Apa yang Anda pikirkan saat seseorang menyebut Kota Palembang? Pasti selain Jembatan Ampera, maka pempek sebagai makanan khasnya muncul dibenak Anda.

Pempek adalah makanan khas Palembang, Sumatera Selatan, yang terbuat dari bahan baku ikan. Salah satunya adalah jenis tenggiri (Scomberomorus commerson) karena cita rasanya lebih disukai dibandingkan jenis ikan lain.

“Masak pempek biasanya pakai ikan tenggiri itu lebih lemak (enak), keraso (terasa) makan pempek ikan-nyo,” ujar Rohaya, ibu rumah tangga di Palembang.

Berbeda dari jenis ikan sungai atau laut lainnya, daging tenggiri bertekstur banyak serat, lembut, dan lengket. Duri tenggiri juga tergolong mudah dilepaskan dan dagingnya yang berwarna putih, cocok dikombinasikan dengan tepung kanji atau sagu. Tenggiri juga kaya akan gizi, seperti protein dan asam lemak omega 3.

Oleh karena itu ia lebih sering dipilih sebagai bahan utama pempek, juga penganan khas Palembang lainnya seperti, kerupuk, model, tekwan, laksan dan celimpungan.

“Memang pacak (bisa), buat pempek atau model dan tekwan itu pakai daging giling ikan jenis lain, tapi kalo pakai ikan tenggiri jadi lebih bersih, putih, kenyal dan lemak rasonyo (rasanya),” jelas Rohaya.

Pada dasarnya, tenggiri bisa digantikan jenis ikan lain, seperti belida, gabus, kakap, dori, teri dan lainnya. Namun, sejumlah ikan tersebut cukup sulit ditemukan bahkan ada yang terancam punah. Hanya tenggiri dan gabus yang masih banyak dijual di pasar tradisional Kota Palembang.

Karena populer dan banyak dicari, harga tenggiri terbilang mahal. Tenggiri giling di Palembang dijual antara Rp120.000-Rp150.000/kilogram. Sementara, daging ikan gabus giling berkisar antara Rp90.000-Rp110.000/kg, dan kakap giling dijual dengan harga Rp30.000-Rp40.000/kg.

Walau demikian, tingginya harga tersebut tidak menghalangi konsumen, terutama wisatawan lokal atau mancanegara, untuk selalu mencari label “Ikan Tenggiri Asli” setiap kali berbelanja oleh-oleh di Kota Palembang.

Masalahnya kini, bagaimana jika ikan tenggiri nan populer itu berpotensi tercemar logam berat timbal?

Potensi kontaminasi logam berat di ikan tenggiri

Persoalan kontaminasi logam berat timbal (plumbum/Pb) pada ikan tenggiri mencuat pada tahun 2022 ketika dilakukan penelitian berjudul “Analisis Kadar Timbal dan Merkuri pada Ikan Tenggiri Giling di Kecamatan Ilir Barat Satu Kota Palembang” oleh Evada Putri Dianti dari UIN Raden Intan Lampung.

Mahasiswi Program Studi Pendidikan Biologi itu menemukan bahwa daging tenggiri yang dijual di tiga pasar tradisional Kota Palembang telah terkontaminasi logam berat timbal. Kandungan timbal yang ditemukan pada sampel daging tenggiri giling dari tiga pasar tradisional tersebut melebihi ambang batas layak konsumsi ketetapan Badan Standardisasi Nasional (BSN) yakni 0.3 mg/kg.

Evada menemukan kandungan Pb dalam daging ikan tenggiri giling di Pasar Soak Bato, Pasar 26 Ilir dan Pasar Bukit Kecil berkisar antara 1.90 mg/kg-2.90 mg/kg.

Timbal berbahaya bagi manusia. Jika terpapar logam berat tersebut secara berlebih, seseorang bisa mengalami kerusakan pada ginjal dan sistem saraf pusat yang akhirnya bisa menyebabkan kematian.

Tentu saja hasil penelitian tersebut menerbitkan kekhawatiran untuk mengonsumsi tenggiri.

Ekuatorial pun coba menelusuri dan menelisik sampel ikan tenggiri giling dari tiga pasar ke Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Palembang. Dua pasar –Pasar 26 Ilir dan Pasar Soak Bato– sama dengan yang diteliti oleh Evada, sementara satu pasar lainnya adalah Pasar Cinde.

Sebagian besar ikan tenggiri yang dijual di ketiga pasar tersebut sudah dibekukan dan dikemas dalam plastik. Ikan baru digiling saat dibeli. Pembeli biasanya adalah ibu rumah tangga dan pengusaha makanan, baik partai kecil maupun besar.

Namun ada juga pedagang yang menjajakan tenggiri segar, lalu menguliti, memotong, dan menggiling langsung di kios penggilingan.

Deni (37) adalah pemilik kios penggilingan ikan tenggiri di Pasar Cinde. Ia fokus pada produksi tenggiri segar hasil tangkapan dari perairan Provinsi Bangka Belitung dan Lampung.

“Setiap hari produksi, kita ambil fresh dari laut langsung, Bangka dan Lampung. Kemudian dikirim ke sini, bukan ikan yang sudah beku,” ujarnya, Kamis (10/8/2023).

“Ya bisa dilihat sendiri, kita pisahkan tulang dan daging ikan tenggiri itu satu persatu, kemudian fresh digiling dan dikemas, jadi makanya harganya jauh lebih tinggi dari tempat lain.”

Sementara Toni (40), pemilik kios penggilingan tenggiri di Pasar Soak Batu, mengaku menjual tenggiri dari Laut Jawa, melalui agen ikan di Pasar Induk Jakabaring.

“Tidak setiap hari kalau mengambilnya. Biasanya kita stok sekali masuk itu bisa sampai satu ton,” kata Toni.

Pelanggan kios Toni sebagian besar adalah rumah tangga atau partai kecil dengan harga Rp40.000/kg. Toni menambahkan, ada juga beberapa toko pempek menjadi pelanggannya.

Ekuatorial lalu menguji dua sampel daging ikan tenggiri giling. Sampel pertama diambil pada 10 Agustus 2023 dari Pasar Cinde dan Pasar 26 Ilir.

Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa ikan tenggiri giling dari kedua pasar itu sama-sama memiliki kadar logam berat timbal sebesar 0,043 mg/kg.

Sampel kedua merupakan daging ikan tenggiri giling di Pasar Soak Bato yang diambil pada 30 Agustus 2023. Hasilnya, produk tersebut hanya mengandung kadar logam berat timbal 0,027 mg/kg.

Angka-angka tersebut memenuhi standar layak konsumsi BSN dan jauh lebih kecil dari hasil penelitian mahasiswa UIN Raden Intan Lampung tahun lalu.

Dosen Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya Dr Rinto, SPi MP menjelaskan, perbedaan hasil uji laboratorium tersebut sangat wajar terjadi. Sebab, tenggiri bukanlah jenis ikan yang hanya berdiam atau menetap di satu habitat perairan tertentu saja. Tenggiri adalah ikan yang beruaya atau berpindah-pindah tempat (migrasi).

Tidak hanya bermigrasi di seputar wilayah Indonesia, tenggiri juga bisa berenang ke luar Nusantara. Pola migrasi tersebut dipengaruhi oleh temperatur air laut atau saat musim bertelur tiba.

“Jadi, ikan tenggiri yang ditangkap oleh nelayan kita bisa jadi bukan ikan yang telah lama mendiami perairan kita,” kata Rinto.

Dia melanjutkan, sangat mungkin tenggiri yang diambil di wilayah yang sama tetapi pada waktu berbeda akan memiliki kadar logam berat timbal yang berbeda pula.

“Jadi untuk logam berat di daging ikan tenggiri sangat memungkinkan bervariasi,” jelasnya.

NoInstansiPasar TradisionalPeriode Pengambilan SampelHasil Laboratorium
1UIN Raden Intan LampungPasar Soak Bato, Pasar 26 Ilir, Pasar Bukit Kecil 1.90 mg/kg – 2.90 mg/kg
2BBLK PalembangPasar 26 Ilir10 Agustus 20230,043 mg/kg
3BBLK PalembangPasar Cinde10 Agustus 20230,043 mg/kg
4BBLK PalembangPasar Soak Bato30 Agustus 20230,027 mg/kg

Belum banyak penelitian lain terkait kemungkinan tercemarnya ikan tenggiri di wilayah Indonesia. Satu penelitian yang sempat menarik perhatian dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor pada rentang waktu April, Juni dan Agustus 2013. Para peneliti menemukan daging tenggiri dari wilayah Kronjo dan Cituis di Perairan Pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, mengandung kadar logam berat yang tinggi, terutama timbal.

Bahaya komsumsi ikan tenggiri terkontaminasi timbal

Ikan tenggiri yang sehat memiliki kandungan gizi yang tinggi, bahkan hampir menyamai tuna dan salmon. Mereka kaya akan vitamin A, C, B1, omega 3, lemak, serta glikogen yang sangat bermanfaat untuk menjaga daya tahan tubuh, menambah kecerdasan, dan perbaikan energi.

Akan tetapi, konsumsi yang berlebihan bisa memunculkan bahaya penumpukan kadar logam berat timbal pada konsumennya.

Dalam rantai makanan, senyawa timbal yang mengontaminasi ikan tidak dapat hilang begitu saja dan berpeluang untuk masuk ke tubuh manusia sehingga menyebabkan beberapa penyakit.

Dalam makalah berjudul “Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya Terhadap Kesehatan” yang terbit di Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol 2, No.2, Januari 2006 dijelaskan bahwa paparan bahan tercemar Pb terhadap manusia dapat menyebabkan gangguan pada organ seperti gangguan neurologi (susunan syaraf), fungsi ginjal, sistem reproduksi, sistem hemopolitik, hingga kinerja otak.

Keracunan timbal akut akan menimbulkan gangguan fisiologis dan efek keracunan yang kronis pada anak yang sedang mengalami tumbuh kembang akan menyebabkan gangguan fisik dan mental.

Potensi bahaya mengonsumsi daging ikan tenggiri yang terkontaminasi logam berat timbal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Van Nam Thai dkk (2021), yang terbit di National Center for Biotechnology Information Pubmed, mereka menemukan fillet ikan tenggiri batang di sejumlah negara mengandung kadar logam berat yang cukup tinggi, hingga mencapai 180,99 mg/kg. Ini diatas ambang batas aman SBN 0,3 mg/kg.

Anak-anak di Malaysia dan Filipina disebut paling berisiko mengalami gangguan kesehatan berdasarkan perkiraan tingkat risiko non-karsinogenik jika mengonsumsi fillet ikan tenggiri batang itu.

Namun, Dr Rinto menyampaikan ada cara mengolah ikan tenggiri sehingga lebih aman untuk dikonsumsi. Menurut dia, pengolahan daging tenggiri giling menjadi pempek akan menurunkan kadar logam beratnya dibandingkan jika dikonsumsi dalam kondisi segar.

Pempek biasanya dibuat dengan perbandingan 50:50 antara daging dan tepung yang dipakai. “Selain itu, proses pembuatan, mulai dari pencucian dan seterusnya memungkinkan pengurangan kadar logam berat,” ujar pria lulusan Food Science IPB ini.

Pendapat Rinto didukung juga oleh hasil penelitian yang dirilis Jurnal Perikanan dan Ilmu Perairan Korea Universitas Nasional Gyeongsang pada 2012. Memasak tenggiri, menurut tim peneliti, akan mengubah komponen gizi di dalam tenggiri dan akan mengurangi kadar logam berat di dalam dagingnya.

Meski demikian, tak hanya daging tenggiri yang perlu diperhatikan dalam proses produksi. Peralatan dan air yang digunakan juga harus diusahakan terbebas dari kontaminasi logam berat.

Rinto mengatakan, saat ini sumber-sumber kontaminan logam berat sangat beragam, seperti polusi udara, penggunaan pipa air yang tidak baik dan lain-lain. Kontaminasi logam berat timbal ini sulit untuk dideteksi panca indera karena tidak akan mengubah bau, rasa dan warna dari ikan tenggiri itu.

Distribusi ikan tenggiri di Indonesia

Ikan tenggiri yang dijual di Kota Palembang jelas tidak dibudidayakan di dalam kota, melainkan didatangkan langsung dari berbagai daerah di Indonesia.

“Dari informasi gudang distributor ikan di kita (Kota Palembang), ikan tenggiri ini biasanya dikirim dari Pulau Jawa atau Bangka,” kata Kasie Pemasaran Dinas Perikanan Sumatera Selatan, Junias Tarigan, Senin (31/7/2023).

Junias juga menegaskan bahwa tenggiri yang dijual di Palembang tidak berasal dari perairan Tangerang. “Mungkin kalau gudang di Tangerang dan Bekasi, tapi bukan dari perairan Tangerang,” ujarnya.

Jenis tenggiri yang paling sering dijumpai di Palembang adalah tenggiri papan (Scomberomorus guttatus) dan tenggiri batang (Scomberomorus lineatus). Tenggiri batang kerap disebut sebagai tenggiri kategori super oleh para pedagang.

Distribusi ikan tenggiri ke Palembang biasanya dilakukan tiga kali per minggu dengan jumlah total minimal 12 ton. Ikan-ikan tersebut lantas dikirimkan ke agen, pedagang, serta usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) yang membutuhkan.

Tenggiri masih berkerabat dekat dengan tuna, tongkol, dan kembung, yaitu kelompok ikan spanish mackerel. Mereka hidup tersebar di lautan wilayah Pasifik Barat, mulai dari Afrika Utara, Laut Merah, Indonesia, Australia, Fiji, hingga China dan Jepang.

Di Indonesia, tenggiri hidup di nyaris seluruh perairan dari Jawa hingga Papua. Pasalnya, ikan ini cocok untuk hidup dan berkembang biak di daerah tropis.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, produksi ikan tenggiri di Indonesia mencapai 203.759 ton pada 2021. Jumlah ini turun 2,81 persen dibandingkan 209.654 ton pada 2020.

Berdasarkan wilayahnya, pada tahun 2021 tenggiri paling banyak diproduksi di Jawa Barat, mencapai 38.990,47 ton. Jumlah itu setara dengan 19,14 persen dari total produksi tenggiri nasional.

Provinsi Kepulauan Riau ada di peringkat kedua dengan produksi 16.293,58 ton, disusul Sumatera Utara (11.789,95 ton).

Tren produksi tenggiri di Indonesia sendiri terlihat fluktuatif setiap tahunnya. Sejak 2010, produksi tenggiri terbanyak terjadi pada 2017 ketika mencapai 300.690,76 ton.

Liputan ini merupakan beasiswa dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jakarta yang didukung oleh Internews EJN


About the writer

Ellyvon Pranita

Ellyvon Pranita started her journalism career at the Ukhuwah Student Press body of the Raden Fatah Islamic State University in Palembang, South Sumatera. Ellyvon continued to learn and expand her skills,...

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.