Koalisi untuk ketahanan usaha perikanan nelayan (KUSUKA) mengungkap sebanyak 82% nelayan di Indonesia sulit mengakses Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Permasalahan ini disebabkan berbagai faktor, seperti rumitnya administrasi hingga minimnya infrastruktur.
Padahal, menurut KUSUKA, 90% nelayan merupakan kategori nelayan kecil dengan 11,34% dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara, pembelian bahan bakar mencakup 60-70% dari biaya melaut. Oleh karenanya, dukungan negara terhadap bahan bakar melaut dapat meningkatkan pendapatan dan nilai tukar nelayan.
Data tersebut terbuka dalam policy brief bertajuk “Reformasi Belanja Subsidi BBM Untuk Akses Nelayan Kecil” yang dirilis oleh Koalisi KUSUKA.
Koalisi KUSUKA terdiri dari Perkumpulan Inisiatif, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), dan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA).
Dani Setiawan, Ketua Umum KNTI mengatakan, mayoritas nelayan dihadapkan pada ketidaktahuan dan rumitnya mengurus surat rekomendasi untuk mengakses BBM bersubsidi.
Surat rekomendasi yang dimaksud, kata Dani, harus menyertakan kelengkapan semisal Pas Kecil (surat tanda kebangsaan kapal) dan Kartu Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA). Persoalannya, dia mencontohkan, banyak nelayan yang belum memiliki kartu KUSUKA karena masalah pendataan.
“Kalau ini diterapkan, kemungkinan besar mereka juga tidak bisa mengakses BBM bersubsidi,” terangnya dalam jumpa pers bertajuk “Anggaran Subsidi-Kompensasi BBM dan Nasib Nelayan Kecil”, Jakarta (31/10/23).
Selain itu, sulitnya nelayan mengakses BBM bersubsidi disebut karena minimnya infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum Nelayan (SPBUN). Kata Dani, hingga 2023 baru terdapat 397 unit SPBUN. Angka itu dianggap tidak sebanding dengan kampung nelayan yang tersebar di lebih dari 10 ribu desa pesisir.
Dia menyebut, pada tahun 2022 Kementerian Koperasi, Kementerian BUMN dan Pertamina sempat mendorong program Solar untuk Koperasi Nelayan (Solusi) yang bertujuan menambah dan mempermudah pendirian SPBUN.
Namun, berdasarkan kajian mereka, program ini berhadapan dengan kendala permodalan kelompok nelayan. “Bagaimanapun, koperasi perikanan, koperasi nelayan, belum punya kecukupan modal yang kuat untuk mendirikan ini (SPBUN). Perlu bantuan pemerintah. Pengurusan izin daerah juga masih bermasalah,” kata Dani.
Atas temuan-temuan itu, Koalisi KUSUKA merekomendasikan pembentukan atau pemberdayaan koperasi di sekitar pesisir sebagai lembaga sub penyalur BBM. Program ini diharapkan dapat mempermudah akses BBM bersubidi bagi nelayan kecil atau tradisional.
Mereka juga mendorong Kementerian Keuangan untuk membuat instrumen kebijakan subsidi yang lebih efektif dan tepat sasaran. Serta, meminta BPH Migas, PT Pertamina dan KKP memutakhirkan dan menyempurnakan data nelayan, untuk menentukan kuota BBM bersubsidi.
Perbaikan sistem
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Arif Budimanta, menyatakan pemerintah sedang berupaya mengatasi masalah pendataan nelayan, salah satunya melalui basis data bernama Registrasi Sosial-Ekonomi. Menurut dia, basis data itu nantinya akan mencakup seluruh populasi, termasuk juga mata pencaharian.
“Register Sosial-Ekonomi ini jadi semacam basis data terpadu yang bisa dimanfaatkan, agar alokasi subsidi BBM khususnya bagi nelayan kecil, lebih tepat sasaran,” terang Arif melalui saluran Zoom.
Dalam hal infrastruktur, dia mendorong komunitas-komunitas nelayan untuk membentuk koperasi yang ditujukan untuk mengelola SPBUN. Koperasi ini, lanjut Arif, juga dapat dijadikan mitra untuk memenuhi kebutuhan modal kerja melalui mekanisme Kredit Usaha Rakyat.
Selain pendataan, rendahnya akses BBM bersubsidi oleh nelayan diperkirakan karena teknis pencatatan di bidang penyaluran bahan bakar. Teuku Desky Arifin, perwakilan Pertamina yang juga hadir melalui saluran Zoom mengatakan, Pertamina hanya mencatat serapan BBM bersubsidi untuk nelayan berdasarkan data dari SPBUN.
Sementara, dia menduga, ada banyak nelayan yang mengakses BBM dari SPBU regular. Hal inilah yang dinilai menyebabkan data penyerapan BBM oleh nelayan terbilang rendah. “Laporan tercatat di Pertamina itu hanya mencatat dari SPBUNnya, belum bisa mencatat realisasinya melalui SPBU regular,” ujarnya.
Desky menyebut, permasalahan teknis itu sebagai catatan untuk melakukan perbaikan. Dari situ dia berharap, dikemudian hari data konsumen BBM dapat diketahui berdasarkan latar profesinya, termasuk nelayan.