Film dokumenter ‘Imaji Tanah Leluhur’ menuturkan perjuangan masyarakat adat Dayak Pitap melawan industri ekstraktif demi mempertahankan kearifan lokal dan alam.

Walhi Kalimantan Selatan dan Greenpeace meluncurkan film dokumenter ‘Imaji Tanah Leluhur’ baru-baru ini. Melalui film dokumenter pendek, Walhi dan Greenpeace ceritakan bagaimana masyakarat adat Dayak Pitap bertahan dari gempuran industri ekstraktif dengan ritus dan kearifan lokal mereka.
Film dokumenter ‘Imaji Tanah Leluhur’ berdurasi 12 menit 26 detik ini diluncurkan di Banjarmasin, Sabtu (27/4/2024) lalu dalam kegiatan Silabus Meratus yang diselenggarakan oleh Walhi Kalsel, Greenpeace dan Bilik Bersenyawa. Kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa dan berbagai komunitas lainnya.
Selain menceritakan resistensi masyarakat terhadap eksploitasi alam, film dokumenter ‘Imaji Tanah Leluhur’ menggambarkan perspektif perempuan dalam komunitas masyarakat adat. Secara administratif masyarakat adat Dayak Pitap sendiri merupakan komunitas adat yang berada di lima desa yaitu Desa Dayak Pitap, Desa Kambiyain, Desa Mayanau, Desa Langkap dan Desa Ajung Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan. Namun secara geografis, masyarakat adat Dayak Pitap ada di kaki Pegunungan Meratus.
Itulah mengapa ancaman ekspansi industri ekstraktif terhadap Dayak Pitap tidak pernah berhenti. Dimulai dari tiga dekade lalu, Dayak Pitap telah bertahan dan melawan eksploitasi. Dari masa pembabatan hutan yang masif melalu HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Penguasaan Hutan), ancaman berganti ke sektor perkebunan monokultur, pertambangan seperti emas, biji besi dan batu bara.
Meskipun dalam penggarapan film dokumenter ‘Imaji Tanah Leluhur’ ada keterbatasan waktu dan sumber, harapannya film ini tetap dapat membangun empati lebih terhadap komunitas masyarakat adat yang dipinggirkan dan terancam oleh industri ekstraktif yang semakin masif.
Rifky Muhammad sebagai sutradara film mengatakan jika frame yang ada dalam film kebanyakan berdasarkan insting penyutradaraan di lapangan dengan waktu penggalian data lapangan yang terbatas. “Beberapa data yang ada tersebut sebagian didapatkan dari Walhi Kalsel” ungkap Rifky.
Rifky juga mengatakan dalam film ini juga ia ingin menyampaikan kepada publik secara umum bahwa di Pegunungan Meratus itu bukan hanya ada sumber daya alam yang melimpah saja. Di Meratus juga terdapat manusia, masyarakat adat yang telah lama menjaga dan mengelola wilayahnya dari ancaman kerusakan. Ini yang menurut Rifky harus kita bangun kesadaran bersama.
Manajer advokasi dan kampanye Walhi Kalsel, Muhammad Jefry Raharja menambahkan bahwa sangat penting untuk mempromosikan kearifan lokal masyarakat adat Dayak Pitap karena sangat erat kaitannya dengan keberlanjutan lingkungan di Kalsel. Setiap pengetahuan lokal di Dayak Pitap adalah bentuk pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, bahkan penopang aktivitas spiritual mereka.
“Jika bentang alam Dayak Pitap rusak, bukan hanya lingkungan saja yang terancam. Namun juga ada tatanan sosial, budaya bahkan ritus yang akan terancam,” tegas Jefry.
Ia menambahkan Dayak Pitap yang memiliki wilayah adat seluas 22.806 hektar tersebut juga memiliki banyak potensi di luar industri ekstraktif yang harus dikembangkan untuk menopang kemandirian ekonomi. Misalnya hasil hutan bukan kayu yang bisa dikelola baik dari penyediaan bahan baku atau produk turunannya yang bisa dikembangkan.
Belum lagi potensi energi terbarukannya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang bisa kita dorong bersama menjadi pelopor dalam hal kemandirian energi skala komunitas.
Film dokumenter ‘Imaji Tanah Leluhur’ dan konsep hutan adat Dayak
Hutan Adat Dayak adalah konsep yang mengacu pada wilayah hutan yang diatur dan dikelola oleh masyarakat adat Dayak di Kalimantan, Indonesia. Hutan Adat Dayak memiliki nilai penting dalam budaya, tradisi, dan keberlangsungan lingkungan bagi masyarakat Dayak. Di dalam hutan ini, terdapat beragam spesies tumbuhan dan satwa yang menjadi bagian integral dari kehidupan dan kepercayaan masyarakat Dayak.
Konsep Hutan Adat Dayak menekankan pada keberlanjutan ekologis, budaya, dan sosial. Masyarakat Dayak memandang hutan sebagai rumah bagi roh nenek moyang mereka, serta sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga dan dilestarikan. Mereka memiliki sistem pengetahuan lokal dan praktik-tradisi turun-temurun dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Pengelolaan Hutan Adat Dayak biasanya dilakukan secara kolektif oleh komunitas lokal dengan menggunakan sistem adat dan norma-norma sosial mereka. Pemeliharaan hutan, pembatasan eksploitasi, serta penanaman kembali pohon-pohon yang ditebang merupakan praktik umum dalam pengelolaan Hutan Adat Dayak.
Namun, meskipun memiliki keberlanjutan ekologis dan sosial yang tinggi, Hutan Adat Dayak sering kali menghadapi tekanan dari pertumbuhan ekonomi, pertambangan, perambahan hutan, dan proyek-proyek pembangunan lainnya yang dapat mengancam keberlangsungan hutan dan kehidupan masyarakat Dayak. Oleh karena itu, perlindungan dan pengakuan atas Hutan Adat Dayak menjadi penting dalam upaya pelestarian lingkungan dan keberlangsungan budaya masyarakat Dayak.