Korporasi menguasai pemanfaatan hutan di Indonesia. Lebih dari 92% alokasinya. Kawasan hutan diberikan kepada rakyat hanya 8%.

Hutan Mangrove di Hamadi, Jayapura - Dok Walhi Papua wilayah hutan
Dok. Walhi Papua

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia membeberkan data bahwa izin pemanfaatan hutan di Indonesia paling banyak diberikan untuk korporasi. Dari seluruh izin pemanfaatan kawasan hutan saat ini, 19 juta hektare diberikan kepada konsesi logging, 11,3 juta hektare kepada konsesi kebun kayu, 0,5 juta hektare untuk izin pinjam pakai kegiatan pertambangan, dan 6 juta hektare yang dilepaskan keseluruhan alokasi kepada rakyat ini, dan juga areal-untuk perkebunan sawit.

“Artinya, yang diberikan kepada korporasi seluruhnya seluas 36,8 juta hektare. Di sisi lain, yang diberikan kepada rakyat hanya 3,1 juta hektare. Dengan demikian, 92% alokasinya kepada korporasi, dan hanya 8% kepada rakyat,” demikian catatan WALHI Indonesia, diakses Selasa, 30 Januari 2024.

Meski demikian, menurut WALHI alokasi kepada rakyat tersebut perlu diperiksa lebih dalam. Karena ada di antaranya yang pada praktiknya justru untuk melanggengkan korporasi, yakni ruang yang dibuka oleh hutan tanaman rakyat (HTR) yang pada praktiknya untuk pemenuhan kayu bagi industri pulp & paper.

WALHI menyataka makin banyak suara, terutama dari Sumatera, yang mengindikasikan bahwa kawasan hutan HTR pada praktiknya justru untuk keuntungan pabrik atau industri khususnya kelapa sawit.

Keseluruhan alokasi kawasan hutan kepada rakyat ini dan juga areal-areal yang secara empirik dikelola oleh rakyat disebut sebagai wilayah kelola rakyat (WKR). Jenis alokasi kepada rakyat dalam sistem administrasi perizinan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat setidaknya 6 jenis, yakni hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), kemitraan kehutanan (KK), hutan tanaman rakyat (HTR), izin pemanfaatan perhutanan sosial (IPPS), dan hutan adat. Sejauh ini, alokasi terhadap keenamnya baru mencapai 2,7 juta hektare.

Di sisi lain, banyak wilayah kelola rakyat yang diajukan untuk secara formal mendapat pengakuan negara yang masih terhambat saat ini, seperti pengajuan kawasan hutan adat. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat adanya 19,5 juta hektare hutan adat yang secara empirik dikelola masyarakat adat di Indonesia.

“Selain itu, banyak juga pengelolaan oleh masyarakat lokal yang juga belum diterbitkan perizinannya oleh pemerintah,” lanjut WALHI.

WALHI menilai, pengalokasian oleh pemerintah yang secara sembrono dan sepihak kepada korporasi mengakibatkan maraknya konflik agraria di banyak daerah, dan turut mempersulit pemberian izin kelola WKR selama ini, karena pada daerah tersebut pemerintah kadung menerbitkan izin kepada korporasi.

Konflik agraria tersebut juga diikuti dengan tindakan intimidasi, kekerasan serta kriminalisasi ketika rakyat melakukan perjuangan mempertahankan tanahnya. WALHI mencatat sepanjang periode rezim Jokowi sebanyak 827 orang rakyat yang menjadi korban kriminalisasi serta kekerasan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.