Petani mangrove Semarang, Isnaini hanya bisa geleng-geleng kepala kala hutan mangrove di Kawasan Trimulyo mulai gundul. Kawasan hutan mangrove tersebut merupakan buah kerja kerasnya bersama para nelayan sejak 20 tahun silam.

Kini, hutan itu sedang dilahap oleh Proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD). Proyek yang disebut pula sebagai miniatur Giant Sea Wall (GSW) di kawasan Pantai Utara (Pantura).

Pantauan Tribun di hutan mangrove Trimulyo, aktivitas penebangan sudah dilakukan oleh pelaksana proyek. Ratusan pohon sudah ditebang, terutama di sisi bagian utara.

“Saat ini sepi karena berpapasan dengan libur panjang Pemilu. Biasanya ada alat berat di sini,” kata Isnaini saat ditemui di lokasi, Jumat (9/2/2024).

Hutan mangrove yang akan diratakan dengan tanah itu nantinya akan dibuat kolam retensi. Sisi utaranya bakal dibuat tol dan tanggul laut. Selain petani mangrove, nelayan pun merasa kehilangan hutan tersebut.

“Ya, ibarat sudah seperti anak sendiri, hutan mangrove ini dirawat dari bibit kecil hingga sekarang tumbuh besar. Sayang, sebentar lagi hilang,” lanjut Isnaini.

Pria yang juga bekerja sebagai nelayan ini menyebut, dampak secara langsung sekarang belum terlalu terasa. Namun, ke depannya habitat laut dan hasil tangkapan nelayan bakal berkurang drastis. Lebih dari itu, Kota Semarang akan kehilangan kawasan hijau di wilayah pesisir timur.

“Semisal hutan mangrove ini hilang sumber nafkah kami juga hilang tetapi misal tidak ikhlas atau melawan, nanti berbenturan dengan pemerintah. Mau tidak mau diam saja. Mau gimana lagi, kami orang kecil,” sambungnya.

Padahal selama ada mangrove, nelayan memperoleh beberapa manfaat seperti tangkapan ikan stabil lantaran mangrove menjadi tempat ikan bertelur. Kemudian sebagai penahan gelombang dan angin kencang, abrasi serta lainnya.

“Banyak manfaat dari hutan mangrove untuk warga pesisir tetapi ketika ada proyek seperti ini kita bingung. Mau gimana, ga bisa apa-apa,” keluh Isnaini.

Merusak 42,6 ha hutan mangrove

Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, dampak pembangunan TTLSD merusak hutan mangrove seluas 42,6 hektare (ha). Hutan mangrove terdampak langsung dari pembangunan seluas 14,1 ha, dan dampak tidak langsung seluas 28,5 ha.

Rinciannya, wilayah terdampak di Trimulyo, Genuk, Kota Semarang, meliputi dampak langsung seluas 12,4 ha, tidak langsung 21,9 ha. Kemudian di Sayung, Kabupaten Demak, terdampak langsung 1,6 ha, tidak langsung 6,4 ha. Wilayah Bedono, Kabupaten Demak, terdampak langsung 0,15 ha, tidak langsung 0,15 ha.

Koordinator Lapangan (Korlap) kelompok Cinta Alam Magrove Asri dan Rimbun (Camar) Kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara, Zazid (49) mengatakan, hutan mangrove yang dikelolanya hanya berjarak selemparan batu dari proyek TTLSD.

Kelompoknya tak sepakat dengan berbagai bentuk proyek pembangunan di wilayah pesisir Semarang, terutama saat harus menggusur hutan mangrove. Meski begitu, ia tak bisa berbuat banyak sehingga hanya bisa berkompromi dengan keadaan.

“Misal kita melawan, ditanya legalitasnya? Kita kalah sebab lahan mangrove yang kita tanam itu bukan milik kita pribadi, tapi dikuasai swasta maupun pemerintah,” kata Zazid.

Ia mencontohkan ketika adanya proyek pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) yang berimbas pada hilangnya kawasan hutan mangrove. Kala itu, petani mangrove dan nelayan tak bisa apa-apa. Mereka dipaksa ikhlas meski harus menyadari mereka telah kehilangan sebagian ruang penghidupan.

Mereka juga dipaksa melakukan proyek pemerintah berupa reboisasi mangrove dengan dalih menggantikan hutan mangrove yang telah dibabat habis. “Hasilnya, reboisasi gagal imbas gerusan gelombang yang tinggi,” tuturnya.

Kelompoknya sudah menanam mangrove sejak 2011 dan saat ini sudah ada 2 ha hutan mangrove menjadi dinding alami penahan abrasi di timur kawasan industri Lamicitra dan Pelabuhan Tanjung Emas. Ia pun ketar-ketir ketika mendengar pesisir Semarang bakal menjadi sasaran tembak pembangunan beragam proyek dalam paket PSN.

“Pemerintah seharusnya tidak hanya membangun tetapi harus memikirkan kawasan hijau dan pemanfaatannya ekonomi masyarakat pesisir,” harapnya.

Luas hutan mangrove menyusut

Merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, terdapat 637 ribu hektare ekosistem mangrove yang kondisinya kritis. Luas total mangrove di Indonesia mencapai 3,3 juta ha, artinya 19 persen mangrove dalam kondisi kritis.

Pemerintah berupaya melakukan pemulihan dilakukan dengan rehabilitasi. Targetnya, pada tahun 2024 sudah bisa merehabilitasi mangrove seluas 600 ribu ha.

Berdasarkan data Dinas Perikanan Kota Semarang, pada tahun 2016 luas tutupan mangrove di Kota Semarang mencapai 268,56 ha, yang terbagi di empat Kecamatan — Tugu (187,98 ha), Semarang Barat (23,67 ha), Semarang Utara (3,54 ha), dan Genuk (53,37 ha).

Namun angka tersebut, berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) pada 2021, menyusut menjadi 169,91 ha — Genuk 43,36 ha, Semarang Utara 21,86 ha, Semarang Barat 1,95 ha, dan Tugu 102,74 ha.

Sementara data hasil survey lapangan yang dilakukan tim Kelompok Advokasi Pesisir dari Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang dan WALHI Jawa Tengah pada tahun 2023 menunjukkan angka berbeda. Tim tersebut melaporkan luasan mangrove di Kota Semarang menyisakan 111,06 ha — Tugu 62,32 ha, Semarang Barat 11,08 ha, Semarang Utara 2,86
ha, dan Genuk 34,80 ha.

Artinya, ada degradasi luasan mangrove yang cukup masif selama kurun waktu tahun 2016 sampai 2023 yakni seluasa 157,5 ha.

Perpres menghambat konservasi

Konservasi mangrove di pesisir Semarang sebenarnya sudah masuk dalam Peraturan Gubernur Jateng (Pergub) Nomor 24 tahun 2019. Beberapa poin dalam Pergub menyebutkan, Pemprov Jateng menargetkan rehabilitasi ekosistem mangrove seluas 750 ha dari tahun 2019 hingga 2023. Tercatat di Kota Semarang ada 62,9 ha lahan magrove yang hendak dilakukan konservasi.

Alih-alih melakukan konservasi, terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2022 terkait Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Kawasan Perkotaan Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, dan Purwodadi (Kedungsepur), yang mengatur rencana tata ruang Kawasan Strategis Nasional (KSN) dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi.

Pakar mangrove dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Diponegoro, Rudhi Pribadi mengatakan, adanya Perpres tersebut semakin mengancam eksistensi hutan mangrove di kawasan pesisir Pantura Jawa Tengah. Ia sudah mulai khawatir terhadap eksistensi hutan mangrove di pesisir Semarang dan sekitarnya ketika proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) sudah mulai dikerjakan.

Terlebih, jalan tol yang didesain sekaligus untuk bendungan itu akan merusak kawasan magrove di sisi barat Kota Semarang seperti di Tapak dan Mangunharjo. Secara umum pembuatan bangunan ke arah laut itu akan berdampak ke sisi kiri dan kanannya.

Dasar ilmu tersebut sudah dipaparkan di buku “Teknik Pantai” karya Bambang Triatmodjo dari UGM. Bambang menulis bahwa membangun satu bangunan sejauh satu kilometer ke arah laut berdampak sejauh tujuh kilometer ke kiri dan kanan bangunan tersebut baik dari sedimentasi, abrasi, dan lainnya.

“Tinggal arah arusnya dari mana. Ini pun sempat mencuat bangunan tol bakal mengubah pola arus,” terang Rudhi.

Kekhawatiran Rudhi bertambah ketika melihat masih tidak sinkronnya stakeholder pemerintah dalam menyikapi hal itu. Pemerintah, menurut dia, harus bertindak sebagai satu kesatuan dalam penanganan konservasi di pesisir. Perlu ada Integrated Coastal Manajemen (ICM) atau pengelolaan pesisir yang terintegrasi.

“Sayangnya, hal itu belum banyak diaplikasikan dengan baik di sini. Jadinya sepertinya jalan sendiri-sendiri. Kelihatan yang mau membangun, membangun, konservasi ya konservasi,” keluh Rudhi.

Sementara, Pakar Lingkungan dan Tata Kota Semarang, Mila Karmila, mempertanyakan tidak sinkronnya aturan yang dibuat oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam menjalankan proyek tersebut.

Contohnya, antara Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 24 tahun 2019 dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2022 terkait Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Kawasan Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, dan Purwodadi (Kedungsepur).

Di satu sisi, Pemerintah Provinsi Jateng “macak” bakal melakukan konservasi mangrove yang alami kerusakan. Di sisi lain, pemerintah pusat malah memproyeksikan kawasan tersebut untuk beragam PSN, yang otomatis mengancam ekosistem pesisir.

Pemerintah pusat, lanjut Mila, memiliki angan-angan yang begitu besar tanpa melihat daya dukung dan daya tampung kawasan pesisir.

“Sepatutnya ketika hendak membuat kawasan industri di pesisir hendaknya melihat daya dukung apakah mencukupi atau sebaliknya. Di antaranya terkait kebutuhan pasokan air,” kata Mila.

Padahal penurunan muka tanah di kota Semarang dan Demak begitu mengerikan. Di Sayung, Demak, tercatat permukaan tanah turun antara 0,56 cm hingga 11,5 cm per tahun. Kota Semarang tak kalah parah di angka 8-11 cm per tahun. Tak hanya itu, tanah daratan Semarang sudah di bawah muka air laut sekitar 4 cm.

“Ini ditambah lagi kawasan industri dan tol. Beban pesisir Semarang tambah berat. Misal ditambah lagi, mau jadi apa itu Semarang?” kata dosen dari Kampus Universitas Sultan Agung Semarang (Unissula) tersebut.

Dalih demi PSN

Sub Koordinator Pengelolaan Ruang Laut Bidang KP3K Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, Benovita Dwi Saraswati menyebut, hutan mangrove Trimulyo memang sudah mulai ditebang untuk proyek pembangunan tol dan tanggul laut Semarang-Demak yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Mangrove ditebang untuk PSN atau kepentingan masyarakat umum, jadi diperbolehkan, tetapi harus re-vegetasi ke tempat lain,” papar Benovita saat ditemui Tribun, Jumat (16/2/2024).

Ia mengatakan, re-vegetasi mangrove nantinya akan dilakukan oleh Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) dengan pejabat pembuat komitmen (PPK) tol Semarang-Demak.

DKP sejauh ini dilibatkan sebatas melakukan survei lokasi mana saja yang menjadi tempat re-vegetasi. Berdasarkan hasil survei terakhir pada 18 Oktober 2023, re-vegetasi tahap pertama akan dilakukan di Sidogemah, Demak, seluas 8 ha.

“Kapan dilakukan penamanan, belum ada update kabar lagi. Begitupun soal luas sisanya,” kata Benovita.

Terkait dampak proyek jalan tol terhadap masyarakat, ia menilai, pembangunan tersebut sudah melalui kajian, termasuk memperhitungkan dampak yang masuk dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Dampak ini bisa dikendalikan dengan keterlibatan masyarakat. Namun, ketika dampak ternyata tidak masuk ke Amdal, masyarakat dapat memberikan koreksi.

“Masyarakat bisa menyampaikan dampak dari pembangunan itu supaya
menjadi koreksi,” kata Benovita.


Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Bencana Akibat Kerusakan Ekologis” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial. Terbit pertama kali di Tribunjateng.com Jateng pada Selasa, 26 Februari 2024.


There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.