Perahu bermuatan empat orang membelah hamparan air payau berwarna kecokelatan. Bising mesin, beradu dengan suara angin. Hanya 10 menit, kini, perahu memasuki perairan yang diapit hutan. Ancu si empunya perahu, menyebut perahu berada dalam kawasan mangrove di Salo Palai, Muara Badak, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Lalu, perlahan suara mesin meredup dan perahu tertambat di sebuah panggung kayu menyerupai pelabuhan kecil. Ancu langsung mengomando penumpangnya naik ke pelabuhan kecil itu. Lelaki dengan nama asli Syamsul Alam ini, akan memamerkan bagaimana menanam mangrove telah memberi keuntungan untuk tambak yang dia kelola.

Hamparan empat hektare tambak yang dipisahkan pematang pun langsung menyapa. Di beberapa tempat, sekumpulan tanaman mangrove dibiarkan. Ada yang sudah rimbun ada yang masih kuncup. Upaya penghijauan di wilayah tambak ini, dinamakan silvofishery.

“Kalau ada pohon bakau ini bikin lebih gemuk dan lebih banyak. Dulu enggak ada mangrove, udangnya gampang mati. Dua bulan okelah bagus. Tapi habis itu matian,” kata lelaki berdarah Sulawesi ini, pada akhir Februari lalu.

Dari tambak ini, dia memanen bandeng, kepiting, dan udang. Tetapi, yang paling unggulan adalah udang. Sebulan, dua kali dia panen. Ketika air pasang tinggi saat malam hari, dia akan meletakkan bagang. Kemudian, pukul 5 pagi, bagang diangkat dan dia sudah panen.

“Bisa 20 sampai 50 kg tiap panen. Harganya variasi. Kalau udang hitam sekarang bisa Rp100 ribu lebih. Kalau udang putih Rp70-80 ribu. Nah, kepiting yang mahal. Sempat tembus Rp600 ribuan,” paparnya.

Ancu kini mengelola tambak lebih ramah lingkungan. Tak lagi pakai pupuk atau pestisida kimia. Tetapi, kini memberi probiotik atau pupuk alami. Dia pun mengarah pengembangan ekowisata untuk tambahan cuan dari tambaknya, yang dia sebut juga didukung pemerintah.

Namun, pengetahuan soal tambak ramah lingkungan, bukan langsung sejak awal. Sebelumnya, Ancu sama seperti petambak lain di wilayahnya yang mengembangkan tambak dengan bahan kimia dan menganggap pohon bakau harus dibersihkan.

Dia banyak mengenal dan mendapat dukungan menerapkan tambak ramah lingkungan dari Yayasan Mangrove Lestari (YML) dan didukung Yayasan Planet Urgensi Indonesia (YPUI).

Jalan berat mengenalkan silvofishery

Membuat para petambak di Delta Mahakam untuk mengelola tambak ramah lingkungan seperti Ancu itu, tidak mudah. Hal ini dipaparkan Ketua YML Ahmad Nuriyawan. Dia mengatakan, jalan berat justru memberikan pemahaman dan mengajak masyarakat untuk menerapkannya. Sebab, tambak dan mangrove harusnya beriringan.

Komoditas udang unggulan dari Delta Mahakam, membuat nafkah warga Delta Mahakam telah bergantung pada tambak. Khususnya sejak krisis moneter 1998, yang membuat komoditas ekspor udang melejit. Namun, pengelolaan tambak tak tanpa risiko. Hutan mangrove dibabat, dan ketika sudah tak produktif, ditinggal begitu saja. Lahan tambak tak produktif setelah lima tahun adalah efek dari zat kimia. Tanda tak produktif adalah tanah sudah keras dan ditemukan tanah pirit yang sudah terekspose.

Namun, tak berarti tambak harus distop. Sebab, dari tambak ini, sejak lama masyarakat kawasan Delta Mahakam bergantung hidup.

Dia mengatakan, perlu pendekatan ke pemilik tambak untuk mengubah pola pikir ke tambak ramah lingkungan. Tak sekadar ajak dan membayar kompensasi untuk menanam mangrove di tengah tambak.

Sebab, banyak pola pikir praktis yang dipakai masyarakat. Sementara, akuakultur atau budidaya perairan, butuh proses untuk mengembalikan daya dukung lahan.

“Enam bulan awal YML itu, kami asessment. Penolakan memang terjadi pas di awal interaksi. Kami pelajari psikologis masyarakatnya,” cerita lelaki yang akrab disapa Angga tersebut.

Ternyata, masyarakat dulu takut. Kalau tambak mereka ditanam dan jadi lebat, diambil pemerintah karena jadi hutan. Selain itu, takut produktivitas turun soalnya limbah daun.

Dari situ, dijelaskan bagaimana arah kebijakan pemerintah sekarang dan bagaimana dampak baik penanaman mangrove di tambak. Selain itu, ternyata masyarakat lebih nyaman kalau diskusi di lapangan daripada di ruangan. Karena, di lapangan bisa langsung menunjukkan pertanyaannya.

Tak cuma itu, mendekati dan melibatkan punggawa juga penting. Punggawa adalah semacam pemilik-pemilik modal atau tambak di wilayah Delta Mahakam.

“Target satu kelompok. Ada yang terinfluence biar bisa pengaruhi yang lainnya.  Sekarang petambak di Muara Badak sama Muara Pantuan (Anggana) mulai welcome,” jelasnya.

Selanjutnya, dia dan tim YML juga berusaha membuat petambak melihat benefit dari menanam mangrove. Jadi, hal-hal teknis mangrove yang mendukung akuakultur harus dipahami. Misal, Mangrove harus dipikirkan jarak tanamnya, sehingga bakteri baik dan cahaya masih bisa menembus perairan.

Selain itu, jenis mangrove yang ditanam juga jadi fokus. Seperti Mangrove yang bertahan di tambak itu masuk jenis rhizopora dan nipah. Sebab, jenis lain yang perlu pasang surut air laut pasti mati. Sementara, tambak adalah perairan terperangkap.

Menyelamatkan yang tersisa, memperjuangkan restorasi

Delta Mahakam yang membentang dari Kecamatan Muara Badak, Anggana, dan Muara Jawa ini, mayoritas telah menjadi tambak. Data dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Delta Mahakam, hutan mangrove primer di kawasan ini hanya 0,34 persen atau sekitar 388,5 hektare. Untuk hutan mangrove sekunder 22,39 hektare atau seluas 25,4 ribu hektare. Lalu yang terbanyak adalah tambak dengan 54 persen atau 61,5 ribu hektare.

Maka dari itu, silvofishery dan upaya penanaman ini yang diupayakan YPUI di Delta Mahakam. Communication officer YPUI Fiahsani Taqwim menceritakan lembaganya memiliki Project Mahakam sejak 2020 lalu dan berlangsung hingga 2026. Sebuah proyek menanam mangrove di Delta Mahakam. Pada 2023 ini, target mereka adalah 75 ribu pohon, yang tersebar di Kecamatan Muara Badak dan Anggana.

“Kami memberdayakan masyarakat-masyarakat lokal untuk melakukan pembibitan dan penanaman,” cerita perempuan yang akrab disapa Fifi itu.

Penanaman ini, tidak hanya berkutat soal silvofishery di tambak-tambak warga. Tetapi, juga di garis pantai sekitar Desa Tanjung Limau, Muara Badak. Upaya penanaman ini, untuk menahan abrasi dan kenaikan air laut. Salah satunya adalah di garis pantai tak jauh dari Pantai Long Beach.

Pohon bakau pun mulai tumbuh dan perlahan menjadi benteng Desa Tanjung Limau dari air laut.


About the writer

Nofiyatul Chalimah

Nofiyatul Chalimah is a freelance journalist who often writes features and in-depth news. Interested in environmental issues, and currently resides in East Kalimantan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.