Teluk Balikpapan: Koalisi WALHI menyuarakan hak nelayan kecil yang menghadapi ancaman perampasan wilayah laut.
WALHI Nasional bersama WALHI Jawa Tengah, WALHI Bangka Belitung, dan Pokja Pesisir Kalimantan Timur menyampaikan pesan kepada pemimpin politik pascapemilu 2024, baik yang berada di eksekutif maupun di legislatif. Koalisi ini menyerukan hak-hak bagi nelayan kecil di Teluk Balikpapan, Kalimantan.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Pesisir Mapaselle mengatakan bahwa sebelum ada pembangunan IKN, nelayan di Teluk Balikpapan harus berhadapan ancaman perampasan ruang laut, yaitu tidak diakuinya wilayah pemukiman mereka di dalam Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2021-2041.
“Di dalam Perda RZWP3K tersebut, pemukiman nelayan hanya dialokasi seluas 31,80 hektar. Ini adalah peminggiran terencana bagi lebih dari 10 ribu nelayan yang setiap hari pergi melaut di Teluk Balikpapan. Belum lagi nelayan di wilayah lain di Kalimantan Timur,” tegas Mapaselle, diakses dari siaran pers, Rabu, 10 April 2024.
Dia menceritakan bagaimana ia bisa sampai dan menetap sebagai nelayan yang setiap hari pergi melaut ke Teluk Balikpapan. Sejak tahun 1990, ia yang berasal dari Sulawesi Selatan mengetahui bahwa daerah tersebut merupakan perairan yang menjadi sumber ikan yang melimpah.
Lalu pada tahun 1992 ia sampai ke Teluk Balikpapan. Sejak saat itu ia biasanya berangkat pukul 5 pagi sampai jam 9 pagi. Lalu pulang dengan membawa banyak ikan ke TPI dengan hasil yang luar biasa.
“Itulah gambaran bagaimana Teluk Balikpapan pada masa lalu. Ia pergi setiap hari serta dapat menikmati ikan yang sangat melimpah. Sejak masa kecil, Teluk Balikpapan adalah rumah bagi bagi nelayan yang mau mencari ikan,” urai Mapaselle.
Namun, kata Mapaselle, mulai tahun 2000 ekosistem Teluk Balikpapan mulai mengalami kerusakan karena masuknya industri ke Teluk Balikpapan. Banyak wilayah hutan hancur dan wilayah mangrove hancur. Dampaknya, terjadi kekeruhan yang luar biasa dan hancurnya terumbu karang.
Ekosistem tersebut, khususnya mangrove-, semakin rusak sampai hari ini, apalagi dengan adanya Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Beragam kerusakan ini berdampak terhadap kehidupan nelayan.
Ia dan ribuan nelayan semakin cemas karena sumber hidupnya akan tergusur secara pelan-pelan.
“Bukan alat berat atau eksavator yang membuat kami hengkang, melainkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Jika pesisir dan laut rusak, maka tamatlah hidup kami,” tegas Mapaselle.
Ia bersama ribuan nelayan lainnya yang menggantungkan hidupnya kepada sumber perikanan mendesak Pemerintah Pusat tidak melanjutkan Pembangunan IKN yang menghancurkan ekosistem Teluk Balikpapan yang merupakan wilayah tangkap mereka.
“Kami menginginkan pesisir di Teluk Balikpapan tetap hijau dan lautnya tetap biru. Jika itu bisa dijamin oleh Pemerintah, maka kehidupan dan mata pencaharian nelayan akan terjamin pula. Jika tidak, maka kami akan punah,” ungkap Mapaselle.
Lebih jauh, ketiadaan isu perlindungan nelayan dalam perdebatan publik oleh calon presiden dan wakil presiden dalam perhelatan pemilu 2024 kemarin, sangat ia sesalkan. Menurutnya, tak adanya isu perlindungan nelayan itu merupakan kekalahan nelayan dan gerakan lingkungan hidup di Indonesia.
- Konsekuensi Mahkamah Konstitusi memerintahkan tidak menerbitkan peraturan pelaksana berkaitan UU KSDAHE
- Menavigasi pencemaran dan perjuangan hidup di tepi perairan Cilincing
- Belajar dari Kearifan Orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay, Kalimantan Timur
- BPKN: industri AMDK ‘kurang menghormati’ aturan label peringatan BPA
- Pengelolaan IPAL Sarimukti belum maksimal
- Perjalanan dari laut: mengapa wi-fi di kapal penangkap ikan jarak jauh penting?