Kemitraan transisi energi yang adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) semestinya mampu mendorong demokratisasi.

Kemitraan transisi energi yang adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) semestinya mampu mendorong demokratisasi dan memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan energi di wilayahnya masing-masing. Penilaian itu tersaji dalam diskusi daring bertajuk “JETP dan Inisiatif Transisi Energi di Akar Rumput”, Selasa (20/6/2023).

JETP merupakan program pendanaan senilai AS$20 miliar (setara Rp300 triliun) yang diluncurkan di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali (15/11/2022). Pendanaan ini adalah hasil kesepakatan antara Indonesia dan International Partners Group (IPG), yang disalurkan lewat komitmen sektor publik dan investasi swasta, masing-masing sebesar AS$10 miliar.

Tri Mumpuni, Direktur Eksekutif Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) menilai, sebagai pendanaan transisi energi yang mengusung prinsip berkeadilan, JETP harus menjadikan masyarakat dan komunitas lokal sebagai pelaku utama dalam proyek transisi energi.

Karena itu, penting bagi JETP untuk menonjolkan demokratisasi energi yang memberi ruang pada rakyat untuk menentukan, mengelola, menyediakan, serta memanfaatkan sumber-sumber energi secara mandiri.

“Harus ada demokratisasi energi. Banyak potensi di grass root (akar rumput) yang harusnya bisa dibangun dan dinikmati rakyat, dikelola rakyat, bisa berkesinambungan karena rakyat diberi pemahaman dan diberi tahu, diajak,” ujar Tri Mumpuni.

Seturut Outlook Energi Indonesia tahun 2022, besarnya potensi energi terbarukan nasional untuk pembangkit listrik diperkirakan mencapai 3.643 gigawat (GW). Namun, dari besaran tersebut, baru 0,3% atau 11,6 GW yang dimanfaatkan.

Sementara, berdasarkan baurannya, pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) nasional sepanjang 2021 dan 2022 menunjukkan peningkatan yang relatif lambat, masing-masing di angka 12,16% dan 12,3%.

Tri Mumpuni meyakini, besarnya potensi energi terbarukan yang belum termanfaatkan di Indonesia merupakan bekal untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pengembangan energi di wilayahnya masing-masing.

Dalam konteks ini, pendanaan JETP sebaiknya digunakan untuk memberi pelatihan dan pendampingan, pengembangan teknologi, serta penyediaan trust fund (dana amanah) yang bisa diakses masyarakat.

“Keberdayaan itu kata kuncinya,” masih dikatakan Tri Mumpuni. “Jadi jangan sekali-kali memisahkan rakyat dengan sumber daya lokal di sana. Itu jauh dari mimpi just energy transition.”

Sisilia Nurmala Dewi, Kepala Tim 350 ID mengatakan, desentralisasi dan demokratisasi energi dipercaya sebagai skema terbaik untuk mewujudkan transisi energi berkeadilan di Indonesia. Sekaligus, menjadi komponen yang membedakan dengan pemanfaatan energi konvensional.

Dalam pemanfaatan energi fosil, minyak bumi, gas dan batubara dikeruk di suatu tempat kemudian didistribusikan ke banyak tempat. Sedangkan, desentralisasi dan demokratisasi energi akan mendekatkan masyarakat dengan sumber daya di sekitarnya.

“Di mana dia diproduksi, dekat dengan dikonsumsi. Nah, solusi itu perlu diterapkan secara luas, tetapi tidak boleh mengancam hak atas tanah ataupun mata pencaharian masyarakat adat dan komunitas lokal,” terang Sisilia.

Untuk itu, mekanisme pendanaan JETP diharapkan dapat menempatkan masyarakat dan pemerintah daerah sebagai bagian penting dalam pengembangan energi terbarukan di wilayahnya, diikuti renegosiasi 14 GW PLTU yang ada dalam pipeline, dan menjauhi distraksi dari upaya pengurangan emisi.

Pesan paling kuat

Adhityani Putri, Direktur Komunikasi Sekretariat JETP Indonesia mengatakan, energi terdesentralisasi merupakan pesan paling kuat dalam dialog masyarakat sipil yang diadakan sekretariat JETP. Di samping itu, perencanaan JETP diupayakan mangayomi masukan dari berbagai stakeholder, termasuk pemerintah daerah dan unsur-unsur masyarakat sipil.

“Jadi proses yang dinamis dan interaktif pasti akan ada. Harapannya kita bisa melakukan ini dengan lebih baik, tidak seperti business as ussual, karena JETP ini hadir untuk mengupayakan something that is not ussual,” ujarnya.

Hingga 16 Agustus 2023, sekretariat JETP menargetkan perampungan dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Dokumen ini berisi tiga prinsip utama yakni:

  1. Kontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia dan memastikan keterjangkauan energi;
  2. Memastikan ketahanan energi dan stabilitas jaringan transmisi;
  3. Memastikan pencapaian target bersama dan penurunan emisi karbon sejalan dengan ambisi pemerintah.

Sementara, anggaran AS$20 miliar baru akan dimobilisasi pada periode tingga hingga lima tahun mendatang. Karena itu, Adhityani belum bisa menjelaskan lebih jauh terkait mekanisme penganggaran JETP.

“Jadi tahun pertama sampai tahun ketiga ini, tugas kami bikin rencana, mengidentifikasi, menyiapkan proyek, perangkat kebijakan juga merancang transisi yang adil,” jelasnya. “Tapi prioritas kami, memastikan bahwa kita bisa mengintegrasikan pendekatan-pendekatan berbasis komunitas ini dan energi terdesentralisasi ke dalam CIPP.”

JETP Indonesia sendiri memiliki empat target yakni, pertama, puncak emisi sektor ketenagalistrikan terjadi pada tahun 2030 atau lebih cepat dari proyeksi awal. Kedua, emisi sektor ketenagalistrikan tidak melebihi 290 juta ton CO2 di tahun 2030.

Ketiga, mencapai emisi nol bersih (net zero emission) untuk sektor ketenagalistrikan di tahun 2050, lebih cepat 10 tahun dari proyeksi awal. Dan, keempat, mencapai bauran energi terbarukan sebanyak 34% sektor ketenagalistrikan di tahun 2030.

Adhityani berharap, target-target itu dapat tercapai dan diimplementasikan melalui proyek-proyek yang transformatif, menggunakan energi terbarukan dan mendorong demokratisasi energi.

Energi terbarukan di Kasepuhan Ciptagelar

Di tingkat akar rumput, praktik pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat telah dimulai Kasepuhan Ciptagelar, sejak tahun 1987 melalui pembangunan turbin gelebeg. Dengan menjunjung nilai-nilai keadatan, mereka berupaya menjaga kelestarian alam serta mengembangkan peradaban.

Yoyo Yogasmana, Juru bicara Kasepuhan Ciptagelar menjelaskan, sejak tahun 1368 mereka telah menerapkan tradisi ngalalakon atau menjalani kehidupan seperti perintah leluhur. Menurutnya, nilai-nilai dalam tradisi itu menganjurkan komunitas adat di sana untuk mengimbangi perekembangan zaman tanpa meninggalkan tatanan adat dan tradisi.

Di samping itu, mereka juga menerapkan wewengkon adat (sistem pembagian hutan), yang meliputi hutan tutupan atau larangan yang tidak boleh dieksploitasi. Hutan titipan, yang harus dirawat agar bisa digunakan di masa depan. Serta hutan garapan, yang menjadi perkampungan, lahan pertanian, perkebunan dan lain sebagainya.

“Kami mendapat bonus dari menjaga hutan, air mengalir maka kemudian pada 1987 kasepuhan telah mulai mencoba membuat turbin yang disebut turbin gelebeg. Terbuat dari kayu, kincirnya kayu, memutarkan generator hanya 3000 watt. Itu bisa menarangi kampung Ciptarasa, karena kasepuhannya masih bernama Ciptarasa (dari 1982 hingga 2000an),” terang Yoyo.

Dalam perkembangannya, masyarakat Ciptagelar membangun 5 Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh), yakni PLTMh Cicemet pada tahun 1997, PLTMh Ciganas tahun 2003, PLTMh Situmurni tahun 2006, PLTMh Cibadak tahun 2014, serta PLTMh Situmurni II. Semua PLTMh di sana, disebut mampu memberi akses listrik pada seluruh warga di desa itu.

“Masyarakat menggunakan kelistrikan itu sangat sederhana. Kami buatkan kincir dari kayu, kemudian aliran air memutarkan kincir tadi, yang digunakan untuk menggerakkan semacam motor yang menghasilkan 100-400 watt, dan itu cukup untuk menerangi setiap rumah dari aliran air yang kecil.”

Dia berharap, kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat menjadi contoh pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat. Juga menunjukkan bahwa, masyarakat adat yang menjalankan nilai-nilai tradisional juga mampu memanfaatkan teknologi modern, termasuk dalam urusan transisi energi.

About the writer

Themmy Doaly

Themmy Doaly has been working as Mongabay-Indonesia contributor for North Sulawesi region since 2013. While in the last nine years he has also been writing for a number of news sites in Indonesia, including...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.