Laut merupakan entitas penting. Ketidakadilan yang dipicu oleh ambisi pertumbuhan ekonomi merusak laut itu sendiri.

Tanggul laut raksasa pertumbuhan ekonomi
Ilustrasi. (Foto: kkp.go.id)

Lautan merupakan entitas penting karena keberadaannya lebih dari sepertiga planet bumi. Lautan menjadi sumber pangan bagi lebih dari 7 miliar manusia sekaligus menjadi sumber oksigen terbesar. Namun, sampai saat ini akibat ambisi pertumbuhan ekonomi, lautan dunia terus mengalami eksploitasi dalam skala yang sangat besar.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia merisil, menurut buku Ekonomi Pancasila Antitesis Ekonomi Biru: Sebuah Kajian Ekonomi Politik (Karim dan Ridwanuddin, 2024), di tingkat global, ketidakadilan pembangunan kelautan ini dipicu oleh kuatnya hegemoni kapitalisme global yang menguasai bisnis komoditas perikanan dan ekonomi kelautan.

Dampaknya aktivitas perikanan skala kecil dan atau tradisional terpinggirkan, teralienasi hingga menghilangkan hak akses dan kelolanya atas sumberdaya kelautan. Buktinya sebagai berikut:

Pertama, industri inti ekonomi kelautan yaitu minyak dan gas lepas pantai, peralatan dan konstruksi kelautan, seafood, pengiriman kontainer, pembuat dan perbaikan kapal, wisata kapal pesiar, aktivitas kepelabuhanan dan energi angin lepas dikendalikan 10 perusahaan multinasional dengan total pendapatan rata-rata per tahun US$ 1,1 triliun (45%).

Kedua, 13 perusahaan transnasional dunia mengendalikan bisnis seafood dari Norwegia (4), Jepang (3), Thailand (2), Hongkong, Spanyol, dan Amerika Serikat masing-masing 1 (satu) perusahaan. Mereka mengendalikan 11-16% hasil tangkapan laut dunia setara 9-13 juta ton dan meraup pendapatan setara 18 persen dari total nilai produksi seafood global tahun 2012 senilai US$252 miliar dan melonjak US$276 miliar 2018.

Ketiga, 10 korporasi besar China, Korea Selatan, Amerika Serikat dan China Taipei (Taiwan) menguasai penangkapan ikan di laut lepas termasuk di ZEE secara global dan mengoperasikan 96% alat tangkapnya trawl dan 65% rawai. Semua fakta ini sama sekali tak mengakomodasi kepentingan perikanan skala kecil bahkan mematikannya.

“Kuatnya cengkraman kapitalisme global dalam sektor kelautan dan perikanan tersebut memicu ketidakadilan di laut dan berujung pada tragedi komoditas (tragedy of commodities) perikanan. Imbasnya, memperparah deplesi sumberdaya ikan, kemiskinan, pelanggaran HAM dan peminggiran perempuan nelayan,” demikian catat Walhi, diakses dari laman resmi, Sabtu, 27 Januari 2024.

Di bawah rezim ekonomi pertumbuhan demi target pertumbuhan ekonomi, laut diperlakukan sebagai ruang terbuka untuk berkompetisi antara pelaku skala besar dengan nelayan skala kecil atau yang disebut sebagai mare liberum. Dalam situasi ini terjadi apa yang dinamakan dengan ocean grabbing.

Istilah ocean grabbing atau perampasan ruang laut, digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil.

Aktor utama ocean grabbing adalah pemerintah, lembaga di tingkat regional dan atau internasional, organisasi lingkungan internasional, perusahaan skala besar, dan yayasan filantropi. Beragam lembaga ini merupakan aktor utama yang mendorong reformasi dan kebijakan berbasis pasar yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya perampasan laut.

Pada titik ini, pemerintah dapat disebut sebagai aktor atau perantara utama yang mengalokasikan bagaimana, untuk tujuan apa, dan oleh siapa, wilayah laut maupun lahan dapat digunakan. Dalam praktiknya, proses ini terkadang menggunakan pemaksaan melalui lembaga keamanan untuk menegakkan kepatuhan.

Ocean Grabbing terjadi melalui proses tata kelola yang tidak tepat dengan menggunakan tindakan yang merusak mata pencaharian masyarakat atau menghasilkan dampak yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis. Perampasan laut dapat dilakukan oleh lembaga publik atau kepentingan pribadi.

Dalam definisi tersebut, di atas terdapat tiga komponen utama ocean grabbing, yaitu: pertama, perampasan kontrol dan akses masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan laut yang menjadi hak masyarakat; kedua, dilakukan melalui proses tata kelola yang tidak tepat yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis masyarakat; dan ketiga dilakukan oleh lembaga publik, kepentingan pribadi, atau entitas bisnis.

Konsep pertumbuhan ekonomi juga berdampak buruk pada laut Indonesia

Di Indonesia, ketidakadilan di sektor kelautan dan perikanan yang diakibatkan demi ambisi pertumbuhan ekonomi dapat terlihat dalam pengaturan tata ruang laut. Studi Walhi terhadap 28 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) di 28 provinsi menunjukkan bahwa pemerintah hanya mengalokasikan ruang permukiman nelayan dan ekosistem mangrove seluas 53,712,81 hektar.

“Alokasi ini sangat tidak adil jika dibandingkan dengan peruntukkan bagi proyek reklamasi dan pertambangan pasir laut yang luasnya mencapai 3,590,883,22 hektar,” (Ridwanuddin dan Saragih, 2023), sebagaimana dikutip dari pernyataan resmi Walhi.

Pada penghujung Desember tahun 2023 lalu, Walhi bersama masyarakat dan perempuan pesisir dari 12 provinsi (Kepulauan Riau, Riau, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara) melakukan inventarisasi terhadap kebijakan presiden Jokowi Widodo selama sepuluh tahun berkuasa. Dari inventarisasi itu, ditemukan sejumlah hal sebagai berikut:

Tak adanya peraturan perundangan yang mengakui wilayah tangkap nelayan tradisional sebagai wilayah kelola rakyat. Sampai sekarang, setelah lebih dari 75 tahun merdeka, tidak memiliki wilayah tangkap yang khusus dikelola oleh nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional.

Akibatnya, nelayan harus bersaing dengan berbagai aktor skala besar di lautan, terutama kapal-kapal besar yang terus mengeksploitasi sumber daya pesisir dan laut Indonesia. Bahkan, tak jarang kapal-kapal besar mencemari lautan, khususnya wilayah tangkap nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional

Di wilayah daratnya, ruang hidup masyarakat dan perempuan pesisir harus berhadapan dengan berbagai proyek pembangunan yang mengancam akan menggusur kampung-kampung nelayan dan perempuan nelayan. Berbagai proyek atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) terus dikebut dari Sumatera sampai Papua.

Proyek Strategis Nasional yang di Kepulauan Riau, khususnya di Pulang Rempang yang menggusur masyarakat; Proyek Strategis Nasional di Maluku Utara, khususnya hilirisasi nikel telah terbukti memporakporandakan pulau-pulau kecil; proyek strategis nasional di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, juga terbukti melanggengkan kemiskinan masyarakat dan perempuan pesisir; dan Proyek Pembangunan tol tanggul laut Semarang-Demak di Jawa Tengah yang menghancurkan kawasan mangrove.

“Keempat contoh tersebut menggambarkan betapa pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah terbukti mengancam kelangsungan masyarakat dan Perempuan pesisir untuk mengelola sumber daya pesisir dan laut,” lanjut Walhi.

Sampai dengan hari ini, Pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang semakin memperlemah keberadaan kami. Di antara regulasi yang dapat kami sebut adalah UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU IKN, PP Penangkapan Ikan Terukur, dan juga PP Pengelolaan Sedimentasi di Laut. Semuanya bermuara pada pemusnahan kami sebagai masyarakat dan perempuan pesisir.

Krisis iklim dan kemiskinan vs pertumbuhan ekonomi

Pada saat yang sama, warga lokal harus berhadapan dengan dampak buruk krisis iklim yang mempercepat kepunahan kami. Krisis iklim telah menyebabkan banyak nelayan di Indonesia meninggal dunia di laut karena cuaca yang sangat ekstrim. Pada tahun 2010 jumlah nelayan yang meninggal di laut tercatat sebanyak 87 orang. Lalu, Pada tahun 2020, jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 250 orang.

Krisis iklim juga menyebabkan banyak desa-desa pesisir tenggelam di banyak tempat. Di pantai barat Sumatera dan di Pantai Utara Jawa, khususnya Jakarta dan Jawa Tengah, puluhan orang menjadi pengungsi iklim karena desanya tenggelam. Namun, sampai saat ini pemerintah tidak mengambil Langkah apapun untuk menangani persoalan ini.

Tak hanya itu, krisis iklim juga telah menyebabkan banyak pulau kecil tenggelam. Di Pulau Pari, lebih dari 11 persen pulaunya telah tenggelam. Inilah yang mendorong Masyarakat di Pulau Pari mengambil Langkah gugatan iklim.

Krisis iklim juga telah membuat nelayan semakin miskin. Lebih dari 70 persen pendapatan kami menurun drastis karena laut semakin tidak bersahabat. Jika sebelumnya kami bisa mendapatkan hasil tangkapan minimal 200 kilogram, saat ini akibat krisis iklim mendapatkan 5 kilogram saja sudah sangat sulit.

Jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia pada tahun 2022 mencapai 17,74 juta jiwa. Sebanyak 3,9 juta jiwa di antaranya masuk kategori miskin ekstrem. Jika penduduk miskin di Indonesia pada 2022 berjumlah 26 juta jiwa (data September 2022 adalah 26,16 juta jiwa), kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total angka kemiskinan di Indonesia.

Krisis iklim juga telah membuat Perempuan pesisir, khususnya Perempuan nelayan semakin memiliki beban yang semakin berlipat ganda. Perempuan pesisir harus terus berjuang untuk memenuhi perekonomian keluarga dalam situasi yang semakin krisis.

Akibat dampak buruk krisis iklim, pada tahun 2030, hampir satu juta nelayan di Indonesia diprediksi akan hilang. Ini merupakan angka kehilangan yang sangat besar bagi negara kepulauan terbesar seperti Indonesia.

Beragam penjelasan ini membuktikan bahwa ekonomi pertumbuhan yang menjadi dasar dari pembangunan berkelanjutan terbukti menjadikan lautan dan masyarakat pesisir yang hidup di dekatnya semakin sekarat akibat akumulasi krisis yang dilanggengkan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.