Kemasan pangan bebas BPA atau Bisfenol A di Indonesia sepertinya masih jauh dari harapan. Karena masih tingginya tingkat ketidaktahuan masyarakat akan risiko senyawa BPA

Kemasan pangan bebas BPA atau Bisfenol A di Indonesia sepertinya masih jauh dari harapan. Menurut sejumlah ahli kesehatan yang menyusun sebuah buku panduan mengenali BPA, hal tersebut antara lain karena masih tingginya tingkat ketidaktahuan masyarakat akan risiko senyawa BPA pada kesehatan.

“Ketidaktahuan masyarakat masih tinggi, termasuk di sektor pemerintahan yang bisa dilihat dari regulasi yang masih lemah, belum mengikat produsen atau industri dalam pembatasan penggunaan BPA pada produk plastik. Perguruan tinggi dan organisasi profesi juga masih banyak yang belum concern membahas risiko BPA,” kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Prof. Adang Bachtiar, dalam diskusi publik dan peluncuran buku ‘BPA Free: Perisai Keluarga dari Bahan Kimia Berbahaya’, di Jakarta Selatan, Sabtu (27/1/2024).

Sebagai penulis utama buku, Adang mengungkapkan BPA lazim digunakan sebagai bahan baku pembuatan aneka plastik keras, termasuk kemasan botol susu bayi, galon air minum, piring plastik, dan banyak produk konsumsi lainnya.

Hanya saja, katanya, banyak pihak yang masih belum sadar kalau dalam kondisi tertentu, semisal terpapar panas dalam waktu yang lama, BPA pada kemasan pangan bisa luruh dan bermigrasi ke dalam makanan atau minuman. Bila sampai terkonsumsi dalam jumlah yang melampaui ambang batas aman, BPA bisa mendatangkan risiko gangguan kesehatan yang serius.

Adang mencontohkan banyak orang yang masih mengkonsumsi minuman dari kemasan kemasan pangan plastik polikarbonat yang sudah tua, banyak tergores dan kerap terpapar sinar matahari langsung.

“Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat. Tapi ini menunjukkan lemahnya edukasi bahaya BPA dari tingkat hulu ke hilir, dari pemerintah hingga ke masyarakat,” katanya.

Menurut Adang, media bisa memainkan peran kunci sebagai jembatan informasi bagi publik terkait risiko BPA. Sebab, menurutnya, akses informasi masyarakat terhadap bahaya zat BPA ini masih minim yang berujung rendahnya pemahaman masyarakat dan jauhnya masyarakat dari perilaku hidup sehat. “Edukasi harus masif sehingga pengetahuan masyarakat meningkat, orang jadi paham risiko BPA dan, semoga saja, berujung perubahan perilaku untuk hidup lebih sehat,” imbuhnya.

Dr. Dien Kurtanty, praktisi kesehatan yang ikut penulis buku BPA Free, menyampaikan hal senada. Menurutnya, regulasi, edukasi, dan kolaborasi merupakan tiga kunci penting untuk mengedukasi masyarakat terkait risiko BPA pada kemasan pangan.

“Kesehatan memang pilihan masing-masing orang, namun kami mengkhawatirkan jangan sampai risiko kesehatan terkait BPA berimbas dan dilimpahkan pada pelayanan kesehatan,” katanya. “Pemerintah, sebagai regulator, diharapkan bisa melahirkan kebijakan baru dengan berbasis data untuk memperkuat pengawasan risko BPA. Intinya, perlu ada inovasi dalam regulasi terkait BPA,” ujarnya.

Dien menyoroti migrasi BPA dalam wadah makanan dan minuman berdasarkan peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 20 Tahun 2019. Aturan itu menekankan ambang batas migrasi BPA pada kemasan pangan maksimum 0,6 mg/kg.

Regulasi itu, menurutnya, kalah dibanding negara lain yang sudah lebih berkomitmen terhadap perlindungan kesehatan. Misalnya, Uni Eropa yang mematok batas maksimum migrasi BPA pada kemasan pangan sebesar 0,05 mg/kg. Begitu juga Malaysia, India, Kanada, Korea Selatan dan beberapa negara lain sudah melarang penggunaan BPA dalam wadah makanan atau minuman bayi dan anak di bawah 1-3 tahun.

“Kita menanti komitmen pemerintah terutama BPOM dalam merevisi peraturan BPOM 20/2019 ini. Selain itu, mewajibkan produsen untuk memasang label informasi bebas BPA dalam produk kemasannya,” tandas Dien.

Selain itu, Dien berharap pemerintah ikut memfasilitasi lahirnya lebih banyak riset terkait risiko BPA pada kesehatan publik. Di sektor industri, lanjutnya, produsen perlu terus berinovasi dan beralih ke kemasan pangan bebas BPA. “Industri seharusnya sudah bersiap mengantisipasi munculnya regulasi pelabelan risiko BPA pada kemasan pangan,” katanya.

Khusus untuk edukasi ke masyarakat, Dien mendorong perlunya edukasi yang adaptif dengan perkembangan teknologi. Penyampaian pesan informasi harus secara masif dilakukan dengan menggunakan instrumen digitalisasi penyampaian pesan seperti pemanfaatan media sosial yang memiliki jangkauan secara luas.

Sementara itu, Ketua Policy Brief Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Agustina Puspitasari, mengungkapkan IDI sejak Agustus 2023 telah mengirimkan rekomendasi ke pemerintah maupun industri perihal pentingnya mencantumkan label dalam kemasan makanan dan minuman terkait ada atau tidaknya BPA.

“IDI sangat mendukung lahirnya kebijakan pemberian label dalam kemasan makanan minuman,” kata Agustina yang ikut tampil sebagai salah satu pembicara dalam diskusi.

Menurut Agustina, paparan BPA dapat berimplikasi pada fisiologis tubuh jika terkonsumsi terus menerus. Migrasi BPA dari plastik kemasan pangan dapat berpengaruh terhadap menurunnya kualitas sperma pada pria atau kemandulan, kanker payudara, kanker testis, prostat. “Selain itu, BPA juga berpotensi terhadap hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes melitus (DM) tipe 2, dan gangguan tumbuh kembang anak,” katanya.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.