Tatapan Sanusi penuh gelisah ketika ia mendengar kabar pemegang kuasa akan menggusur kebunnya di kampung Gane Dalam, Halmahera Selatan.

Budaya saling memberi hasil tani ketika berpapasan di ladang oleh warga Gane.
Budaya saling memberi hasil tani ketika berpapasan di ladang oleh warga Gane. (Foto: WALHI)

Penggusuran lahan rakyat dengan pemegang kuasa terus terjadi di negeri ini. Salah satunya dikabarkan Wahana Lingkungan Hidup Maluku Utara (WALHI Malut) tentang perjuangan masyarakat Gane Dalam, Halmahera Selatan, Maluku Utara sebagaimana diakses Senin, 15 April 2024. Berikut ini kisahnya:

Tatapan Sanusi nanar kala mendengar kabar itu. Warga Desa Gane Dalam, Halmahera Selatan, Maluku Utara ini tak kuasa menyembunyikan gelisah di wajahnya, selayak raut muka seorang ayah ketika mendengar kabar buruk lalu terpaku menerawang masa depan anak-anaknya yang masih bocah dengan penuh khawatir.

Napasnya berat seakan dadanya penuh. Ia tak perlu lagi bertanya kedua kali untuk memastikan kebenaran berita dari kerabatnya yang baru saja tiba usai berladang, bahwa kebunnya akan digusur.

Sanusi, guru Sekolah Dasar ini berjalan cepat menuju tambatan perahu dan melaju menyeberangi perairan teluk ke lokasi kebun. Caping yang ia kenakan menyembunyikan wajahnya.

Ia tak bersuara sedikit pun, hanya langkah kaki dan bunyi parang beradu dengan sangkur yang menggantung di pinggangnya. Tombak yang biasa digunakan peladang hutan untuk berjaga, entah untuk apa di siang terik ini.

Melintasi jalur kebun warga yang tak landai sekitar empat kilometer dari perkampungan, sesekali ia menghentikan langkah mencoba memastikan bunyi samar-samar di kejauhan ditingkahi suara alam. Ia bergegas seiring dengan semakin jelasnya sumber suara yang kini bising bergemuruh.

Dan kala semak terakhir disibak, ia disergap cahaya mentari, di hadapannya satu unit ekskavator dan buldoser tengah meraung sejadinya menyingkirkan batang-batang kelapa, dahan-dahan pohon, tumbuh-tumbuhan agroforestri, umbi-umbian, serta tanaman-tanaman hortikultura yang baru kemarin ia petik, kini tercerabut tertimbun urukan tanah.

Tak satupun tumbuhan yang selamat di atas lahan setengah hektar miliknya. Hanya pekerja operator alat berat yang ia tuding dengan tombak dan ia “tikam” dengan kata-kata, “cari kerja atau cari mati!” Sejurus kemudian manajer lapangan, tetangganya yang direkrut sebagai humas perusahaan, satu polisi, dan dua orang berseragam loreng menyudutkannya.

Sanusi adalah potret orang desa di pulau-pulau kecil yang terbelit konflik tanah berkepanjangan kala dihadapkan dengan industri berbasis lahan skala korporat.

Ia pernah dibui selama dua bulan bersama 12 warga Gane lainnya karena melakukan blokade trayek PT. Gelora Mandiri Membangun (GMM), anak perusahaan Korindo Group. Mereka dituduh merusak dan mencuri properti perusahaan meski kemudian putusan pengadilan bebas murni.

Apa yang melatari ia dan sebagian penduduk di kampungnya, Desa Gane Dalam, Halmahera Selatan, Maluku Utara, memblokir jalur angkutan kayu log perusahaan adalah hal sama yang menimpa para penyintas di seluruh penjuru daratan besar Indonesia dari ekspansi investasi berbasis lahan, land grabbing.

Ketika dibebaskan dari penjara dan kembali ke kampung, Sanusi dan kawan-kawanya dihadapkan pada situasi bentang perbukitan Teluk Gane berubah drastis. Vegetasi hutan alam dengan biodiversitas pada ketinggian yang relatif datar dan lereng berkurang signifikan hanya dalam jangka waktu dua bulan, masa yang mereka habiskan di balik jeruji besi.

Perasaan kehilangan akan peralihan yang begitu cepat dari satu ekosistem alami menjadi lingkungan buatan oleh Sanusi dan kerabatnya adalah soal ketergantungan mereka pada sumber daya hutan.

Secara khusus interaksi antara hutan dan laut dengan masyarakat desa di pesisir kepulauan kecil Maluku Utara demikian eratnya, sehingga setiap sektor produktif warga senantiasa bertumpu pada kedua sumber produksi tersebut.

Secara asas manfaat, investasi perkebunan monokultur skala masif hanya akan menguntungkan investor dibanding masyarakat yang hanya akan menanggung dampaknya. Keuntungan itu pun tidak sebanding dengan kerugian dari perubahan bentang alam pulau kecil dan hilangnya beragam varietas tumbuhan alami yang dijadikan bahan baku serta menyusutnya sumber air. Hal ini bisa diuji dalam studi komparasi.

Rekam Jejak Korindo di Gane

Secara garis besar pengelolaan tanah di negeri ini dibagi menjadi dua status, kawasan hutan dan bukan kawasan hutan. Kuasa izin pemanfaatan di dalam kawasan hutan biasa dikenal dengan adanya IUPHHK, HTI, dan juga pertambangan. Sedangkan di luar itu dikenal dengan Hak Guna Usaha (HGU). Salah satu bentuk HGU yang saat ini merajarela di “Republik Kapling” ini adalah perkebunan kelapa sawit yang digadang-gadang sebagai penghasil devisa terbesar.

Atas nama “pertumbuhan ekonomi” itulah, pemerintah tengah memfasilitasi akuisisi lahan untuk kepentingan ekspansi industri perkebunan monokultur skala besar dengan memberikan izin pemanfaatan dalam kawasan hutan, nyaris pada semua wilayah, termasuk di daerah kepulauan terkecil sekalipun, serupa di kaki Halmahera bagian selatan.

Meskipun faktanya, ekses lanjutan yang telah menjadi bagian integral dari investasi berbasis lahan skala besar di lapangan seperti konflik tata batas dalam konteks komodifikasi tanah, laju kerusakan hutan hujan tropis,  pencemaran lingkungan, penyusutan lahan-lahan produktif pertanian rakyat, pelanggaran HAM, sulit sekali mendapat perhatian serius dari negara. Besar kemungkinan hal-hal tersebut dilihat sebagai ongkos yang dapat diterima demi pengembangan sumber daya energi. 

Selama delapan tahun beroperasi sejak 2011, PT. GMM telah berhasil menghancurkan lanskap hutan primer di Teluk Gane. Tidak mempertimbangkan tata kelola produktivitas masyarakat setempat yang bergantung pada hutan alam. Mempersempit aksesibilitas warga Gane terhadap hutan dan lahan subsisten. Sumber air seperti sempadan sungai pun ditimbun untuk pembuatan sarana-sarana penunjang seperti trayek logging.

Selain itu menggunakan api sebagai akselerasi pengembangan lahan yang kemudian merembet menghanguskan semak juga tanaman pangan. Dan semua ini bermula dari tidak adanya konsultasi publik–penataan batas (landscaping) sebagaimana mestinya.

Rezim perizinan di negara ini juga adalah struktur yang bertanggung jawab terhadap peningkatan laju degradasi lingkungan dan deforestasi. Hal yang begitu kontradiktif dengan retorika pemerintah soal dukungan dalam isu pencegahan perubahan iklim dan pengendalian tingkat emisi gas rumah kaca (GRK). Reformasi rezim perizinan tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup dan sosial masyarakat, jika orientasinya masih berkutat seputar (demi) efisiensi proses bisnis dan “instalasi komersial.”

Jika dilihat dari aspek perizinannya, terdapat dua fase pemberian izin PT. GMM, yaitu lisensi pertama pada 2006-2013 dan kedua pada 2015-2016.

Rintisan usaha perkebunan sawit perusahaan tersebut telah dimulai sejak 2009 dengan dikantonginya Izin Pelepasan Pemanfaatan Kawasan Hutan (IPPKH) seluas 11.003,9 Ha. Diikuti dengan diterbitkannya Izin Lokasi seluas 6.464.32 Ha pada dua lokasi, Blok Tanjung Rotan, dan Blok Tawa-Pasipalele yang secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Gane Barat Selatan.

Dua lokasi tersebut ditetapkan negara termasuk dalam kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK). Diklaim Korindo tidak termasuk dalam “Zona Moratorium,” atau bukan bagian dari area yang “ditunda perizinan barunya.” Karena itu perusahaan tersebut bersikukuh untuk meneruskan perluasan akuisisi lahan hingga berlanjut pada pengajuan permohonan HGU sekalipun lahan yang dialokasikan tersebut tidak berstatus clean and clear. Sebagaimana diakui sendiri oleh PT. GMM/Korindo bahwa seluruh wilayah seluas 11 ribu lebih hektar yang dimohon untuk perkebunannya masih dibebani klaim kepemilikan masyarakat.

Dalam proyeksinya, perluasan area perkebunan monokultur ini akan mencapai sekira 12.000 hektar yag terbagi atas kebun inti seluas 10.000 hektar, dan kebun plasma sekitar 2000 hektar. Sebagian tentunnya akan dialokasikan untuk pendirian pabrik pengolahan berkapasitas 2 x 30 ton TBS/ Jam yang direncanakan mulai beroperasi pada 2017 silam, namun terkendala karena mendapat perlawanan terus-menerus dari sebagian masyarakat Gane dengan tuntutan menolak seluruh usaha proyek dan keberadaan korporasi tersebut.

Hingga 2016, sekira 5000 hektar telah berhasil dirombak dan mulai dilakukan penanaman bibit sawit. Hal ini dilalui dengan proses yang secara prosedural cacat hukum, baik dalam aspek lingkungan, kehutanan, maupun pertanahan, termasuk berbagai pelanggaran HAM pada semua tahap operasinya.

Pada fase pra konstruksi seperti sosialisasi rencana usaha, penataan batas serta pembebasan klaim masyarakat, usaha tersebut tidak berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku dan ditolak oleh sebagian warga di sembilan desa terdampak. Bukan sekadar soal nominal ganti rugi–perusahaan menawarkan harga lahan beserta tumbuhan di dalamnya yang cenderung memberatkan pemiliknya, namun juga karena informasi proyek tidak disampaikan secara layak.

Dengan kata lain, tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban hukum usahanya. Hal ini merupakan awal situasi yang membuat warga mulai berseteru di antara sesamanya. Puncaknya adalah sentimen pro kontra antar warga yang berlangsung hingga saat ini.

Tidak adanya proses konsultasi menyeluruh dalam hal permintaan persetujuan masyarakat sekitar konsesi (free prior and informed consent) dinilai sebagai sebuah tindakan perusahaan untuk memanfaatkan situasi masyarakat yang kekurangan informasi atas proyek.

Sebagaimana temuan dari hasil Investigasi Forest Stewardship Council (FSC) yang menyimpulkan, Korindo telah mengonversi hutan dalam membangun kebun sawit di Indonesia, mengarah pada penghancuran nilai konservasi tinggi, dan tak mematuhi prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC).

Walaupun status pembebasan lahan tidak mencapai 50%, namun Pemerintah Daerah tetap menyetujui permohonan izin prinsip (yang dilayangkan PT.GMM saat terkendala di lapangan). Hingga belitan konflik tenurial semakin mengancam orang Gane dan terus meluas seiring dengan laju land clearing untuk area persemaian bibit sawit.

Tidak beresnya tata batas ini kemudian diperparah dengan praktik gusur paksa yang disandarkan pada Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) beserta dokumen-dokumen pendukung lainnya. Yah, satu hal yang lazim dilakukan industri agrobisnis besar dengan melakukan penebangan dan perdagangan kayu secara masif sekalipun core bisnisnya perkebunan.

There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.