wadah ini tak hanya digunakan sebagai tempat pembuangan sampah, tapi juga tempat rekreasi dan pendidikan bagi masyarakat setempat. Utamanya dalam pengelolaan sampah. Sebab, TPAS Manggar telah dilengkapi dengan fasilitas untuk mendukung kegiatan 3R yaitu reduce, reuse dan recycle. Dalam sehari, tempat ini bisa hasilkan 5 ton kompos.

“Ada juga fasilitas di Manggar yang mendaur ulang sampah plastik (lembaran plastik) menjadi barang kerajinan tangan,” tambahnya.

Sehingga tak heran jika Presiden Joko Widodo pada 2019 lalu sempat menyanjung pengelolaan sampah TPAS Manggar terbaik se-Indonesia untuk kategori sanitary landfill. Biaya pengembangannya juga didukung oleh Kementerian PUPR sebesar Rp160 miliar untuk tiga zona, 5, 6 dan 7.

Karenanya, tak heran bila wadah pengolahan sampah ini menjadi penyumbang keberhasilan Balikpapan mendapatkan Adipura Kencana 2022. Sebelumnya pada 2021, Kota Beriman ini juga dapat penghargaan ASEAN Environmentally Sustainable City (ESC) Award.

“Tapi kami masih punya tugas, terutama untuk pengelolaan sampah. Sampai saat ini, masyarakat belum memilah. Mana yang organik dan anorganik. Seharusnya terpisah,” tegas Sudirman.

Saatnya meninggalkan open dumping

Pada akhir Februari 2005 sebanyak 157 warga tewas akibat longsornya TPAS Leuwigajah di Cimahi, Jawa Barat. Bahkan dua kampung terhapus dari peta akibat tergulung gunung-gunung sampah yang longsor.

Tragedi ini pun mengubah regulasi soal sampah di Indonesia. Aturan itu tertuang di dalam UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Satu dekade lebih setelah berlaku, nyatanya sebagian kabupaten/kota di Indonesia masih menggunakan open dumping — sampah dibuang begitu saja di TPAS hingga menggunung.

“Sistem terbuka ini rawan longsor. Bahkan ada yang masih bakar sampah. Padahal undang-undang sudah melarang, karena polusi dan beracun,” tegas Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Dwi Sawung.

Dalam UU No 18/2008 pada Pasal 44 disebutkan, bila pemerintah daerah meninggalkan metode pengelolaan sampah open dumping paling lama lima tahun, semenjak regulasi ini berlaku.

Kendati demikian, hingga kini di Kaltim sebagian besar penataan sampah masih mengandalkan sistem terbuka. Sawung pun berharap agar kabupaten/kota di Benua Etam bisa menerapkan hal senada seperti Balikpapan.

“Sanitary landfill itu paling disarankan. Gasnya (metana) dambil dan air lindinya diolah. Enggak banyak TPA di Indonesia yang bisa begini,” pungkas Dwi.


Liputan ini didukung oleh program Story Grant yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) melalui Ekuatorial.com dengan tema besar “Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan untuk Alam.” Tulisan terbit pertama kali di CNN Indonesia pada 16 Mei 2023.
About the writer

Yuda Almerio

Yuda Almerio is a journalist from Samarinda, East Kalimantan, who has been working in the media industry since 2012. He currently assists CNNIndonesia.com as a Kalimantan regional contributor. Yuda wanted...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.