“Sekarang perempuan adat bersatu menolak penimbunan dan penebangan hutan mangrove di kampung kami,” kata Marice Hababu, saat ditemui di Konferensi Tenurial 2023 di Jakarta, Senin (16/10/23).
Marice Hababu adalah perempuan adat Tobati, Jayapura, Papua. Saat ini, dia dan rekan-rekannya sedang berusaha mempertahankan suatu wilayah mangrove yang disebut sebagai ‘hutan perempuan’. Seperti namanya, wilayah ini hanya boleh dimasuki perempuan.
Di sana, selain mencari siput, kerang, udang, dan kepiting, para perempuan punya ruang lebih untuk berbagi pengetahuan dan pendapat, kesempatan yang nyaris tidak mereka dapatkan dalam pertemuan-pertemuan adat.
“Di dalam itu kami bisa bicara, berbagi. Kalau di adat kan perempuan tidak punya hak bicara, tidak diberi ruang,” terangnya.
Maka ketika terjadi penebang mangrove, perempuan-perempuan di daerah itu sepakat menyatakan penolakan. Sebab, mereka khawatir bukan saja akan kehilangan ruang pencaharian, tetapi juga hutan untuk berbagi pengetahuan.
Asmania, perempuan nelayan dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, punya cerita lain. Lebih dari 90% daratan di pulau seluas 41,32 hektare itu, telah diklaim sebagai lahan milik perusahaan. Akibatnya, warga berulang kali bentrok, mengalami intimidasi hingga kriminalisasi karena mempertahankan ruang hidupnya.
“Pulau Pari itu dekat dengan Jakarta, tapi konfliknya tidak pernah terselesaikan,” kata Aas, sapaan akrab Asmania. “Ketika lihat warga lain dari banyak daerah, saya sedih. Dekat Jakarta saja tidak terselesaikan, bagaimana dengan konflik agraria di daerah.”
Marice dan Aas adalah sebagian perwakilan komunitas masyarakat yang hadir dalam Konferensi Tenurial 2023 di Jakarta, 16-17 Oktober. Tenurial bisa didefinisikan sebagai hak untuk menguasai lahan dan akses sumber daya di dalamnya.
Total, kegiatan itu dihadiri 750 perwakilan komunitas masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia.
Konferensi Tenurial 2023 diselenggarakan oleh 28 organisasi masyarakat sipil. Pada tahun ini, tema yang dipilih adalah “Mewujudkan Keadilan Sosial dan Ekologis Melalui Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam”.
Tujuannya, menciptakan kondisi dan prasyarat yang memungkinkan terjadinya pelaksanaan reforma agraria sejati dan pengelolaan sumberdaya alam yang beradab, sebagai jalan mewujudkan keadilan sosial-ekologis bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Memperkuat masyarakat sipil
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) berharap, Konferensi Tenurial 2023 dapat memperkuat gerakan masyarakat sipil, menyatukan pandangan, memilih strategi, dan berbagi pengalaman.
Di samping itu, perwakilan masyarakat yang hadir juga diharapkan dapat menjadikan hasil konferensi sebagai panduan gerakan internal masing-masing kelompok, melihat lebih dalam monopoli tanah yang mengakibatkan ketimpangan, konflik agraria, kerusakan alam, dan kemiskinan struktural.
“Konferensi Tenurial ini menjadi ajang konsolidasi gerakan rakyat untuk memperkuat diri dan posisi gerakan. Sehingga ke depan, perjuangan rakyat akan menemukan jalan yang kuat,” terang Dewi yang juga menjabat Ketua Steering Committe Konferensi Tenurial 2023.
Berdasarkan catatan KPA, sepanjang 2015-2022 telah terjadi setidaknya 2.710 konflik agraria yang berdampak pada 5,88 juta hektare wilayah masyarakat. Menurut KPA, konflik itu dipicu beragam bisnis dan investasi, pembangunan infrastruktur, pertambangan, hingga proyek-proyek strategis nasional dan pariwisata premium.
Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, konferensi tenurial pernah diselenggarakan pada tahun 2011 dan 2017 dengan melibatkan perwakilan pemerintah. Namun untuk tahun ini, penyelenggara tidak melibatkan pemerintah sebagai pembicara. Sebab, alih-alih memperbaiki kondisi masyarakat, pelibatan pemerintah disebut malah memperburuk konflik agraria.
“Bukannya menghapus Undang-Undang yang membuat masyarakat terhambat, bukannya menghadang konflik, tapi membuat Undang-Undang baru yang memperparah,” terang Isnur. “Periode pertama (Presiden Joko Widodo) ada 16 paket kebijakan ekonomi. Periode kedua mengubah 70 UU. Lagi-lagi untuk investasi.”
Karena itu, Konferensi Tenurial 2023 murni dijadikan ruang masyarakat sipil untuk refleksi, evaluasi, serta agenda memperkuat gerakan organisasi dan komunitas masyarakat sipil. “Harapannya, forum ini dapat membagikan pelajaran tentang menghadapi kekuasaan yang tanpa batas,” tegas Isnur.
Meski demikian, penyelenggara tetap mengundang 11 kementerian untuk mendengarkan permasalahan masyarakat. “Mau ganti atau tidak (pemerintah), ini adalah agenda rakyat yang seharusnya jadi isu utama, daulat, prinsip mereka bekerja,” tambahnya.
Konferensi Tenurial 2023 merupakan puncak dari serangkaian kegiatan, termasuk konferensi tenurial regional yang diadakan di Papua, Maluku dan pulau-pulau kecil, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, serta Sumatera.
Ada empat rekomendasi kepada pemerintah yang dihasilkan dari beragam diskusi yang diadakan selama dua hari penyelenggaraan Konferensi Tenurial 2023, yaitu:
- Meluruskan dan mengoreksi paradigma, kebijakan, praktik reforma agraria ataupun pengelolaan SDA, serta peraturan lain terhadap keadilan sosial-ekologis.
- Mendesak agar dilakukan reformasi kelembagaan.
- Mempercepat dan mengembangkan pengakuan atas keragaman bentuk penguasaan kekayaan agraria, baik di darat, pesisir, maupun pulau-pulau kecil.
- Memastikan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi bagi masyarakat adat, petani, nelayan, serta perempuan.
Konsensus dan rekomendasi hasil konferensi ini akan didorong untuk menjadi dokumen strategis pembangunan, serta platform perubahan kebijakan di berbagai tingkat pemerintahan. Juga, menjadi garis haluan bagi masyarakat sipil dalam merealisasikan keadilan sosial-ekologis, melalui pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.