Maraknya perizinan industri ekstaktif di Kalimantan Selatan (Kalsel) membawa dampak negatif bagi lingkungan.
Setengah wilayah daratan Kalimantan Selatan (Kalsel) telah dikuasai atau dibebani perizinan industri ekstraktif, demikian laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel. Maraknya perizinan ini dinilai sebagai terkait dengan laju perubahan iklim.
Deforestasi atau penggundulan hutan, alih fungsi kawasan hutan telah nyata menjadi sumber terlepasnya karbon begitu cepat yang menyebabkan pemanasan global.
‘Hutan yang dulu kita banggakan sebagai paru-paru dunia kini tak bersisa, kebakaran hutan dan lahan diduga menjadi bagian erat ekspansi perusahaan sawit secara besar-besaran. Banyaknya lubang tambang tanpa reklamasi juga merusak paru-paru dunia,” demikian pernyataan resmi WALHI Kalsel, diakses Rabu, 17 April 2024.
WALHI Kalsel merilis, beban perizinan industri ekstraktif dan perizinan lainnya sudah menyandera lebih dari 50 persen total wilayah Kalsel dengan luas 3,7 juta hektar. Adapun beban perizinan tersebut diantaranya 1,17 juta hektar atau 31,20 persen mineral dan batu bara, 207.477 hektar atau 5,55 persen konsesi perkebunan (sawit), 754.702 hektar atau 20,19 persen Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).
Temuan Walhi Kalsel pada tahun 2019 Pemerintah Provinsi Kalsel diduga telah merekomendasikan pelepasan kawasan hutan atau tukar guling kawasan seluas 17.113,53 hektar untuk kepentingan korporasi perkebunan sawit skala besar di dua Kabupaten di Kalsel.
Praktik serampangan pelepasan kawasan hutan untuk korporasi ini memperbesar potensi gesekan antara masyarakat tani hutan dan perusahaan. Contohnya, pabrik biofuel sawit swasta telah banyak memicu konflik agraria dan mengkriminalisasi jurnalis serta aktivis.
Pemerintah diharapkan sadar bahwa kekuatan korporasi bukan untuk ditakuti tetapi sebaliknya korporasi harus tunduk pada negara atas nama kedaulatan negara dan Pancasila.
Dengan latar belakang tersebut, Walhi Kalsel mendesak Pemerintah Republik Indonesia sebagai berikut:
1. Menolak praktik perdagangan karbon berbasis mekanisme pasar;
2. Menjadikan pembahasan Loss and Damage akibat krisis iklim sebagai agenda yang mendesak;
3. Mempercepat phasing out PLTU batubara sebelum 2030 dan menghentikan solusi iklim palsu;
4. Menyelamatkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dari dampak krisis iklim;
5. Melakukan pendekatan negosisasi berbasis hak bagi masyarakat adat, kelompok muda, perempuan dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.