Abdullah Ahmad Marzuki (36) seorang nelayan Tambakerjo, Tanjung Mas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (8/2/2024) pagi itu berangkat melaut.

Bermodal caping, sebotol air minum dan sebotol bensin ukuran 1,5 liter, Zuki mulai melajukan perahunya dari bantaran sungai Banjir Kanal Timur (BKT) mengarah ke utara. Setiba di muara, perahu ukuran di bawah 1 groos tonase (GT) itu akan berbelok ke timur menuju “ladangnya” untuk panen ikan.

Berbarengan dengan Zuki, sekelompok burung bangau muncul dari balik rimbunnya mangrove di sisi barat lalu mereka terbang ke arah timur.

Ombak laut yang tenang di pagi hari dimanfaatkan nelayan tangkap harian seperti Zuki untuk mengambil jaring yang telah dipasang tadi malam.
Setiba di lokasi jaring, Zuki langsung melempar jangkar besi lalu sigap turun ke laut. 

Tak butuh waktu lama, jaring yang ditarik berhasil menangkap beberapa ekor ikan di antaranya sembilang dan kakap.

“Ya, hari ini dapat lumayan, kalau musim seperti ini bisa Rp100 ribu sampai Rp150 ribu. Namun, saat hasil tangkapan banyak bisa Rp300 ribu hingga Rp500 ribu,” kata Zuki kepada Tribun.

Tak jauh dari lokasi Zuki mencari ikan, tampak dua alat besar  berupa crane berada di tengah laut. Ia mengatakan, dua alat itu digunakan untuk Proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD). 

Proyek tersebut disebut pula sebagai miniatur Giant Sea Wall (GSW) di kawasan Pantai Utara (Pantura).

Pembahasan GSW sempat ramai diperbincangkan kala disebut oleh Calon Presiden nomor 02, Prabowo Subianto, pada pekan pertama Januari 2024. Zuki, tidak tahu-menahu soal itu.

Kendati begitu, sewaktu diajak berbincang terkait dampak proyek tol terhadap wilayah tangkapannya, wajah Zuki tampak mahfum. 

“Kami nanti tak bisa meluat lagi di sini,” katanya sembari menunjukan dua patok bambu bercat biru dan putih yang menjadi tanda jalur pembangunan tol.

Ia mengaku, kebingungan semisal proyek tol Semarang-Demak yang sudah mulai dikerjakan di pesisir Terboyo bakal merambah ke tempatnya mencari ikan. 

Ketika itu terjadi, otomatis ruang hidupnya mencari sumber rezeki lenyap.

“Berarti saya harus melaut lebih ke tengah. Padahal di tengah harus bersaing dengan perahu yang lebih besar,” jelasnya.

Minimnya alat

Hal yang lebih mencemaskannya adalah ketidakpunyaan alat untuk melaut di zonasi tengah. Ketika harus melaut ke titik tengah maka ia harus membeli jaring yang lebih besar dan tentunya perahu yang lebih besar yakni ukuran minimal di atas 2-3 GT. 

“Alat jaringnya saja yang tidak full satu paket harganya mencapai Rp10 juta – Rp15 juta, apalagi harga perahunya,” tuturnya.

Selain Zuki, terdapat puluhan nelayan lainnya bernasib sama seperti dirinya, di antaranya nelayan Tambakrejo, Tanjungmas Semarang, Syafiq Salimin.

Ia mengatakan, masih dapat melaut berbarengan dengan aktivitas proyek tol sehingga acapkali ditegur oleh petugas keamanan proyek.

“Kami kenal dengan security proyek tol karena tetangga. Maka dari itu, ketika diingatkan atau ditegur, jadi tidak enak juga,” katanya.

Ia menuturkan, selama ini melaut di sekitaran Terboyo  yang menjadi lokasi proyek. Dari seharian melaut, berbagai jenis ikan mudah diperoleh seperti kakap, sembilang kerapu, dan kepiting.

“Sehari Rp150 ribu itu bersih. Cukuplah untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, saat ada proyek tentu kondisi menurun,” tuturnya.

Kondisi serupa dialami juga oleh puluhan nelayan lainnya. Jumlah nelayan Tambakrejo sekira 60 orang berasal dari empat Kelompok Usaha Bersama (KUB).

“Sebenarnya kami ingin bisa melaut dengan aman dan tenang tapi sepanjang ada proyek kondisinya berbeda. Kami juga tak pernah diberi sosialisasi oleh mereka terkait aktivitas proyek,” ungkap Syafiq.

Tangkapan makin menurun

Tak hanya di Tambakrejo, proyek TTLSD  berdampak pula bagi nelayan di Trimulyo dan Terboyo Wetan. Para nelayan dari wilayah tersebut mengeluhkan akses ke laut terbatas akibat adanya proyek. Selain itu, hasil tangkapan mereka juga kian menurun.

“Dulu (sebelum adanya proyek) melaut sehari bisa dapat Rp200 ribu, sekarang hanya Rp50 ribu sampai Rp60 ribu. Itupun sulit,” ucap Ketua KUB Rizky Bahari Terboyo Wetan, Genuk, Kota Semarang, Agus (45), Sabtu (3/2/2024).

Agus menyatakan, biasanya nelayan tangkap hanya melaut dengan jarak 200-500 meter dari bibir pantai.

Namun sekarang, karena daerah itu menjadi posisi pondasi pondasi tol, mereka hanya melaut di sekitaran aliran Kali Babon.

Menurutnya, ada total 68 nelayan yang terdampak proyek di wilayah Trimulyo Barat, Trimulyo Timur, dan Terboyo Wetan.

“Akibat proyek ini, 70 persen nelayan di sini ikut kerja di tempat lain seperti tukang kuli bangunan, pak Ogah (tukang penyeberang jalan) dengan ritme kerja dan penghasilan tidak pasti,” ujarnya.

Kondisi itu, kata dia, telah dialami kelompok nelayannya  selama tiga bulan terakhir.
Kesulitan lain juga dialami para nelayan, misalnya mereka harus memindahkan perahu ke dermaga Tambaklorok (Semarang) dan Tambakrejo (Semarang) maupun di Morodemak (Demak).

Dampaknya, jarak lebih jauh, butuh BBM lebih banyak, sehingga biaya operasional lebih tinggi.

Agus menambahkan, nelayan mengeluhkan tak adanya kompensasi akibat aktivitas proyek tersebut. Padahal proyek ini diprediksi baru selesai pada tahun 2025.

“Kecuali pihak proyek mau mendahulukan kepentingan kami, dengan membuatkan tempat berlabuh dan jembatan, supaya bisa melaut lebih cepat,” tuturnya.

Nelayan Trimulyo, Genuk, Kota Semarang, Matjiyanto (62) mengatakan, semenjak adanya proyek tol laut, nelayan di kelompoknya semakin sering libur melaut. 

“Iya, banyak liburnya. Misal nekat melaut hanya di sepanjang dekat aliran Kali Babon. Dapatnya ikan kecil-kecil,” ucapnya.

Kondisi tersebut tentunya membuat para nelayan menjadi lebih nelangsa.

Matjiyanto menyebut, nelayan sudah sangat sulit mencari kesempatan kerja di tempat lain. Sebab, mereka hanya berpengalaman kerja di laut.

“Mau kerja ke pabrik tidak ada ijazah. Harapan satu-satunya kerja di laut,” katanya. “Kami harap ada akses masuk ke laut supaya tidak terputus. Ini untuk kebutuhan hidup sehari-hari.”

Nelayan Trimulyo Wetan, Genuk Mastor mengatakan dia terpaksa bekerja sebagai pak Ogah (sukarelawan pengatur lalu lintas) di Kawasan Indsutri Terboyo untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari sekira tiga bulan terakhir.

Ia menyebut, penghasilan Pak Ogah tiap harinya antara Rp50 ribu sampai Rp60 ribu. Sebab, ia harus bergantian tempat dengan temannya yang lain.

“Penghasilan menjadi Pak Ogah juga mengharapkan keikhlasan orang. Berbeda dengan nelayan, dapat ikan karena kerja keras sendiri,” tuturnya.

Keluhan petani kerang hijau

Di tengah guyuran hujan deras di rumahnya, Kaminto (61) warga Tambakrejo RT 6 RW 16, Tanjung Mas, menceritakan tentang usaha rumpon kerang hijaunya yang telah ditekuninya sejak tahun 2013.

Perjalanan 11 tahun usaha tersebut tampaknya akan berakhir karena bakal tergusur oleh proyek TTLSD.

“Lokasi rumpon kerang hijau milik saya berada di sebelah timur Sungai Tenggang, berdekatan dengan proyek tol,” katanya, Kamis (1/2/2024).

Budidaya kerang hijau (Perna viridis) —warga pesisir utara Semarang menyebutnya sebagai kijing— dilakukan nelayan pesisir Tambakrejo dengan membuat rumpon, yakni alat bantu penangkaran kerang berupa bambu yang dipasang di laut tanpa merusak ekosistem.  Warga Tambakrejo yang menjadi pembudidaya kerang hijau di pesisir Semarang berjumlah sekira 30 orang.

Kaminto memiliki rumpon seluas  70×87 meter. Rumpon seluas itu, kata dia, dalam satu periode panen, yakni 4-5 bulan, bisa menghasilkan Rp42 juta hingga Rp52 juta.

“Tergantung jumlah bambunya juga, misal di rumpon ada 1.000 bambu maka sekali panen bisa 1 kuintal lalu tinggal kalikan harga kijing perkilogramnya saja. Di tempat saya bersih bisa Rp350 ribu perhari,” jelas dia.

Kasminto berharap, pemerintah setidaknya memikirkan warga kecil seperti dirinya yang dirugikan dari aktivitas pembuatan jalan tol. Apalagi rumpon miliknya sudah terdaftar sebagai usaha UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). 

“Usaha UMKM di darat saja ketika kena gusur dapat ganti rugi, mengapa kami tidak?” tanyanya.

Nasib yang sama dialami, Dinar Nur Cahya. Warga Tambakrejo ini mengaku, rumpon miliknya seluas 30×20 meter bakal terkena proyek tol. 

Lokasi rumponnya berada di dekat proyek tol, persisnya di sisi utara Kali Tenggang atau masuk wilayah Terboyo, Genuk. Padahal rumpon tersebut merupakan sumber utama penghasilannya sebagai warga pesisir sejak tahun 2015.

“Dari hasil rumpon bisa menghidupi keluarga kami. Paling tidak sebulan menghasilkan pendapatan bersih Rp3 juta,” katanya.

Pemilik rumpon, Muhtahimin ikut merasa khawatir pengerjaan proyek tol di pesisir Semarang bakal menggusur rumpon yang telah digelutinya sejak tahun 2020.

Kala itu, modal yang dia keluarkan untuk membuat rumpon sebesar Rp8 juta dengan luasan sekira 15×35 meter. 

Sewaktu memasuki masa panen, sehari mampu menghasilkan pendapatan bersih Rp200 ribu. “Masa panen setahun 2 kali panen. Jadi pertahun, kurang lebih mampu menghasilkan Rp20 juta-Rp24 juta,” jelasnya.

Ia menyebut, bisnis rumpon cukup menjanjikan, terutama untuk nelayan di pesisir kota Semarang karena hasil dari tangkapan ikan sudah sangat jauh berkurang. 

Selain itu, ia melanjutkan, rumpon juga berfungsi sebagai zona pelindung ikan karena banyak sumber pakan ikan.

Pemilik rumpon, Imam Mahmud Yahya mengungkapkan, lahan rumponnya sempat hendak diganti oleh pelaksana proyek tol. Namun, ganti rugi yang ditawarkan hanya Rp2 juta sampai maksimal di angka Rp5 juta.

Ia sempat dijanjikan rumponnya akan disurvei tanggal 24 Januari 2024 dari pelaksana proyek. Namun, sampai awal Februari 2024, janji itu belum terealisasi.

Menurutnya, rumpon miliknya merupakan lahan bekas tambak yang terkena abrasi lalu oleh nelayan sekitar dibikin rumpon. Lokasinya berada di Terboyo Wetan, Genuk, sebanyak satu petak dengan luas 50×20 meter. 

“Sehari bisa dapat Rp300 ribu – Rp400 ribu bersih dalam sehari dalam satu periode masa panen 3-4 bulan,” katanya.

ANDAL TTLSD lemah

Manajer advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah, Iqbal Alma Ghosan Altofani mengatakan, studi ekologi proyek TTLSD berupa Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) banyak kelemahannya.

Dokumen ANDAL yang dimaksud berupa Rencana Usaha dan/atau Pengintegrasian Pembangunan Tanggul Laut Kota Semarang dengan Pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak yang disahkan pada Maret 2018.

ANDAL itu  menjadi salah satu dasar dikeluarkannya Izin Lingkungan Nomor 660.1/32 Tahun 2018 oleh Gubernur Jawa Tengah tentang Rencana Kegiatan Pengintegrasian Pembangunan Tanggul Laut Kota Semarang dengan Pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak Provinsi Jawa Tengah.

“Kami sudah pernah membedah ANDAL tersebut pada tahun 2019. Setidaknya, kami mengidentifikasi enam kelemahan ANDAL Proyek TTLSD,” ujarnya, Selasa (20/2/2024).

Kelemahan tersebut antara lain adalah analisis dalam ANDAL terbilang sempit untuk proyek sebesar TTLSD; tidak ada konsultasi publik yang melibatkan kelompok kritis; kurang mendalam mendiskusikan potensi perubahan arus laut, amblesan tanah, dan kesejarahan banjir rob di Semarang.

Ada potensi kerusakan ekologi … akibat pengambilan material urugan yang digunakan untuk reklamasi wilayah pesisir

Iqbal Alma Ghosan, WALHI

Dalam hal potensi perubahan arus laut, ANDAL TTLSD mengidentifikasi bahwa perubahan arus laut hanya terjadi pada tahap konstruksi dan itupun sifatnya hipotetik. Sedangkan soal penurunan muka tanah, ANDAL gagal melihat pembebanan sebagai salah satu penyebab dominan amblesan tanah.

Menurut Iqbal, pembangunan TTLSD akan mengkonsentrasikan aktivitas di bagian utara, menambah beban, dan akan memperparah amblesan tanah.

“Logika di balik agenda penutupan sungai yang ada dalam ANDAL TTLSD adalah agar banjir rob tidak masuk lewat sungai-sungai. Dalam hal kesejarahan banjir rob, ANDAL TTLSD tidak mengantisipasi masuknya banjir rob melalui sungai-sungai yang tidak ditutup,” tuturnya.

Keempat, ANDAL mengedepankan bahwa proyek TTLSD akan meningkatkan kesempatan kerja, tapi tidak membahas potensi warga yang akan kehilangan pekerjaan karena rusaknya hutan bakau. 

Proyek itu juga berdampak pada ekosistem akuatik dan bisa menyebabkan biota pantai/laut yang biasa ditangkap nelayan jadi tidak berkembang.

Kelima, TTLSD akan menghilangkan akses warga ke kawasan pantai. Terakhir, ANDAL TTLSD tidak detil dalam menyampaikan dari mana bahan urugan untuk pembangunannya akan didatangkan.

“Ada potensi kerusakan ekologi di Kecamatan Pabelan, Bawen, Kabupaten Semarang, Kaliwungu, Kabupaten Kendal, dan Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan akibat pengambilan material urugan yang digunakan untuk reklamasi wilayah pesisir untuk proyek TTLSD,” tambah Iqbal.

Walhi juga memprediksi beberapa dampak sosial-ekologis yang bakal terjadi. Di antaranya adalah risiko banjir di wilayah pesisir akan semakin parah dengan penutupan lima sungai yang direncanakan.

“Juga hilangnya mata pencaharian para petambak udang dan kepiting di sepanjang wilayah pesisir Semarang-Demak karena berkurangnya kawasan hutan bakau dan pembebasan lahan tambak,” jelasnya.

Dampak proyek “maskulin”

Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS), kelompok yang fokus melakukan kajian di pesisir pantura menilai, proyek GSW sebagai proyek aspirasi “maskulin” yang diadopsi dari luar negeri tanpa mendengarkan suara warga lokal.

“Giant Sea Wall suntikan dari Belanda. Terlihat sekali aspirasi seperti itu merupakan aspirasi maskulin dari luar tanpa mendengarkan terlebih dahulu suara warga lokal,” ujar peneliti Koalisi MDS Eka Handriana dalam diskusi publik “Dampak Giant Sea Wall (GSW) Terhadap Kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa” melalui zoom, Jumat (12/1/2024).

Ia menuturkan, proyek GSW misal dijalankan berarti tak mempedulikan kondisi masyarakat pesisir. 

Seharusnya pemerintah mendengarkan orang pesisir pantura seperti Semarang dan Demak terkait persoalan yang mereka hadapi, seperti kecemasan dan betapa susahnya saat banjir rob melanda.

“(Pemerintah) selalu solusinya tanggul dan tanggul tanpa peduli masyarakat nanti susah cari makan dan sumber kehidupannya hilang,” jelas Eka.

Menurutnya, kerusakan pesisir Pantura saat ini adalah akibat pembangunan kapitalistik, pembebanan bangunan, dan ekstraksi air bawah tanah.

Oleh karena itu, pembangunan Giant Sea Wall tak akan menjawab persoalan.

“Penyelesaian persoalan ini harus dilakukan pendekatan yang dimulai dari merunut datanya dulu, karena persoalan di Jakarta, Cirebon, Semarang, dan daerah lainnya itu berbeda.”

“Bahkan, pesisir Semarang Timur dengan Mangkang saja beda. Mangkang bisa tumbuh mangrove, sebaliknya Semarang Timur ke Demak mangrove susah tumbuh sehingga harus diteliti kondisi perwilayahan,” imbuhnya.

Memindahkan nelayan demi proyek

Pemerintah Kota Semarang mengklaim telah menjembatani dialog antara nelayan terdampak dengan pelaksana proyek tol.

Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Perikanan Kota Semarang, Ita Masitoh menyebut, hanya ada satu kelompok nelayan terdampak, yakni di Kali Sringin, Terboyo, Genuk. 

Kelompok tersebut merupakan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Rizky Bahari yang memiliki jumlah anggota sebanyak 49 nelayan. Mereka terdampak pembangunan tol berupa akses tertutup akibat proyek tol.

“Kami sudah komunikasikan ke pelaksana proyek tol, nantinya akan dibuatkan dermaga sejumlah perahu yang ada. Desain sudah ada di dekat kolam retensi yang rencana ditambatkan perahu,” paparnya, Jumat (16/2/2024). 

Hanya saja, kata dia, selama proyek berjalan masih ada kendala berupa akses pelayaran ke laut tertutup.  Nelayan awalnya diarahkan untuk memindahkan perahu mereka ke dermaga di Tambaklorok  dan Tambakrejo. 

Namun, dua lokasi tersebut dinilai nelayan terlalu jauh dan khawatir soal keamanan perahu.

Selain jarak, nelayan enggan menambatkan perahunya di tambaklorok karena di dermaha tersebut sudah cukup padat.

“Kami menjembatani komunikasi antara pelaksana proyek dengan nelayan, kalau bisa nelayan dilibatkan sebagai pekerja. Semisal tidak, pelaksana proyek membuat jalur yang aman untuk menuju ke laut selama proyek berjalan,” tutur Ita.

Sedangkan untuk nelayan rumpon atau kerang hijau, ternyata tak masuk dalam daftar warga terdampak versi pemerintah. Pemerintah berdalih, nelayan rumpon tak dimasukkan karena mereka tak memiliki lahan. 

“Kerang hijau dan rumpon tidak terdata karena kerang hijau hanya menancapkan bambu dan tidak memberi makan. Itu sudah rekomendasi teknis dari Dinas Kelautan Provinsi,” beber Ita.

Ia mengatakan, pihaknya hanya fokus pada nelayan terdampak di sekitar tol, seperti di Kali Sringin. Nelayan lainnya belum terdata.

“Nelayan yang terkena banyak itu di Kali Sringin, Genuk. Untuk nelayan di pesisir lain belum terdampak langsung sehingga belum ada keluhan seperti dari Tambakrejo dan Tambaklorok (Semarang Utara),” klaim Ita.


Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Bencana Akibat Kerusakan Ekologis” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial. Terbit pertama kali di Tribunjateng.com Jateng pada Selasa, 26 Februari 2024.


There are no comments yet. Leave a comment!

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.