Penggerak Kelompok Perempuan Pulau Pari, Asmania, menceritakan bagaimana warga di wilayahnya, yang hanya berjarak dua kilometer dari Ibu Kota Jakarta, menjadi korban kebiadaban perusahaan dan pemerintah.

Cerita itu disampaikannya dengan penuh emosi dalam agenda ‘Green Press Community’ yang digelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of lndonesian Environmental Journalists/SIEJ) di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Kamis (9/11).

Dalam kesempatan tersebut, Asmania menegaskan, bahwa warga Pulau Pari, khususnya kalangan perempuan, berkomitmen penuh menjaga kelestarian lingkungan laut dan pesisir. Pasalnya, laut menjadi sumber kehidupan bagi warga yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan itu.

Dia mengungkapkan bahwa para warga pulau telah melakukan berbagai upaya dalam menjaga kelestarian lingkungan, khususnya ekosistem laut dengan rutin menanam mangrove di wilayah pesisir.

“Kami perempuan-perempuan Pulau Pari berkomitmen menanam mangrove setiap bulannya. Terakhir kami juga menanam 6.000 mangrove bersama wisatawan,” kata wanita yang akrab disapa Teh Aas tersebut. 

Namun, kata dia, upaya tersebut seolah tidak ada artinya lantaran reklamasi besar-besaran yang terjadi. Pada akhirnya, ekosistem laut akan tetap rusak dan warga pun kehilangan mata pencahariannya.

“Ketika kami menanam mangrove, tapi di gugusan Pulau Pari terjadi reklamasi besar-besaran. Itu yang menyebabkan terumbu karang rusak, suami-suami juga susah melaut,” tuturnya.

“Jadi, ketika sudah tidak bisa melaut, otomatis perempuan-perempuan Pulau Pari mempunyai beban ganda. Kami harus sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” sambungnya.

Asmania mengatakan, mereka telah berupaya mengadukan persoalan tersebut ke pihak-pihak terkait, seperti Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta, bahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Namun upaya tersebut, katanya, belum juga membuahkan hasil positif. Sehingga ia pun menduga, pemerintah lebih condong ke perusahaan-perusahaan yang mendukung adanya reklamasi.

Kami tidak mau menjadi budak di tanah sendiri

Asmania, warga Pulau Pari

Lebih lanjut, Teh Aas bercerita bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut memberikan tekanan kepada warga Pulau Pari. Bahkan dikatakannya, tekanan tersebut diberikan dengan cara yang tak elok dilakukan di Indonesia yang telah 78 tahun merdeka.

“Cara-cara perusahaan itu masih zaman VOC. Kami warga Barat dan Timur masih diadu domba oleh mereka. Banyak kawan kami yang direkrut jadi security, dipekerjakan oleh perusahaan. Sehingga banyak kawan kami yang sudah tidak seperjuangan dengan kami,” tuturnya sembari tersedu-sedu menahan tangis.

Dia menegaskan, bahwa pihaknya warga Pulau Pari akan terus berjuang untuk bertahan hidup di tanah kelahiran mereka, dengan konsisten menanam mangrove.

“Karena dengan bertanam adalah bentuk perlawanan kami. Kami tidak mau menjadi budak di tanah sendiri. Walaupun kami harus terus-terusan bentrok dengan security yang dikirimkan oleh perusahaan,” tegasnya.

“Kami masih berjuang sampai sekarang untuk anak cucu kami,” pungkasnya.

Green Press Community merupakan ajang perdana yang diorganisasi oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalists/SIEJ) guna menghimpun ide dan memantik gerakan bersama untuk melestarikan lingkungan hidup di Indonesia.

Berlangsung sejak Rabu (8/11), GPC menghadirkan berbagai learning session, talk show, dan konferensi yang melibatkan ratusan peserta dari berbagai kalangan, termasuk pers, organisasi non-pemerintah, dan mahasiswa.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.