Demi mengurangi risiko bencana karena kerentanan hidup di daerah aliran sungai (DAS), warga Kelurahan Mata Air dan relawan SIBAT yang didukung perangkat desa bersama-sama menggiatkan kembali penanaman pohon.

Kebun SIBAT Kelurahan Mata Air di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT. (Foto/Chairul Akhmad)
Kebun SIBAT Kelurahan Mata Air di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT. (Foto/Chairul Akhmad)

Seorang pemuda menyiram bibit pohon di kebun bibit yang terletak di tepi jalan raya yang membelah Kelurahan Mata Air, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Kawan-kawannya yang lain membersihkan rerumputan yang terdapat dalam pot-pot bibit.

Mereka adalah relawan Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (SIBAT) Kelurahan Mata Air yang tengah sibuk melakukan pembibitan beberapa jenis pohon. Pepohonan ini nantinya akan ditanam di sepanjang Sungai Wae Pesi yang melewati wilayah tersebut.

Pohon beragam jenis itu merupakan rekomendasi salah satu pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Pohon-pohon ini disebut paling layak ditanam di sepanjang sungai untuk mengurangi risiko banjir yang kerap menghantui Mata Air. Beberapa jenis pohon antara lain beringin, mahoni, bidara, asem, gempol, mini, johar dan vetiver.

Ketua SIBAT Kelurahan Mata Air Marsellinus Di’i mengungkapkan, wilayah Mata Air memang dikenal rawan banjir, longsor, gempa bumi, kebakaran dan angin kencang. Namun di antara semua itu, banjirlah yang paling menjadi momok bagi warga sekitar.

“Banjir terjadi tak hanya karena faktor alam, tapi juga karena faktor manusia. Sebab, di sepanjang bantaran sungai ini banyak terjadi perambahan hutan,” tutur Marsellinus Di’i.

Ia melanjutkan, sekitar empat tahun lalu PMI Kabupaten Manggarai masuk ke Kelurahan Mata Air dan mengajak warga untuk melakukan penanaman bibit pohon. “Makanya ada rumah bibit di sini. Dan teman-teman SIBAT melakukan penanaman pohon itu dimulai dari proses semai sampai menjadi tanaman yang layak ditanam,” katanya.

Marsellinus menjelaskan, Kecamatan Reok merupakan titik terjadinya bencana banjir pada saat musim penghujan di Kabupaten Manggarai. Kawasan ini merupakan hilir sungai yang ada di seluruh Kabupaten Manggarai.

“Dari sekitar 40 anak sungai, semua berakhir di Kecamatan Reok. Sehingga banjir itu jadi bencana tahunan yang selalu masyarakat hadapi,” ujarnya.

Sebagai pemuda yang peduli dengan lingkungan, Marsellinus dan beberapa kawannya merasa terpanggil untuk menjadi relawan SIBAT.

“Tidak ada ada organisasi selain PMI yang bisa digandeng untuk sama-sama menghadapi situasi bencana,” ungkapnya. “Untuk itulah kami bergabung saat pembentukan SIBAT.”

Dari puluhan pemuda yang dulu aktif mengikuti pelatihan PMI, kini tersisa 12 orang yang aktif sebagai anggota SIBAT. Yang lain mundur satu per satu karena beragam alasan, terutama soal ekonomi. Kaum muda yang memiliki panggilan kemanusiaan ini kemudian dilatih oleh PMI. Tantangan terbesarnya adalah dari sekian orang yang dulu aktif, kini tinggal belasan saja. Namun, itu tak menyurutkan semangat mereka untuk tetap berkiprah sebagai relawan.

Hingga kini, kata Marsellinus, PMI dan SIBAT memiliki agenda rutin untuk kampanye dan sosialiasi. Ia dan rekan-rekannya berupaya mengubah pola pikir masyarakat dalam memahami bencana, baik sebelum atau sesudah terjadi.

“Contoh kecil, membuang sampah sembarangan adalah sumber bencana. Demikian pula dengan menebang pohon secara membabi-buta,” tegasnya.

Relawan SIBAT Kelurahan Mata Air, Kecamatan Reok, menggelar rapat mingguan di kebun bibit Kelurahan Mata Air. (Foto/Chairul Akhmad)
Relawan SIBAT Kelurahan Mata Air, Kecamatan Reok, menggelar rapat mingguan di kebun bibit Kelurahan Mata Air. (Foto/Chairul Akhmad)

Rawan banjir

Kelurahan Mata Air terletak di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kawasan dengan luas wilayah kurang lebih 11, kilometer per segi ini dihuni sekitar 2.936 jiwa. Mereka terbagi dalam 789 kepala keluarga (KK) dan mendiami tiga dusun yang tersebar di seluruh wilayah kelurahan.

Mata pencaharian warga Mata Air antara lain sebagai petani, pedagang, tukang ojek, sopir, pegawai negeri dan swasta, serta pedagang. Masyarakat Kelurahan Mata Air umumnya bermukim di rumah permanen, semi permanen dan rumah panggung baik di dataran tinggi maupun rendah.

Sebagian lagi hidup di daerah aliran sungai (DAS) yang rentan dilanda banjir. Sungai Wae Pesi yang membelah Mata Air merupakan sungai besar yang menampung air beberapa sungai kecil di sekitar Reok. Wae Pesi juga jadi ‘dinding pemisah’ antara Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur. Muara sungai ini berakhir di laut yang terdapat di ujung utara Pulau Flores bagian tengah.

Kebutuhan Jenis Informasi Kebencanaan menurut Responden di Kabupaten Manggarai. Sumber: Project Baseline Report (ARC and PMI)

Bencana banjir yang terekam di Mata Air didominasi kejadian pada tahun 2000-an yang meliputi banjir dan angin kencang. Meskipun banjir saban tahun menghampiri, namun banjir pada 2004 dan 2007 silam merupakan kejadian besar yang menimpa Mata Air. Walau tak memakan korban jiwa, banjir ini menyebabkan tergenangnya rumah warga dan rusaknya area pertanian.

“Waktu itu warga mengungsi ke tempat-tempat agak tinggi. Memang tak ada warga yang menjadi korban, namun sebagian besar harta benda kami hanyut terbawa air,” tutur M Ghufran, warga Kelurahan Mata Air, mengenang banjir bandang yang melanda tempat tinggalnya.

“Warga juga trauma karena ada beberapa korban luka akibat kejadian itu,” ia melanjutkan. “Sawah ladang rusak, pohon tumbang di mana-mana, listrik padam dan jalur transportasi tak bisa diakses.”

Melihat kerentanan yang terjadi di Kelurahan Mata Air, Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Manggarai berinisiatif melaksanakan program pengurangan risiko bencana di seputar Kecamatan Reok. Berdasarkan kajian PMI, kerentanan bencana banjir tak hanya mengintai Kelurahan Mata Air, tapi juga wilayah tetangganya seperti Kelurahan Baru, Kelurahan Reo, Desa Bajak, dan Desa Salama.

Kepala Program PMI Kabupaten Manggarai Tommy Hikmat menuturkan, PMI mulai masuk ke Kecamatan Reok pada 2019 lalu. PMI ingin membangun penguatan kapasitas masyarakat tentang kebencanaan. Oleh sebab itu, PMI secara konsisten menggelar penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat tentang pentingnya ketahanan dan kemampuan dalam menghadapi bencana.

“Jadi mereka baru sadar jika mereka tak tahu sama sekali tentang mitigasi kebencanaan. Padahal mereka ada di tempat yang rawan. Sehingga begitu kita masuk, kami langsung mengajak warga membentuk SIBAT,” tutur Tommy.

Selain fokus pada kebencanaan, PMI Manggarai dan SIBAT Mata Air juga aktif dalam pengembangan mata pencaharian masyarakat melalui program Lifelihood.

“Jadi teman-teman SIBAT bersama dengan masyarakat membibitkan tanaman kayu yang dipakai untuk menguatkan lokasi-lokasi rawan. Mereka punya rumah bibit. Setelah layak tanam, mereka menanam pohon-pohon tersebut bersama masyarakat di sepanjang Sungai Wae Pesi,” jelas Tommy.

Tommy bersyukur bahwa Lurah Mata Air dan para Ketua RT/RW mendukung program ini. Tak tanggung-tanggung, Pak Lurah segera mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang pembentukan Tim SIBAT Mata Air.

“Setelah ada SK, mereka bisa berjalan. Dan kami pun makin intens memberikan pelatihan. Terutama yang terkait dengan manajemen kebencanaan. Mereka menggali masalah di desa mereka berkaitan dengan kebencanaan,” sambung Tommy.

PMI dan SIBAT kemudian makin giat turun ke warga dan sekolah-sekolah untuk mengenalkan tentang pentingnya mitigas bencana. Warga diperkenalkan tentang alat-alat yang biasa digunakan untuk mengkaji kerentanan.

“Karena ini daerah ini merupakan DAS, maka kami mengenalkan ke warga dan anak-anak sekolah tentang bagaimana menyelamatkan diri. Kami juga menunjukkan pada mereka beberapa alat pemadam ringan, tandu, dan juga bagaimana memahami bunyi sirene,” papar Tommy.

Siswa-siswa SDN Reo II, Kelurahan Mata Air, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT bermain bersama di halaman sekolah saat jam istirahat. (Foto/Chairul Akhmad)
Siswa-siswa SDN Reo II, Kelurahan Mata Air, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT bermain bersama di halaman sekolah saat jam istirahat. (Foto/Chairul Akhmad)

Kesepakatan Bersama

Tak hanya membentuk SIBAT warga Kelurahan Mata Air juga membuat Kesepakatan Bersama terkait dengan penanganan bencana di wilayah mereka. Kesepakatan ini tak ubahnya Peraturan Desa (Perdes) yang harus dipatuhi semua warga. Kesepakatan tentang Perlindungan Wilayah Sempadan Sungai untuk Mitigasi Bencana Banjir tersebut terdiri dari 19 Pasal.

Garis besar dari kesepakatan tersebut menekankan pentingnya melindungi dan mengelola sumber daya alam secara terorganisir dan terencana agar dapat berkelanjutan. Selain itu, juga mengatur tentang pentingnya memelihara kelestarian fungsi-fungsi ekosistem sumber daya DAS untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dan tak kalah penting adalah adanya sanksi bagi mereka yang membuang sampah sembarangan, membuka lahan dengan menebang pohon untuk tanaman semusim, serta mengambil material tanah, pasir, batu yang dapat menimbulkan abrasi. Kesepakatan Bersama ini ditanda-tangani oleh Lurah Mata Air dan seluruh Ketua RW. Upaya-upaya PMI Manggarai dan SIBAT Kelurahan Mata Air ini cukup berhasil. Warga kini mulai paham bagaimana cara-cara menanggulangi dan menghindari bencana banjir.

Hal ini diakui oleh Wakil Kepala SDN Reo II Rofinus Mancang.“PMI ini bergerak ke kecamatan sampai ke sekolah. Dan kami rasakan sampai sekarang itu ada efeknya. Dampaknya siswa mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan bencana, baik yang terjadi di sekolah ataupun yang terjadi saat perubahan musim tiba,” ungkap Rofinus.

“Terima kasih PMI. Kalau sebelumnya kita hanya mendengar nama PMI saja, tapi kegiatannya tidak kelihatan. Tapi sejak mereka masuk ke sekolah, dampak bagi guru juga ada. PMI ini terus memberikan pendampingan, informasi, bahkan pelatihan. Ini gencar dilakukan sehingga kami sebagai pihak sekolah juga cukup merasakan,” sambungnya.

Rofinus mengatakan, materi pelatihan yang diajarkan sederhana saja, terutama terkait dengan mitigasi bencana yang terjadi, baik skala besar maupun kecil. PMI dan SIBAT hanya fokus melatih siswa-siswa dari kelas tertinggi seperti Kelas V dan Kelas VI. Nanti mereka yang akan menyampaikan materi-materi yang didapatkan kepada adik-adik kelas mereka. Misalnya jika banjir, apa yang harus dilakukan? Kemudian bagaimana menolong teman yang terkena musibah?

“Para siswa senang dan antusias. Apalagi saat PMI memberikan banyak bantuan fisik seperti alat pelindung diri (APD), tandu, alat pemadam ringan, megafon dan alarm. Mereka senang sekali. Oh ternyata apa yang mereka latih dulu sekarang ada alatnya,” tutur Rofinus.

Selain itu, lanjut Rofinus, para siswa juga sudah tahu harus ke mana saat banjir datang.  Dan bangunan mana yang akan dijadikan tempat untuk berkumpul.

Regin, Siswa Kelas VI SDN REO II, mengaku senang mendapatkan pelatihan dari PMI dan SIBAT. “Jadi kami tahu bagaimana kalau terjadi bencana. Yang paling penting saat terjadi bencana adalah kita melindungi diri kita,” ujarnya.

Rekan sekelas Regin yang bernama Elin menimpali, “Jika terjadi banjir, kita harus lari ke tempat yang lebih tinggi. Kalau ada gempa bumi, kita harus berlindung di bawah meja atau lari ke titik kumpul.”

Elin mengatakan, titik kumpul di sekolahnya terdapat di tengah-tengah halaman sekolah. Para siswa harus ke sana jika terjadi bencana atau mendengar bunyi sirene. Gadis cilik ini juga mengaku senang mendapatkan ilmu dan pengetahuan tentang kebencanaan.

Ancaman bencana yang diketahui siswa di Manggarai. Sumber: Project Baseline Report (ARC and PMI)

Lurah Mata Air Rita Udin juga menegaskan, bahwa sebagian wilayahnya merupakan kawasan rawan banjir. Untuk itu, ia menyambut baik dan sangat mendukung program-program PMI dan SIBAT.

“Beberapa kegiatan mitigasi sudah dilaksanakan. Perbaikan saluran drainase, pemeliharaan hutan dan aliran DAS juga sudah berjalan,” ungkapnya.

Udin juga mengapresiasi terbentuknya SIBAT Keluarahan Mata Air yang senantiasa siap siaga dalam menghadapi bencana.

“Kami (aparat kelurahan) memang punya keterbatasan. Daerah otonom tidak leluasa untuk bisa mengintervensi semua kekurangan. Sejak 2020, PMI dan kawan-kawan SIBAT telah banyak membantu kami, terutama intervensi yang berkaitan dengan lingkungan hidup,” kata Udin.

Menurut dia, pemeliharaan hutan dan aliran DAS serta penanaman bibit pohon yang dilakukan SIBAT cukup berhasil. Target penanaman mereka sudah sesuai yang diharapkan.

“Penanaman sudah selesai, tinggal sekarang proses pemeliharaan. Kita melihat dampaknya untuk jangka panjang. Hari ini kita bertanggung jawab dengan kerusakan alam yang disebabkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab,” tegasnya.

Udin berharap PMI agar tetap hadir bersama warganya dengan beragam program lainnya. Tak hanya soal mitigasi kebencanaan. Yang penting, kata dia, adalah pendampingan. Dengan begitu, ia dan warganya makin tangguh dalam menghadapi ancaman bencana yang mengintai di Mata Air. [Chairul Akhmad]

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.